Skyscraper
Jakarta. Kota ini menjadi salah satu kota tujuan
bagi penduduk Indonesia. Kota yang kecil tetapi mampu menyokong segala aspek
kehidupan dari puluhan kota di Indonesia nan kucinta. Skycrapers di kota ini berisi ribuan aktivitas, mulai dari kegiatan
yang menunjang fungsi infrastruktur kepemerintahan atau hanya sekedar tempat
tinggal warga Jakarta. Jakarta dicaci karena banjir dan macet, tapi mereka
tidak sadar mereka yang mencaci mengantungkan harapan hidup di kota ini.
Aku menjadi salah satu pekerja di dalam Skyscraper itu. Pekerja disalah satu
gedung tinggi di bilangan Sudirman, Jakarta. Tepat di depan senayan, SCBD.
Menurutku kawasan ini adalah salah satu kawasan aktif. Khususnya dalam bidang
ekonomi. Sebut saja itu Bursa Efek Jakarta.
Menjadi karyawati ada baik dan buruknya, baiknya aku
bisa bertemu dengan rekan-rekan pria tampan nan gagah berjas rapi, dan buruknya
– inilah masalahku – aku belum bisa memiliki satupun diantara pria tampan itu,
alias jomblo. Jangan pernah mengatakan kalau aku tidak laku, aku laku kok.
Hanya saja tidak semudah itu kisah percintaanku dimulai.
Seperti beberapa bulan yang lalu, aku naksir salah
satu rekanku. Tapi buru-buru aku hilangkan perasaan itu, yang benar saja aku
naksir pada seorang pria yang sudah memiliki istri dan dua anak. Jika aku ini
si wanita jelalatan yang suka menganggu hubungan orang, aku bisa dengan mudah
mendapatkannya hanya dengan mengedipkan mata indahku. Tapi aku tidak kepengin.
Jumat sore ini, Jakarta diguyur hujan cukup deras.
Beberapa hari sebelumnya memang angin bertiup cukup kencang membuatku takut
pulang. Bukan karena takut ditiup angin seperti iklan penambah berat badan.
Tapi aku takut tertimpa papan reklame, aku belum nikah. Jadi kuputuskan untuk
melanjutkan tugasku sampai hujan reda. Judulnya Last Friday Night bersama pekerjaanku didepan komputer.
“Dinar, chatting
mulu! Buruan selesaiin tugasnya.” tegur salah satu sahabat yang sekaligus rekan
kerjaku. Ia bernama Reva, seorang wanita berusia 30 tahun yang sudah memiliki
dua orang anak. Sedangkan aku hanya berbeda tiga tahun dengannya belum memiliki
pacar.
Terkadang kenyataan itu membuatku sedih. Bagaimana
ia bisa mempunyai dua anak diusianya sekarang. Rasanya ingin menangis jika ada
acara kantor dan rekan-rekanku membawa anak-anak mereka yang lucu dan
menggemaskan. Tapi aku yakin sekali, Tuhan tahu yang terbaik untukku. Akan tiba
saatnya ketika Tuhan bilang “Yak Dinar, Aku rasa kau sudah siap bertemu dengan
kebahagiaanmu. Persiapkan saja dirimu baik-baik. Oke sayang?!”. Terenyuh hatiku
ketika diriku mampu memotivasikan diri sendiri atas nama Tuhan. Well, Tuhan itu prasangka HambaNya bukan?!
Jadi aku harus berprasangka baik-baik.
Atau gambarannya seperti ini, kalian pernah berpuasa
satu hari full? Kenapa kalian masih
terus mampu menahan lapar, haus dan emosi? Karena kalian tahu, waktu maghrib
akan tiba. Dan itu yang kuaplikasikan dalam kehidupan percintaanku. Aku sabar menahan kejombloanku ini, karena waktu yang bahagia itu akan datang tepat
waktu.
Aku menoleh menatap Reva, lalu berkata “Enak aja,
siapa yang chatting? Gue lagi ribet
selesaiin tugas akhir nih. Enggak mau lembur, kan mau tahun baruan sama
keluarga.”
“Keluarga? Emang udah punya?” tanyanya dengan nada
bergurau, aku menatapnya nanar. “Eh?”
“Reva. Please
dong, lo jangan ngeledekin gue terus.” jawabku sedih, Reva sering kali
meledekku. Nampaknya ia cukup kesal, karena beberapa bulan - mungkin tiga bulan - lalu aku menolaknya.
Bukan menolak cintanya, tapi menolak tawarannya menjadi mak comblang untukku.
“Lagian sih, gue kenalin sama Dirham enggak mau. Dia
itu tipe lo banget Din. Paling enggak kasih kesempatan buat dia kenal dulu sama
lo.” rayunya terdengar serius.
“Enggak Reva sayang. Lo tahu kan, gue enggak bakal
mau dijodoh-jodohin. Bukan jamannya Siti Nurbaya. Biarlah waktu dan tempat yang
mempertemukan kami.”
“Dasar lo cabe-cabean. Terserah deh. Semoga ketemu
sebelum lo manopause.” ujar Reva
terdengar sedikit kesal, lalu kembali serius dengan pekerjaannya.
“Enggak sopan ngatain gue cabe-cabean. Gue wanita
karier tahu!”
Astaga orang ini, mendadak ketus setelah aku menolak
tawarannya. Aku menghela napas, dan bersandar pada kursiku. Merasa lelah dengan
pekerjaan dan bathin, karena selalu saja mendapatkan beban pernikahan. Tidak
hanya dari Reva, dari abangku, adikku, ibuku, ayahku bahkan granny. Ya Tuhan, Kau tahu aku sudah siap.
Pertemukanlah kami. batinku cemas. Aku duduk menegakkan punggung, kemudian
meraih cangkir berisi hot chocolate
yang sudah dingin, dan menegaknya dengan cepat.
Tetes-tetes hujan tertinggal di bagian luar kaca
jendela, meninggalkan kesan yang menentramkan. Pemandangan kota yang sebelumnya
tertutup jutaan tetesan air yang mengguyur kota Jakarta, kini terlihat berdiri
kokoh.
“Hujan udah reda tuh, yuk balik.” kata Reva, ia
langsung berdiri siap pulang dengan tas menyampir dipundaknya.
“Bareng gue? Wah asik dong, gue ada temennya.” jawabku
antusias, lalu buru-buru merapi segala perlengkapan kantorku.
“Bareng sampe lobby
aja ya dear. Gue kan udah punya laki,
jadi gue dijemput.” ia sengaja meledekku. Aku tersenyum manis untuk membuktikan
kalau aku tidak terusik dengannya.
“Sampe lobby
pun enggak masalah.”
Skyscraper
Memang benaran kok enggak masalah, kesendirian itu
sudah melekat didalam hatiku. Menyedihkan nasib percintaanku ini. Bukan tanpa
sebab, aku begini karena aku lelah menjalani masa pacaran yang hanya menghabiskan
waktu, energi, dan uang. Oh, tambah satu lagi, menghabiskan perasaan sampai
sakit ke ulu hati.
Habis sudah perasaanku berpacaran dengan seorang
pria yang tidak memiliki orientasi masa depan, penggila seks, penggila games online dan tidak setia. Parahnya,
aku percaya saja kalau ia akan sukses di masa depannya. Bagaimana akan sukses
kalau kuliah dan usaha saja ia malas lakukan. Tuhanlah yang membukakan mataku
dengan cara yang sangat indah, mataku bisa melihat kalau ia memiliki hidung
yang belang, alias kucing garong, alias keong racun, alias buaya darat, dan
alias-alias lainnya yang memiliki arti pria tidak setia yang hobi selingkuh dan
tidak puas dengan satu wanita saja. Oke, jangan diingat, aku sudah
melupakannya. Dan sekarang aku menunggu pria yang siap melamarku.
Lamunanku buyar akibat suara tepukan tangan yang
sengaja menyadarkanku. Ah ternyata adik kecilku baru saja pulang kuliah. Ia
duduk melonjorkan kaki di sampingku. “Mbak. Rencana tahun baru mau kemana?” tanya
May sambil meneguk teh hangat yang sudah tersedia. Enak sekali jadi anak
bontot, mendapatkan service yang memuaskan dari orang tua.
“Bikin teh sendiri dong dek. Kamu kan udah gede,
jangan ngandelin mamah terus.” kataku agak sebal tiap melihatnya dimanja mamah
dan papah. Meskipun aku sadar, mungkin jika aku menjadi orang tua, aku akan
melakukan hal yang sama. Tapi kan May harus mandiri.
“Mbak, kayanya May enggak bisa ikutan ke Bandung
deh. May mau ada acara di kampus. Biasa bakar-bakaran.” ujar May tanpa
menggubris protesku, ia menguncir rambut konde tinggi-tinggi.
“Bakar-bakaran atau jalan-jalan sama pacar?” ledekku,
sambil membuka-buka majalah cinemags yang sudah langganan tiap bulannya. Aku
hobi nonton film.
“Bakar-bakar di kampus mbak, sama Aldi juga sih.” jawabnya
malu-malu, lalu merebahkan tubuhnya di atas sofa empuk yang memanjakan.
“Kita kan udah planning
mau ke Bandung sekeluarga dek. Kamu harus mintingin keluarga dulu dong.”
“Bukan gitu mbak, aku bosen ke Bandung terus. Tahun
kemarin kan udah ke sana. Tahun ini aku mau sama temen-temen mbak.”
“Iya, abang juga enggak bisa ikut ke Bandung dek.
Ada acara di kantor dan mengundang anak dan istri.” kata Bang Zaki, abangku ini
setiap weekend datang ke sini. Kamu ke Bandung sama mamah dan papah aja.”
“Mamah dan papah di rumah aja deh. Kamu pergi aja
sama temen kamu Dinar. Kan teman kantor kamu banyak.” sambut mamah sambil
berjalan di belakang Bang Zaki.
“Iya deh iya. Nanti Dinar jalan-jalan aja sama
temen.” kataku bete sambil cemberut.
Skyscraper
Mood jelekku semalam mempengaruhi weekend-ku hari ini. Aku tahu, sangat tahu alasan keluargaku
membatalkan liburan akhir tahun kami karena mereka semua ingin melihatku
menghabiskan waktu dengan pacarku. Ya ampun, aku enggak bohong kalau aku memang
enggak punya pacar.
“Lo lagi diet?” tanya Reva, ketika kami sedang makan siang di restoran
dekat lantor. Aku diam saja masih sibuk mengaduk-aduk iced cappuccino dengan wajah super bete. Ya gimana enggak bete
kalau setiap hari dirongrong soal pernikahan. Oke, aku tahu umurku sudah 27
tahun! Tapi kan enggak perlu invasi bathin begini, menyebalkan tahu!!
“Nanti lo makin kurus kering, dan makin enggak ada
cowok yang mau sama lo.” lanjutnya, kali ini aku menatapnya tajam. Tapi ia
tidak menyadarinya, malah memasukkan sesendok makan siangnya ke dalam mulut
dengan wajah innocence.
“Enggak usah bahas cowok ya Rev, gue enggak mood.” kataku tegas, dan kali Reva
mengerti karena wajahnya berubah menjadi sosok kakak yang dewasa. Kami berbeda
3 tahun.
“Kalau bosen sendiri, open your heart dong dear.
Gimana ada yang masuk kalau lo enggak bersedia buka hati lo?! Emang lo mau jadi
perawan tua?” ujar Reva penuh perhatian, ia menghentikan lunchnya untuk menunjukkan betapa seriusnya pembicaraan kami kali
ini.
“Astaga Rev, gue masih 20. Belum pantes dapet gelar
perawan tua. Lagian gue bukan enggak buka hati. Udah buka kok, lebar malah.
Tapi emang belum waktunya.” jawabku santai, lalu menyedot ice cappuccino.
Aku mendengar helaan napas Reva yang panjang,
membuatku sedikit meliriknya. “Lo bukan 20, tapi 20 yang hampir 30.” kata Reva,
ada penekanan diangka 30. Membuatku semakin terpojok, dan sedih. Sudah setua
itukah aku? “Lo enggak kasian sama anak lo nanti? Lo udah tua, dia baru belajar
jalan?” lanjut Reva ketara sekali berusaha sabar. “Kalau lo udah buka hati, lo enggak
bakal nolak kenalan sama Dirham.”
“Itu masalah lain Rev. Gue cuma enggak mau aja
dijodohin. Gue harus kenal dulu sama dia. Gue enggak mau salah pilih lagi.
Buang-buang waktu lagi.”
“Iya emang gitu. Lo kenalan dulu sama Dirham. Lagian
kenapa lo pede banget dia bakal langsung ngelamar atau nembak lo.” ujar Reva,
kembali santai dan memasukkan makan siangnya lagi. Aku terdiam, tidak mampu
merespon apapun karena aku masih terlalu takut mengenal pria yang belum
kukenal. “Jadi, malem tahun baru nanti lo ke Bandung?”
Ide bagus, Reva mengubah topik pembicaraan, bukannya
membuatku tenang justru malah membuatku semakin bĂȘte. “Enggak. Keluarga gue
punya acara pribadi. Paling gue ngalong sendiri. Nonton di bioskop, dinner, atau ya jalan-jalan aja
sendiri.” jawabku frustasi, pasrah supaya Reva puas.
“Wah sayang banget gue ada acara sama laki dan
mertua gue. Jadi gue enggak bisa nemenin lo Din, sorry ya hon.” ujar Reva
memohon maaf tanpa ada nada bersalah atau bisa dibilang cuma basa-basi.
“It`s Ok. I`ve
got it.” kataku mengerti maksud si nenek sihir Reva. Lunch yang membosankan. Semakin bete aku dibuatnya. Badmood terus sampai sore.
Aku mengerti, semuanya menghabiskan akhir tahun
dengan pasangan masing-masing. Papah dan mamah, Bang Zaki dan Mbak Windi, May
dan Aldi, Reva dan suaminya, mantan pacarku dan pacar barunya. Dinar just lonely, I`m Ms. Lonely, I have
nobody, for my own. Ini menyedihkan sekali, ya Tuhanku kumohon pertemukan
aku dengannya secepat mungkin karena aku sudah siap lahir dan bathin.
Skyscraper
30 Desember, untuk pertama kalinya Reva berhasil
mengusikku. Bukan hanya Reva tapi seluruh keluargaku. Mereka berhasil, sekarang
aku mulai galau. Mulai menyadari ternyata aku sudah hampir tua. Kupandang
cermin di toilet kantor menjelang pulang. Nampak wanita cantik seorang wanita
berparas mirip Rachel Weisz yang lesu dan tidak bersemangat. Aku tidak jelek,
tapi kenapa aku masih sendiri? Apa mungkin Reva benar, aku tidak membuka hatiku
untuk yang lain? Untuk pria lain yang cocok denganku? Mungkin aku harus
menerima tawaran Reva berkenalan dengan Dirham – 29 tahun. Tapi bagaimana aku
harus memulainya? Tengsin jika aku meminta, jelas-jelas aku sudah menolak.
“Eh, lo disini? Hujannya udah reda. Gak balik?” tanya
Reva, memasuki toilet. Aku memandangnya penuh arti. Pucuk dicinta, ulam pun
tiba.
“Hmm, temen lo itu. Dia kerja satu kantor sama laki
lo?” aku malah balik bertanya. Aduh sepertinya salah waktu, Reva langsung
menoleh tajam kearahku. “Kenapa?”
“Lo mau gue kenalin?” kali ini Reva yang balik
tanya, aku mengangkat bahu. Reva menggeleng prihatin dan kembali merapikan
riasan rambutnya menatap cermin. “Telat, dia udah kegebet sama cewek lain. Lo
sih gengsian. Padahal dia itu baik, mapan, sopan, ganteng lagi. Dan mature. Lo pasti suka. Secara, lo selama
ini pacaran sama childish,” ujar Reva
ketus, menyakiti hatiku. Aku hanya diam menatapnya, hatiku benar-benar terluka.
“Lo tata dulu deh hati lo baik-baik, persiapkan. Jadi kalau nanti dia – yang enggak
tahu siapa – dateng, lo udah buka hati lo. Dan enggak ngebuang sia-sia
kedatangannya,” lanjutnya lagi, semakin mengenai hatiku. Semakin sakit, karena
ucapannya benar. Aku sudah mempersiapkan hatiku baik-baik, tapi aku belum siap
membukanya.
“Gue duluan ya Din. Maaf hari ini enggak bisa bareng
lagi, mau jemput anak gue di rumah eyangnya.” ujar Reva menatapku dengan
tatapan sayang, nampaknya ia sadar perkataannya telah melukai hatiku. Ia
mengelus lenganku sambil berkata, “Semua pasti berjalan tepat waktu, karena
Tuhan sudah mengatur pertemuan lo dengan calon pemimpin lo. Gue duluan ya,
hati-hati di jalan dear.” katanya
lagi, aku masih diam membisu. Lalu ia menyentuhkan pipinya dengan pipiku,
tersenyum menenangkan dan menghilang. Aku kembali sendiri.
Skyscraper
Hari pergantian tahun tinggal beberapa jam lagi.
Tapi mood-ku masih tetap sama bad, really
really bad. Kesal dengan rencana yang sudah tersusun rapi tiba-tiba
dibatalkan, ditambah dengan kenyataan pahit bahwa aku Sekar Dinar Wijaya yang
berusia 27 tahun masih menjomblo, dan semakin lengkap dengan hadirnya hujan
rintik-rintik yang dingin di pagi hari. Oke kalau hari ini libur, aku pasti
bahagia karena tidak perlu bertemu dengan Reva yang senang sekali
mengolok-olokku – bukan berarti aku tidak senang dengannya, ia sahabatku. Hanya
saja ia tidak mengerti perasaanku yang merasa tertekan dengan statusku ini.
Padahal sebelum ini, semua berjalan baik-baik saja. Mungkin Reva kesal, karena
aku menolak permintaan baiknya untuk mengenalkan aku dengan Dirham – rekan
kerja suaminya.
Hujan rintik-rintik tidak berhenti juga, padahal aku
harus berangkat ke kantor sekarang juga. Berdempet-dempetan naik busway, lalu berjalan kaki menuju kantor
dengan berbecek-becek ria menggunakan payung. Meskipun tidak sendirian, tapi
aku tetap merasa sepi karena yang menemaniku hanya tetesan air yang
mengetuk-ngetuk permukaan payung, suara ban mobil yang melaju di atas aspal
basah diwaktu hujan dan hawa dingin yang membuat tubuhku menggigil.
Baiklah Dinar, aku harus berbesar hati menerima
cobaan ini. Toh tahun baru hanya terasa dalam hitungan 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 dan preeet
suara terompet. Lalu ada kembang api yang indah-indah, kemudian tidur. Hanya itu, nothing
spesial.
Masalahnya, moment
bahagia bukan saat meniup terompet dan menghitung detik jam menuju pukul 00.00,
melainkan saat melihat kembang api lalu mengucapkan resolusi dimasa depan,
sambil bercengkrama dengan keluarga yang penuh kasih sayang. Itu moment terbaik ditahun baru, tahun lalu.
Dan aku terancam akan melewati moment
terbaik tahun lalu, ditahun ini. Menyedihkan sekali.
Situasi dan kondisi pun sangat mendukung, andai saja
hari ini tanggal 31 Desember 2013 kantorku libur, mungkin aku hanya akan tidur
di rumah sampai malam tahun baru berlalu. Meskipun hanya setengah hari, tapi
tetap saja menyiksa bathin. Karena aku pasti akan melihat Reva, dan menyesali
rasa gengsiku yang tinggi menolak kebaikkannya untuk mengenalkan aku dengan
Dirham. Siapa tahu kan, mak comblang ini cara Tuhan menyatukanku dengan calon
imamku?
Aaahhhh, aku
menyesal. Kataku dalam hati
sambil mendorong-dorong kedua kakiku seperti anak kecil dibalik meja kantor.
Ingin menangis saja rasanya.
Dari pukul 08.00 sampai pukul 13.00 terasa sangat
lama dan menyiksa, karena si nenek sihir Reva kembali mengolok-olokku dengan
menyebut-nyebut kelebihan Dirham, membuatku semakin menderita. Aku berusaha
lapang dada dan sabar, hingga saatnya jam selesai aku pasti langsung cabut tanpa bicara lagi dengannya, dan
inilah saatnya pergi. Reva memanggil-manggil namaku, tapi aku terlalu jauh
untuk berbalik menghampirinya. So, aku pergi.
Aku tidak langsung pulang kerumah, terima kasih.
Saat ini hanya ingin memperbaiki moodku. Mengunjungi mall Kota Kasablanka,
menonton film Hobbit yang tidak mempertontonkan adegan mesra yang pasti akan
membuatku semakin lelah, hampir 3 jam film ini diputar, lalu aku menyantap mie
udon Jepang.
Sudah cukup lama aku disini, sebaiknya aku pulang.
Pasti sudah hampir malam. Kulirik jam ditanganku, jarum pendek angka tujuh dan
jarum panjang angka enam. “Ya ampun, baru jam setengah delapan?” teriakku
histeris, beberapa pengunjung menoleh kearahku. Merasa heran, wanita yang masih
berpakaian kantor dan seorang diri berteriak histeris.
Lalu aku harus kemana lagi? Berkeliling mall yang sangat ramai ini dengan sepatu
berhak 5 cm – bagiku ini sudah menyiksa karena aku tidak suka heels. Aku butuh
duduk tapi bukan di mall, aku ingin
tenang. Jadi kuputuskan untuk mampir kesalah satu taman di pusat kota. Taman
Senopati – Menteng.
Agak menyesal aku datang kesini. Tidak di mall,
tidak di taman, tidak dimana-mana, semua penuh dengan sepasang kekasih dan aku?
Sekali lagi kutekankan aku hanya sendirian. Di setiap spot taman ini diisi oleh
pasangan.
Mereka ngapain sih? Nguasain tempat, bikin
gue senewen aja. Kataku dalam hati merasa envy alias iri. Aku kan juga pengin begitu, tapi bukan bersama
pacar melainkan bersama suami.
Semua bangku taman sudah terisi, hanya tinggal
beberapa cela. Tapi enggak mungkin banget aku duduk diantara pasangan-pasangan
itu. Aku mengalah deh, akhirnya aku hanya duduk ditengah-tengah taman,
dilingkaran kolam air mancur kemudian langsung meluruskan kakiku dan sedikit
memijat-mijat dengkulku yang pegal. Tiba-tiba ponselku berdering, si nenek
sihir Reva menelpon.
Mau ngapain sih nih nenek? Gumamku dalam hati saking
betenya, sedetik kemudian aku mengangkatnya. “Ya?”.
“Dinar, lo dimana sekarang?” tembaknya langsung to the point. “Nyokap lo nyariin nih.
Aduh masa udah 27 tahun masih aja dicariin nyokap. Ganti dong dicariin
suami.”semprotnya, membuatku tambah senewen. Astaga nenek sihir yang satu ini,
aku gemas sekali padanya. Besok ketemu pasti kujitak 10 kali.
“Gue di taman senopati sendirian. Ngapain nyokap gue
nanyain gue ke lo. Hp gue aktif kok.”
“Enggak tahu deh, tadi telpon kesini. Yaudah nanti
gue sampein. Udah dulu ya. Dagh jomblo senior.” ujarnya lalu sambungan
terputus.
“Iiiiish, nenek sihir nyebelin.” Kataku sebal sambil
memasukkan ponsel kedalam tas, sedalam-dalamnya, sekencang-kencangnya. Heran,
suka banget sih meledek. Memangnya dia pikir aku mau apa jadi jomblo senior. Aku
pengin banget menikah, tahu enggak?! Grrrr!!
“Permisi. Boleh saya duduk disini?” tanya sebuah
suara besar menentramkan telingaku yang panas karena amarah, aku menoleh kearah
sumber suara itu berasal. Sepatu pantofel, celana bahan, dasi, kemeja dengan dua
kancing kemeja teratas dibuka, dan yang terakhir wajah tampan seorang pria
berpostur atletis. Tanpa berpikir panjang, aku menggeser pantat dan
memberikannya tempat duduk di sampingku.
Sialan, dia
keren banget. Enggak ada ruginya gue kesini. Oke, gue harus buka hati tapi gue enggak
boleh mulai duluan, gue harus tetap anggun.
Kataku dalam hati, aku melirik kearahnya. Memandangnya dari samping, hidung dan
bibirnya seksi, alisnya tebal itu baru dari samping. Tiba-tiba sudut pandangku
berubah, kali ini aku bisa melihatnya dari depan. Semakin seksi saja bentuk
hidung dan bibirnya, mirip sekali dengan Boy Hamzah. Cuci mata malam ini
membuat mataku jadi jernih dan fresh.
Aku tersenyum menatapi wajahnya. But,
hold on what did I said? Sudut pandangku berubah?.
“Lagi lihat apa? Jangan bengong nanti kesambet.” ucapnya
sambil tersenyum. Aku menyadari, ia menoleh saat aku sedang menatapnya. Ya
ampun, malu sekali. Kontan aku langsung membuang wajah.
“Enggak. Cuma…”kataku kehilangan kata-kata. “Lagi
nunggu siapa?” tanyaku, dan segera kusesali. Mengapa aku bertanya seperti orang
kepo?
“Nunggu temen, katanya mau dateng. Tapi enggak
dateng-dateng juga. Mungkin dia males kali ketemu saya.” jawabnya terdengar
kecewa, aku speechless. Suaranya
merdu, khas cowok. “Kamu sendiri malem-malem ngapain sendirian?”
“Oh…” ucapku, berusaha konsentrasi dari hipnotisnya.
“enggak ngapa-ngapain. Nyari suasana aja.” lanjutku, ia tersenyum. Ampun Tuhan,
ciptaanMu indah sekali. “Kelihatannya kamu bete?”
“Ya kecewa. Sepertinya dia menolak saya, dia teman
dari teman saya. Saya sudah lama berusaha mencari tahu tentangnya, saya rasa
dia tidak juga menyadari itu. Bahkan untuk berkenalan dengan saya pun tidak
mau” katanya terdengar terluka. Aku ikut menyesal, apa mungkin Dirham sekecewa
pria ini?! “Ini buat kamu, saya sudah enggak mau nunggu dia.” ujarnya sambil
menyerahkan plastik berisi kotak kue. “Buka aja, ada dua. Satu buat kamu, satu
buat saya. Kita sama-sama sendiri. Bukankah berdua lebih baik?”
Kata-katanya membuatku terhanyut bahagia dan malu,
meskipun tidak berarti dia naksir padaku. Enggak apa-apa kan membahagiakan hati
yang sedang gundah. Aku semakin bahagia melihat isi dari kotak itu, dua buah
roti almond croissant bertabur
gula-gula halus. Ini kan kesukaanku. “Wah, ini kan roti kesukaan saya.” kataku
keceplosan. “Eh, maksudnya…”
“Kalau gitu bawa pulang aja. Saya sudah makan mie
udon tadi.” sahutnya, aku menoleh. Kenapa bisa sama ya? Ah mungkin saja
kebetulan.
“Saya juga pernah mau dikenalin sama temen saya,
tapi saya nolak. Dengan alasan, saya mau cari sendiri. Terlalu egois ya. Saya
baru sadar, itu salah satu bentuk usaha, dan Tuhan menyukai hambaNya yang
berusaha.” kataku tiba-tiba, mengapa aku malah curhat padanya. Apa karena
masalah kami hampir sama? Tapi bukan berarti aku terlalu terbuka. “Sorry, nevermind. I just…”
“Enggak apa-apa. Itu alasan kamu menolak, enggak ada
yang salah dengan pendapat. Hanya tepat atau tidak tepat, mungkin sekarang kamu
bisa coba nerima tawaran teman kamu. Siapa tahu cowok itu baik buat kamu.”
“Iya, tapi sudah terlambat. Dia udah digebet cewek
lain. Hahaha..” kataku tertawa renyah, berusaha membuat lelucon tapi justru
malah menelan bulat-bulat kekecewaan yang muncul karena alasan yang tidak
tepat.
“Ohya, siapa nama kamu?” tanyanya, sambil
mengulurkan tangan. Aku menatapnya, ia tersenyum membuatku yakin ia bukan orang
jahat.
“Dinar.” jawabku lembut, sambil menyambut tangannya.
“Dinar, nama yang unik. Jangan-jangan kamu cuma laku
sama orang Arab.” Ia mulai bergurau, dan aku tertawa.
“Aku bukan Dinar mata uang, tapi aku Dinar nama …”
“Seorang gadis yang kuat,” potongnya, tangannya
masih menggengam tanganku. Mata kami bertubrukan. “Namaku Dirham.” katanya
tiba-tiba, membuat jantungku berdekup dengan kencang. Aku menarik tanganku dari
genggamannya.
“Dirham? Temannya, Reva?” tanyaku seperti orang
bodoh saking terkejutnya. “Teman suaminya Reva maksud saya.”
“Ya benar, saya Dirham yang kamu tolak beberapa
bulan lalu.” katanya terdengar kecewa, aku membuka mulut berusaha menjelaskan.
“Saya mengerti alasan kamu. It`s Ok.
Sekarang Reva sedang menunggu kita di apartemennya, kamu bisa ikut saya?” lanjutnya,
aku menatapnya tanpa berkedip. “Saya tidak akan menyakiti kamu, saya janji.” katanya
gentle sekali.
Akhirnya aku menyetujuinya dan menuju ke apartemen
Reva menggunakan mobil Dirham. Selama beberapa detik berdua di dalam mobil
dengan cowok yang pernahku tolak membuatku kikuk dan merasa bersalah. Apalagi sekarang
aku menyukainya, sangat menyukainya. Kenapa aku dulu tidak bersedia saja
berkenalan dengannya? Toh tidak semua cowok sejahat mantanku. Kelihatannya ia
baik, sopan, dan mature, memang
tipeku. Reva benar aku akan menyukainya, dan aku terlalu angkuh.
Tepat 10 menit sebelum pergantian tahun, kami sampai
di apartemen Reva, apartemen yang terletak tidak terlalu jauh dari Monas.
Ketika Reva membukakan pintu apartemennya, suara banyak orang meneriakkan.
“Selamat datang Double D”. Mataku menyesuaikan diri dan melihat isi apartemen
ini, ramai sekali. Keluargaku semua lengkap, keluarga kecil Reva dan sepasang
suami-istri lansia berwibawa yang nampak romantis – belum kukenal.
Setelah mengucapkan selamat datang, mereka sibuk
berbicara di ruang tengah sambil menyantap hidangan. Meja itu penuh sekali,
sepertinya sudah dipersiapkan matang-matang. Sedangkan aku – setelah menatap
mereka tidak percaya – langsung menuju jendela apartemen yang tinggi dan lebar.
Dirham menarik tangaku menuju jendela apartemen. Jendela yang sengaja tidak
ditutup gorden menyajikan pemandangan kota Jakarta dimalam hari. Pemandangan cahaya
lampu kuning dan putih menyala setinggi gedung pencakar langit. Jakarta dimalam
hari selalu indah dan memiliki kesan romantis.
Kami saling pandang satu sama lain, saling tersenyum
satu sama lain. Sepertinya ia sudah sangat mengenalku, sedangkan aku belum. Ia
menang 1 – 0 sekarang. Dan aku bersedia untuk mengenalnya lebih dalam agar kami
seimbang, segala sesuatu yang seimbang itu sejahtera.
Hitungan menuju pergantian tahun menggema di seantro
ruang tamu apartemen Reva, disusul suara tiupan terompet yang nyaring dan
ledakan kembang api dengan warna-warni yang indah menghias gelapnya malam kota
Jakarta.
“Dinar. Marry
me?” tanya Dirham membuat kakiku serasa lepas, dan lemas lalu tubuhku
terasa melayang diluar angkasa. Aku lagi-lagi menatapnya tanpa berkedip. “Do wanna marry me?” ulangnya terasa
lebih jelas di telingaku, dan langsung menghipnotis bibirku menyunggingkan
senyum, hatiku berbunga-bunga. Bagaimana bisa aku sebahagia ini, padahal aku
pernah menolaknya?
“Aku. Aku enggak nolak. Cuma aku butuh waktu buat
kenal kamu.” kataku malu-malu.
“Oke, jangan lama-lama ya. Aku sudah lama nunggu
kamu.” ujarnya menatapku penuh kasih sayang dan kelembutan. “Lihat, mereka juga
sudah lama nunggu kamu.”lanjutnya. aku melihat kearah mereka yang nampak akrab
dan bahagia.
Dirham menceritakan semuanya, bagaimana keadaan ini
bisa terjadi. “Jadi, kalian udah lama kenal? Kamu dan keluarga kamu udah lama
kenal keluarga aku?” tanyaku terkejut.
“Ya, setelah Reva rekomendasikan kamu. Aku langsung
cari tahu, setelah tahu tentang kamu, aku nunggu respon kamu. Tapi nihil, aku
temuin orang tua kamu untuk nunjukin aku ini serius. Setelah itu ketemu dua
keluarga, dan mereka sudah setuju tinggal nunggu keputusan kamu.” jelasnya, aku
tersenyum dan tersipu malu. Betapa gentlenya
pria ini, padahal ia belum mengenalku.
“Usaha yang bagus.” Aku mengakui dengan malu, ia
hanya tersenyum. “tadi kamu makan udon? Jangan-jangan…” tanyaku semakin bahagia
dibuatnya.
“Hehe. Iya, maaf ya aku ngikutin kamu. Takut kamu
kenapa-napa.” jawabnya kami saling menatap dan tersenyum. Aku bahagia sekali.
Di dalam Skyscraper dengan langit
penuh kembang api, aku menemukan moment
terbaikku, lengkap dengan keluargaku, sahabatku dan calon suamiku.
Skyscraper
Dua tahun kemudian – 2016 kami merayakan tahun baru
dengan kehadiran bayi mungil, buah hatiku dengan Dirham. Terima kasih Tuhan, Kau
menghadirkan kebahagiaan tepat pada waktunya ketika aku sudah siap. I love you Dirham.
JAKARTA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar