Sabtu, 31 Mei 2014

THE RED TELEPHONE BOX.


1. *Can`t Remember to Forget You*
Dua puluh dua tahun terlahir sebagai Jessica, tidak sekalipun aku mengenal sosok Ayah. Bagaimana wajahnya?! Seperti apa suaranya?! Dan gimana sih rasanya disayang seorang Ayah?! Aku hanya bisa melihat keakraban seorang Ayah dan anaknya hanya di film-film dan Ayah kawan-kawanku, tidak benar-benar pernah merasakannya. Aku ingin sekali bertemu dengannya.

Well, menurutku wajar sekali seorang anak ingin mengenal orang tua yang melahirkanku. Tapi Mom tidak pernah mengerti itu, Mom selalu menghindar setiap kali aku menanyakan soal Ayahku. Terakhir kali aku bertanya, sekitar seminggu yang lalu, Mom bilang aku hanya perlu belajar yang rajin agar menjadi wanita cerdas yang tidak gampang ditipu pria. Sejak itu aku tahu, Dad telah menyakiti Mom. Meski begitu, aku tetap berhak tahu siapa Ayahku!  

“Kalau emang Dad udah bohongin Mom, terus kenapa aku nggak boleh bertemu Dad?” tanyaku dengan tersulut amarah. Jelas sekali aku marah, 22 tahun aku selalu menanyakan tentang Ayahku, tidak sekalipun ia bersedia menjelaskan. Mom hanya bisa marah dan kesal setiap aku membicarakannya. Seperti saat aku berumur 10 tahun, ia membentakku ‘kamu tidak punya Ayah, kalau kamu terus-terusan menanyakan tentang dia, Mom tidak akan mau menjadi ibu kamu lagi’. Aku langsung menangis sekaligus ketakutan. Pikiranku saat itu, aku nggak punya Ayah, kalau Mom nggak mau jadi ibuku lagi, maka aku akan sendirian. Dan sejak itu tidak pernah bertanya. Tapi sekarang aku sudah besar, aku harus tahu tentang Ayahku. “Mom, sejahat apapun Dad, dia tetap Ayah Jessie! Jessie harus ketemu Dad. Mom, please!”

Shut your mouth up! Berapa kali Mom bilang? Kamu tidak punya Ayah! Your Dad were died!” jawabnya sambil menggosok-gosok rambut basahnya dengan handuk. Kami saling tatap, sama-sama bersikeras dengan keinginan kami. Mom ingin aku memusnahkan sosok Ayah dalam hidupku selamanya! Dan sebaliknya aku ingin bertemu dengan Ayahku, I can`t remember to forget him. Ruang tamu seketika mencekam, aura kami sama-sama kuat. Kurasa keras kepala Mom menurun padaku. “Sudahlah Jessie. Kamu tidak perlu ketemu dia!”

“Mom! I need to meet him. Itu hak Jessie.” ketusku tidak kalah galak dari Mom. Bukannya aku ingin membentak, tapi memang itu hakku. Mom menatapiku lelah, ia menghela napas panjang.

You supposed to be quite, i`m tired. I`m sleep now.” kata Mom sambil beranjak pergi meninggalkanku. Aku nggak mencegahnya, karena aku melihat wajahnya yang lelah.

Helaan napas pun terdengar berat keluar dari hidungku, setelah cukup tenang aku beranjak keluar menuju balkon apartemen di lantai 32, apartemen Syailendra yang terletak di jantung segi tiga emas Jakarta. Kubuka jendela kamar, angin malam yang dingin langsung menerpa wajahku. Pemandangan malam kota Jakarta yang penuh dengan lampu, dan suara bising menemani kerinduanku pada sosok Ayah.

“Hei, belum tidur?” suara wanita yang cukup seksi dan agak dewasa memecahkan lamunanku. She`s my aunt, Dona. Aku mengabaikan pertanyaannya. “Kangen lagi sama Dad?”

“Gimana bisa kangen kalau ketemu aja aku tidak pernah tan?!” jawabku tanpa menoleh ke arahnya, mataku malah menghitung bintang berkelip di langit hitam pekat. Jumlah bintangnya bisa dihitung dengan jari. Andai aku bisa berteleportasi, aku akan langsung pergi ke tempat Ayahku berada.

“Seberapa pengin kamu lihat dia? Dia cowok brengsek yang ninggalin ibu kamu.” pernyataannya cukup mengejutkanku, sebelumnya Tante Dona tidak pernah peduli dengan keadaanku yang ingin tahu identitas Ayahku. Tapi kali ini ia menjawab tanpa beban. Aku menoleh, ia tengah mendongak menatap langit pekat.
“sama seperti aku pengin kenal Mom, kalau posisinya terbalik.”

“Oke, akan Tante ceritakan.” ujarnya sambil berbalik dan duduk di kursi kayu yang terletak berdempetan dengan tembok. Aku mengikutinya. Setelah kami duduk berdampingan, Tante Dona melanjutkan. “Namanya Mark Kennedy. Kalau kamu mau lihat wajahnya, kamu ngaca aja.”

“Aku mirip Daddy?” tanyaku, ia hanya mengangguk sambil tersenyum tipis. Lalu ia menyerahkan smartphone slim-nya padaku. Mataku tertuju pada layar LCD yang menampilkan sosok pria berpose mesra dengan seorang wanita yang kukenal sebagai ibuku. “Hh… He`s Mark? Is he my Dad?”

Yes, he is.” jawab Tante Dona, “Dia ganteng ya. Siapa cewek yang tidak suka sama dia? Dia mirip Nicholas Hault.” lanjutnya, aku tertawa bahagia lalu seketika berubah murung karena keinginanku bertemu dengannya semakin besar. “Oke tante ceritain, tapi janji kamu tidak akan cerita ke ibumu?!”

Tante Dona pun bercerita. Intinya Mom merasa dipermainkan, padahal ia sudah sangat percaya dan mencintai Mark. Namun kenyataan tidak seindah harapan, Mark menikahi Mom hanya untuk sementara. Mengerti kan maksudku? Bisa dibilang pernikahan Ayah dan ibuku hanya kawin kontrak. Pantas saja setiap kali melihat pasangan bule dan cewek lokal Mom selalu merengut. Setelah itu, Dad kembali ke negara asalnya dan tidak pernah kembali.

“Dad orang mana Tan?”

“London. Dia asli Inggris.”

“Tante Dona tahu alamatnya?” tanyaku serius.

“Mau ngapain kamu?”

“Aku mau ketemu Daddy.” jawabku semakin serius, “Please, kalau Tante tahu, kasih tahu aku alamatnya. Aku harus ke Inggris, aku mau ketemu Daddy.”

“Sayangnya tante nggak tahu,” kata tante, pupus sudah harapanku. “Tapi Tante masih simpan nomor ponsel keponakannya, sepertinya masih aktif. Ayo ke kamar tante, nomornya ada di dompet.”

2. *There`s always hope, if you do what should you do*
Setelah lebih dari setengah hari – kurang lebih 15 jam – aku menempuh perjalanan dari Jakarta menuju Kota London. I`m alone, dan ibuku tidak tahu aku terbang – menggunakan pesawat tentunya – ke London untuk menemui Ayahku. Well, dengan kata lain aku kabur dari rumah. Ini berkat bantuan Tante Dona aku bisa berada di sini dengan selamat. She`s my super hero, she saved my life.

Sekarang aku baru saja mendarat dan sedang berjalan melintasi bangunan modern Heathrow Airport, London, United Kingdom. Yeah, I got it! Sebentar lagi aku akan menemui Ayahku. Oke, berjalan di tengah kerumunan orang-orang asing ini membuatku merasa amazing, padahal secara fisik aku tidak berbeda jauh dengan mereka. Hanya saja rambutku hitam pekat – menuruni Mom – dan agak sedikit mungil dengan rambut yang benar-benar straight – sepundak  dan dipotong rata pada bagian bawah.

Tante Dona bilang, ia tidak tahu dimana Mark tinggal, that`s absurd. Tapi tidak apa-apa, she`s still my hero. Nah sekarang aku harus meluncur menuju Grosvernor Square. Sekali lagi kuulangi, aku sendirian!!! Yah, aku hanya berusaha meyakinkan diriku bahwa aku pasti akan baik-baik saja. Toh di Grosvernor nanti aku akan bertemu dengan keponakan Dad, atau sepupuku. Tante Dona bilang, nama sepupuku itu Dianne. Dia tidak bisa menjemputku karena aku tiba saat ia dengan sibuk bekerja. Friday. Weekday. It`s okay, i`m fine.

Satu setengah jam perjalanan menggunakan taksi, cukup cepat dan selama perjalanan aku benar-benar terpukau dengan pemandangan Kota London yang bersih. Masih banyak bangunan-bangunan klasik yang sangat indah. Apalagi setibanya di Grosvernor Square

Lihatlah! Gedung-gedung bergaya Victorian itu masih berdiri tegak, dan cukup panjang dengan perpaduan warna merah bata dan putih, it`s totally perfect! Okay Jessie, berhenti terkagum-kagum. Kau bisa menunda dulu jalan-jalannya nanti. Tujuanmu ke sini untuk bertemu Dad.

Hal pertama yang harus kulakukan selanjutnya adalah menelpon Dianne – it`s done, checklish. Ia memintaku untuk menunggunya di taman, tidak jauh dari gedung-gedung Victorian tadi. Yeah, akhirnya aku duduk di salah satu bangku di tengah hamparan rumput hijau. Di sini sekarang memasuki musim gugur – autumn. So, warna dedaunan beranekaragam. Mulai dari merah, orange, kuning dan ada beberapa yang masih hijau. Udaranya juga cukup dingin bagiku yang tinggal di negara tropis.

Aku menunggu 15 menit, Dianne belum datang juga. Angin dingin berembus menerbangkan rambutku, meski pakaianku cukup tebal, angin itu membuat tubuhku merinding. Titik-titik hujan mulai berjatuhan, aku mengedarkan pandangan mencari tempat untuk berteduh. There`s no option, except The Red Telephone Box! Ok , honey. I`m coming.

Jadilah aku berdiri di dalam kotak telpon berwarna merah di tengah hujan rintik-rintik. Ponselku mati, power bank tertinggal, ceroboh sekali aku! Aku tidak bisa lagi menghubungi Dianne, meskipun aku berada di dalam telpon umum. Aku tidak punya koin atau apapun yang diperlukan agar bisa menggunakan telpon itu. Di dalam sini aku hanya bisa melamun menatapi titik hujan yang jatuh dan meninggalkan jejak air di kaca kotak telpon ini.

Sejurus kemudian seorang pria mengetuk kaca kotak telpon. Dengan wajah basah dan air hujan yang menetes menuruni hidung lalu berakhir di bibir merahnya ia berteriak, “Open the door please!” aku hanya bengong melihat pria itu, apa yang ia ingin kan? Berteduh berdua denganku di dalam kotak telpon sempit ini? Bukankah kotak telponnya ada dua? Aku menoleh kearah kotak telpon di sebelahku, dan kotak telpon itu sudah penuh dengan dua pasangan muda yang tengah berciuman mesra. Astaga! Aku langsung membuang wajah. “Hi, lady. Please, could you open the door?”

“Thanks.” katanya, setelah berada dekat sekali denganku di dalam kotak telpon merah ini. Lalu ia sibuk menepuk-nepuk lengan sweaternya yang basah. Aku menatapinya  bingung. “apa?” tanyanya jutek, aku menggeleng lalu merunduk. Ia tinggi dan berbadan besar, bagaimana kalau ia cowok jahat pasti aku sudah mati kutu dibuatnya. “Apa kau wisatawan?” tanyanya. Aku mengangguk. “Apa yang bisa kubantu?”

“Tidak. Terima kasih. Aku sedang menunggu seseorang.”

“Jangan sungkan, aku senang membantu.” katanya terdengar lembut, dan justru itu membuatku takut. “Baiklah, semoga kau beruntung.” lanjutnya, aku tidak menjawab. “Well, aku Drake. Kalau kau sewaktu-waktu membutuhkanku, kau bisa menghubungiku ke nomor ini.”

Ia menyerahkan selembar kartu nama dengan sebuah lambang yang tidak kutahu namanya. Setelah kubaca sekilas, namanya Drake Collin, ia seorang polisi. Aku segera meraih kartu namanya sambil berusaha menatapnya perlahan. “Aku Jessica. Dari Indonesia.”

“Aku tahu, kau bukan orang inggris. Kau terlihat can… maksudku, kau unik. Kau berbeda.” lanjutnya, ia terlihat gugup dan agak tersipu.

“Sebenarnya, aku …” ujarku, masih agak ragu untuk meminta pertolongan padanya. “Aku ke sini untuk bertemu dengan Ayahku. Tapi aku tidak tahu dimana ia tinggal.”

“Siapa namanya?”

“Mark… Mark Kennedy.”

“Oh, aku kenal dia. Dia guruku di SMA. Tapi sekarang ia menjadi dosen, dekan sekaligus pengusaha. Dia seorang pria yang hebat!”

“Sungguh? Kapan terakhir kau bertemu dengannya? Bagaimana rupanya sekarang? Apa masih setampan dulu dan … dia baik-baik saja kan?” tanyaku bertubi-tubi, Drake hanya membisu sambil mengamatiku.

“Maksudmu, kau tidak pernah bertemu dengannya?” dia balik bertanya padaku, aku langsung sadar kegembiraanku terlalu berlebihan dan justru membuatku terlihat menyedihkan. “Kau putrinya?”

Aku mengangguk pelan sambil menahan kesedihan, “Aku putrinya, tapi aku belum pernah bertemu dengannya. Bisakah kau menolongku? Antar aku menemuinya.”

“Ya, tentu.”

3. Best Thing I Never Had
Sungguh? Ini serius? Apakah tidak ada cara lain, selain polisi tampan ini mengantarku menggunakan mobil polisinya yang mentereng ini? Sepertinya tidak ada! Karena pada akhirnya aku sudah duduk manis di samping kursi driver.

“Ada masalah?” tanyanya membuyarkan lamunanku. Well, aku memang suka melamun. Melamun itu menyenangkan. Melamun bisa menimbulkan ketenangan yang membuatku menikmati waktu. Aku menoleh, tatapan kami bertemu lalu aku menggeleng dan menunduk. Hey, aku nggak tahan melihat mata hijaunya yang indah. Siapa sih cewek yang tahan ditatapan pria tampan, meskipun nggak ada tanda-tanda pria itu menyukai cewek yang ditatap. Tetap saja, rasanya jantung berdegup lebih cepat. “Kalau begitu kenapa kau diam saja?”

“Aku hanya terkejut. Baru kali ini aku ditumpangi oleh seorang pria dengan mobil patroli,” jawabku, ia tertawa. Lalu detik berikutnya, mobil ini berhenti. Tidak butuh waktu lama dari kotak telpon merah tadi menuju ke sebuah gedung masih bergaya victorian bercat merah bata. “Garden Flat, 48 Grosvenor Square. Di sinilah Ayahmu tinggal.”

Aku menatapi gedung itu, lalu pandangan mataku menyapu sekitarnya, mencoba memahami lingkungan tempat tinggal Ayahku. Bahagia sekaligus tekanan menyedihkan menerobos masuk mencekat dadaku. Di sini Ayahku tinggal, di sini ia tidur, di sini ia hidup dan aku baru mengetahuinya sekarang.

“Oh. Itu dia. Arah jam 12.” ujar Drake penuh semangat, kurasa pria ini masih sangat muda karena ia begitu riang. Well, aku rasa aku sangat cocok dengannya. “Sepertinya dia baru saja selesai mengajar, lihat dasinya berantakan sekali.” Lanjutnya, aku baru sadar yang Drake maksud dia adalah Ayahku.

Aku memberanikan diri mengarahkan pandanganku ke arah jam dua belas, dengan perlahan dan jantungk berdekup dengan cepat. Seorang pria berjas dengan kemeja putih dan dasi yang berantakan berjalan gagah santai menuju lobi flatnya. Tas yang ia jinjing khas sekali tas pekerja. Wajahnya nampak kusut karena lelah, matanya agak sayu, dan titik-titik rambut tipis memenuhi pipi dan dagunya. Ayahku, dia Ayahku. Dia mirip sekali dengan foto yang kulihat, namun sekarang ia pria dewasa yang meyakinkan. Melihat sosok Ayah adalah hal terbaik yang tidak pernah kudapatkan. Dan sekarang aku mendapatkannya! Bolehkah aku berlari dan memeluknya? Lalu memanggilnya Dad?

“Jessie!” panggil Drake, aku tersadar. “Keluar dan temui dia. Dia pasti senang bertemu denganmu.”

“Tidak.”

“Kenapa? Haruskah aku menemanimu? Baiklah! Ayo.”

Langkah kakiku rasanya berat menapaki bangunan mewah ini. Kurasa Ayahku seorang kaya raya yang mampu membeli flat dengan harga hampir 150 miliar rupiah. Tante Dona bilang, Ayahku tidak kembali ke Jakarta karena ia tidak punya uang. Tapi flatnya mewah sekali dan terletak di jantung kota London. Yah, aku tidak peduli itu, yang terpenting aku bisa bertemu dengannya.

Bunyi bel berdering, semakin memacu jantungku berdetak. Cukup lama kami berdiri di depan pintu, sepertinya Ayahku sedang mandi atau mungkin saja membuat kopi. Tunggu sebentar, apa ia sudah memiliki istri atau anak? 18 tahun yang lalu ia masih bersama ibuku, tapi sekarang?

“Tunggu Drake, sebaiknya kita pergi.” kataku tiba-tiba sambil memegang tangannya yang baru akan memencet tombol bel lagi. Ia memandangiku penuh tanda tanya. “Aku tidak ingin menganggunya, mungkin saja Ayahku sudah memiliki istri dan …”

Suara kunci pintu terbuka, disusul suara pria dewasa membekukan aliran darahku, “Hello Drake. Apa kabar?” tanyanya pada Drake, dan aku tidak berani menoleh.

Hi, Mr. Kennedy, aku baik. Bagaimana dengan anda?”
“sebaik yang kau lihat sekarang tuan polisi.”

Drake tertawa lalu menoleh ke arahku, ia menatapku yang sedang memujur kaku yang sama sekali tidak memiliki keberanian menoleh, menatap, apalagi berbicara pada Mark Kennedy – Ayahku. “Ohya Sir. Dia temanku dari Indonesia,” kata Drake mulai memperkenalkan aku. Perlahan aku menggerakkan kepala menghadap kearahnya. Ketika Drake mengucapkan kata Indonesia, mata pria di hadapanku membulat. Kini aku bertatapan dengannya, bayanganku tertangkap di bola matanya. “Jessica Kennedy, putrimu.”

Aku dan Mark Kennedy saling menatap, saling mengenali, dan saling menyampaikan perasaan. Aku dan Mark Kennedy sama-sama tidak mengucapkan sepatah kata pun, namun mata kami memancarkan sinar bahagia, gembira dan kasih sayang. Aku tersenyum seraya meneteskan air mata pada Mark Kennedy, dan ia ikut tersenyum dengan mata berkaca-kaca. Wajahnya masih setampan dulu, hanya saja ada guratan-guratan kecil di wajahnya. Matanya masih tetap sebiru samudera. Dan rambutnya kecokelatan halus terjuntai menutupi kening. Inikah Ayahku? Inikah pria yang selama ini kucari keberadaannya? Pria yang paling ingin kutemui?

“Dad?” panggilku lirih, suaraku parau bahkan terdengar menakutkan karena tenggorokanku tercekat kerinduan yang mendalam.

Senyumannya menimbulkan keriput tipis khas pria berusia sekitar 42 tahun. Ia tersenyum lebar sekali, memperlihatkan kebahagiaan dan kerinduan yang tidak kalah dalamnya dari kerinduanku padanya. Hari ini aku menyaksikan, ia – Ayahku yang katanya menelantarkanku – menghantarkan kasih sayang yang begitu mendalam, sampai-sampai air mata itu menetes jatuh dari pelupuk matanya.

“Jessica? Putriku?” tanyanya lembut. Aku mengangguk, bibirku bergetar karena tangis yang hampir meledak. “Kemari sayang, Dad rindu padamu.” lanjutnya sambil membuka tangan mengisyaratkan agar aku segera memeluknya. Meski canggung, tanpa ragu aku langsung berlari dan memeluknya erat.

“Aku rindu padamu Dad,” ujarku di tengah tangisan yang menderu. Ayahku memelukku dengan erat, mengusap kepalaku dengan telapak tangannya yang besar dan kuat, lalu mengecup pipiku penuh kasih sayang. Kecanggungan bisa dikalahkan dengan kerinduan kami. Kini aku bisa merasakan betapa sayangnya Mark Kennedy terhadapku.

“Kau baik-baik saja? Bagaimana dengan kuliahmu? Aku melihat foto kelulusanmu sayang, kau manis sekali dengan kebaya itu.” ucapnya sambil melepaskan pelukannya lalu menatapku lekat-lekat. Ia seperti seorang Ayah yang telah menemukan anaknya yang hilang di tengah Tsunami. Begitu cerewet melebihi ibuku, lega dan bahagia.

“Apa maksudmu dengan itu semua? Kau tahu aku memakai kebaya saat kelulusan?” tanyaku terkejut, apa kiranya yang tidak aku ketahui dari Ayahku ini?

“Masuklah.” katanya sambil membuka lebar pintu ganda. “Oh Drake, kau juga.”

“Tidak Sir, kau tahu aku sibuk?! Aku harus mengurus keamanan kota ini sebelum para mimic datang?” canda Drake, aku tersenyum mendengarnya leluconnya. Apa ia barusan sedang membicarakan alien yang menjadi lawan Tom Cruise di film Edge of Tomorrow?

“Oh baiklah. Lain kali kau harus makan malam bersama kami karena telah mengantar putriku padaku.”

“Tentu, Sir. Aku akan datang.” jawabnya, seraya tersenyum. Lalu Dad meninggalkan kami berdua.

“Drake. Terima kasih, kau sudah mengantarku ke sini. Well, aku bahagia sekali bisa bertemu dengannya.”

“Ya aku tahu. Bahkan aku ikut meneteskan airmata melihat kalian tadi.” katanya sambil berlaga menyusap mata dengan tangannya. Aku melancarkan pukulan pelan ke lengannya yang besar lalu kami sama-sama tertawa. “Undangan Ayahmu tidak pernah kuanggap main-main. Jadi aku pasti akan kembali lagi ke sini. Dan… hubungi aku Jessie… Maksudku, simpan kartu namaku. Kalau kau tersesat lagi, aku bersedia membawamu pulang.”

“Apa?” tanyaku pura-pura lugu. Padahal aku senang ia berusaha menggodaku.

“Membawamu pulang ke rumah Tuan Kennedy tentu saja.” jawabnya, aku tersenyum lepas. Berkat pria ini aku bisa menemui Ayahku lebih cepat. Drake menunduk sedikit tersipu. “Baiklah, aku harus pergi. Sampai jumpa Jess.”

“Sampai jumpa besok, Drake.”

4. *So Much For My Happy Ending*
Friday, May 30th, 2014. Menjadi hari yang bersejarah bagiku, karena ini adalah hari pertama aku bertemu dengan Ayahku, mengobrol akrab dengannya, bahkan bersenda gurau di flatnya mewah. Tapi sayang sekali, kurang lengkap tanpa kehadiran ibuku. Aku jadi merasa bersalah, sejak pergi kemarin aku tidak menghubunginya. Kurasa Mom sudah tahu, dan pasti Tante Dona habis dimarahi Mom. Thanks aunt, aku menyayangimu.

“Dad, ceritakan! Bagaimana kau tahu aku menggunakan kebaya saat kelulusan?” tanyaku sambil mendongak menatapnya. Tangan Dad yang besar mengelus keningku, kepalaku kuletakkan di atas pahanya. Tidak ada rasa canggung, karena seharusnya seperti inilah Ayah dan anak.

Dad mulai menceritakan. Aku terkejut dengan ceritanya. Ternyata, selama bertahun-tahun aku sudah berkomunikasi dengannya. Ia pemilik akun skype dengan nickname Adrian Cooper. Adrian ini lawan bicaraku selama aku belajar speaking bahasa Inggris. Aku bisa mendapat nickname itu dari Tante Dona, katanya Adrian guru less bahasa Inggrisnya. Well, tante baik sekali.

Pertama kali berbicara padanya, aku merasa langsung cocok dan Adrian memang seperti seorang Ayah bagiku saat itu. Ketika aku rindu dan kesal dengan kehidupan realku, aku pasti mengontaknya dan mencurahkan segala isi hati dan pikiranku padanya. Dan ia selalu saja bisa meladeniku, bahkan ia selalu mampu membuatku kembali tenang.

Dan well, ternyata pemikiranku salah selama ini. Kupikir Ayahku ini bukanlah Ayah yang bertanggungjawab dan meninggalkanku tanpa mau memberikan nafkah. Mark Kennedy lah yang membeli apartemen cukup mewah di Jakarta, dialah yang membayar kuliah mahalku selama tiga setengah tahun, dan semua kebutuhan hidup kami, Ayahku yang memenuhi. Ya Tuhan, aku memiliki Ayah yang baik. Aku ingin Ayah dan ibuku, juga aku dan mungkin nanti adikku bisa hidup bahagia bersama – dan juga Drake, aku menyukainya Tuhan.

“Dad, kau jahat! Kenapa kau tidak memberitahuku? Harusnya sejak dulu kita bisa bertemu.” kataku sedih, sambil menatapnya.

“Aku hanya ingin menjaga komunikasi denganmu, sayang. Kalau aku memberitahumu, Elisha pasti marah dan melarangku menghubungimu lagi.”

“Jadi Mom tahu? Kenapa Mom tidak memberitahu saja?” tanyaku kesal, aku benar-benar sebal pada Mom. Mengapa ia jahat memisahkanku pada pria yang sangat menyayangiku seperti Mark Kennedy.

Dan aku berani bertaruh Dad sangat menyayangi Mom, karena sampai detik ini ia hanya hidup sendiri. Sebelumnya Dad bercerita padaku, ia sudah mencoba berhubungan dengan wanita selain Mom. Hanya terjalin beberapa bulan dan kandas. Apalagi kalau bukan karena cintanya pada Mom?! Lalu apa yang membuat Mom keras kepala seperti itu?

“Aku pernah menyakiti hatinya.”

“Seperti apa?”

“Aku pernah berhubungan intim dengan sahabatnya. Lalu ia langsung mengusirku pergi, dan tidak membiarkanku menemuimu walaupun hanya semenit.” jawabnya jujur, dan aku ikut merasakan sakit di hati mendengarnya. Reaksiku, aku langsung berganti posisi, duduk di samping Dad dan menatap layar televisi 42inch yang tidak menyala. “Dan aku sangat menyesal telah melakukannya.” lanjutnya sambil mengacak-acak rambutnya dengan frustrasi. “Aku baru sadar, dialah wanita yang paling kucinta, ibu dari anak yang paling kusayang. Andai aku bisa memutar waktu, aku akan menjaga kalian semampuku.”

Jadi apa yang selama ini di ceritakan Mom dan Tante Dona padaku itu tidak benar?! Mereka tidak ingin aku membenci Dad, jadi mereka mengarang cerita yang lebih ringan kasusnya. Aku menoleh menatapnya dari gerakannya aku yakin Dad sungguh-sungguh. Tiba-tiba aku teringat segala curhatan Adrian Cooper tentang anak dan istrinya. Sama persis dengan apa yang ia ceritakan barusan. Aku beringsut memeluk Dad. “Dad. Aku sudah memaafkanmu. Kau harus berusaha agar Mom bersedia mendengarkan penjelasan dan pengakuanmu.”

“Ibumu terlalu keras kepala.”

“Aku tahu, Mom sayang padamu. Karena setiap malam, aku selalu memergokinya memandangi foto yang mirip sekali denganmu saat muda.” kataku, Dad menatapku lalu tersenyum. Ada harapan yang tersirat di matanya. “Demi aku, kumohon. Aku ingin memiliki keluarga yang utuh, aku ingin bahagia.”

Dad mengecup keningku, “Akan kucoba demi kau dan demi diriku sendiri.” Aku mendongak menatapnya sambil tersenyum, lalu mengeratkan pelukanku di pinggangnya yang masih kekar.

Aku akan melakukan apapun agar aku, hidupku, dan keluarga berakhir dengan bahagia dan selalu bersama.
5. Falling Stars
Tiga bulan berlalu...
Aku dan Dad berhasil membujuk Mom untuk datang ke London seminggu kemudian. Ini semua berkat ide gila si tampan Drake Collin. Ia menyarankan agar aku berpura-pura terjaring operasi penyebaran dan penggunaan narkoba, lalu aku ditangkap dan di penjara sampai orang tuaku datang. Dan memang, ide itu berhasil. Mom langsung menelpon Dad dan mengobrol banyak. Dad bilang, awalnya mereka canggung tapi lama kelamaan ada kegembiraan yang menggedor-gedor hatinya setelah sekian lama kesepian – kasihan Ayahku.

Lalu Mom datang mengunjungiku ke flat Dad. Aku sudah duduk di sana bersama Dad dan Drake yang menggunakan pakaian lengkapnya sebagai polisi – ini kali pertama aku melihatnya berseragam, ya ampun… serius ia gagah sekali. 

“Mom!” kataku sambil berdiri. Dad ikut berdiri di sampingku. Mom terdiam melihat kami semua. Aku heran ia nggak marah, ia justru menangis dan berhambur, berlari memelukku.

“Jess. Kau berhasil membuatku gila!” serunya sambil membungkus wajahku dengan kedua tangannya. Aku bisa melihat airmata menetes di pipinya. “Aku rindu padamu, sayang. Kenapa kau tidak menghubungiku?” tanyanya, lalu kembali memelukku.

“Aku baru pergi tiga bulan saja sudah membuatmu gila. Bagaimana kalau kau tidak bertemu denganku selama puluhan tahun?” sindirku, Mom mengendurkan dan melepaskan pelukannya dariku. Ia melirik Dad, dan kembali menatapku. “Mom, Dad sudah mengakui semua kesalahannya. Dan masih menyayangimu, dan aku. Jadi kumohon, bukalah hatimu dan rasakan itu. Mom... Aku tahu, kau masih menyayanyinya sama seperti ia menyayangimu.”

Mom tidak menghiraukan kalimatku, ia menatap tajam ke arah Dad. Lalu berjalan menghampirinya sambil berkata. “Jadi, selama putriku berada di sini, kau berhasil meyakinkannya? Apa maksudmu? Kau ingin merebutnya dariku?”

Aku terkejut, sekaligus bersedih. Aku tidak ingin melihat orang tuaku bertengkar, keduanya sangat kusayangi. Melihat dua orang yang dicintai bertengkar adalah hal terburuk yang pernah kulihat.

“Kau tidak akan bisa merebutnya dariku!!” kecam Mom, setengah berteriak.

Mereka berdua bertatapan dengan serius, Drake yang sebelumnya duduk di sofa beranjak menjauhi kami menuju pantry, ia tidak ingin menyaksikan kejadian selanjutnya.

“Selama ini aku berusaha menjauhimu dari Jessie, karena aku takut kau memberikan pengaruh buruk padanya. Tapi justru sebaliknya, kau berhasil meyakinkannya.” ujar Mom, terdengar lembut dan agak lirih. “Sebenarnya, perilakumu itu tidak hanya melukaiku tapi juga anakmu. Dulu aku pernah berucap, jika anakmu memaafkanmu, maka aku pun akan melakukannya. Itulah alasanku tidak menceraikanmu. Lagi pula, aku masih mencintaimu, Mark.”

“Jadi, kau memaafkanku?” tanya Dad lega sekaligus sedih. Mom mengangguk. “Terima kasih banyak Elisha.” lanjut Dad, terdengar kikuk. “Dan aku bersedia menerimaku kembali?”

“Bagaimana Jessica Kennedy? Kau mau menerima Ayahmu menjadi suamiku kembali?” tanya Mom kepadaku, wajahnya bercahaya dan ceria. Tidak pernah aku melihat wajah Mom yang cantik dan berseri seperti hari ini. 

"Tentu saja!" pekikku bahagia, aku tersenyum menahan tangis, mengangguk, lalu memeluk kedua orang tuaku. Dad meringis, aku tidak bisa membedakan apakah ia menangis atau tertawa. Tapi aku tahu, Dad sangat gembira.

Love you Mom. Love you Dad. Promise, stay together.”

Of course. Sweetheart.” jawab Mom.

Kami berbagi kasih dan kebahagiaan dalam satu paket setelah sekian lama terpisahkan oleh luka dan kepedihan. Ini memberikan banyak pembelajaran padaku, jika kita mau berusaha pasti harapan selalu ada.

“Maukah kau berbagi kebahagiaanmu padaku?” tanya Drake disela-sela aku sedang memerhatikan kedua orang tuaku sedang berpelukan mesra, tersenyum, tertawa dan pada akhirnya selalu berciuman. Aku membuang wajah dan beralih menatap Drake.

“Yah, tentu. Berkat kau, aku bisa bertemu dengan Ayahku. Dan berkat idemu, Mom datang dan akhirnya kami bisa hidup bersama lagi.”

“Dan, aku ingin hidup bersamamu,” katanya sambil menarik pinggangku mendekat dengan tubuhnya. Kini wajah kami hanya berjarak 15 centimeter, ia menatapku penuh ketertarikan dan sedikit napsu.

Sikap ke Indonesia-anku masih kental, jadi aku mendorong tubuhnya menjauh sambil berkata. “Tidak, sebelum kau mengajakku melihat Big Ben, Piccadilly Circus, Buckingham Palace dan yang terakhir Westminter Bridge saat malam hari. Setelah itu, akan kupastikan… aku akan bersamamu.”

“Ok. Aku akan cuti besok, dan membawamu ke semua tempat itu Jessie.” ujarnya lalu dengan cepat meraih kembali pinggangku. “Aku mencintaimu.” katanya terdengar halus sekali di telingaku. Lalu dengan cepat bibirnya sudah mengulum bibirku dengan lembut dan aku hanyut ke dalam cintanya, My Drake Collin.

Well, inilah alasan mengapa aku harus terbang menuju Inggris!? Karena aku sedang berusaha mengejar kebahagiaanku. Dan kebahagiaanku ada di Kota London, Grosvenor Square, United Kingdom.

Karena ide Drake, kedua orang tuaku kembali menyatu. Karena kebaikan Drake, aku berhasil bertemu dengan Ayahku. Dan berkat The Red Telephone Box – juga hujan – aku bertemu dengan Drake. Semua ini bisa terjadi karena aku berani berharap. There`s always hope, if you do what should you do!

The Red Telephone Box

End
BIG BEN

BUCKINGHAM PALACE

 GROSVENOR SQUARE
PIDDICALLY CIRSUS

WESTMINSTER BRIDGE


Sabtu, 10 Mei 2014

Menyayangimu Dari Jauh

“Pak Majid telat lagi romannya.” ucap Coca.
Aku diam saja, menikmati pagi yang sejuk ini. Koridor sekolah lantai 2 pun sepi, hanya kami berdiri yang bandel di luar kelas. Mataku sibuk mencari sosok pria di antara pria lain yang sedang bermain futsal.
Sosoknya mudah kukenali, ia berlari dengan gembira dan menikmati waktu, menendang bola dengan semangat, mengoper bola dengan sepenuh hati, rambutnya terbang memperlihatkan keseluruhkan wajahnya yang tampan. Reo begitu menikmati bermain futsal dengan teman-temannya. Betapa ia menyukai olahraga yang satu itu. Dan yang paling indah dari yang terindah adalah senyumnya terlihat lembut, hatiku berdebar bahagia. Gelombang bahagia menggulungku. Jauh dipandang dekat di hati.
Aku merasa seakan jam berhenti berdetik, dunia berhenti berputar dan semua hal yang bergerak di dunia ini menjadi patung. Setiap kali kedua bola mataku menangkap sosok itu, aku merasakan keindahan yang tidak ternilai harganya. Aku rela menghabiskan waktu hanya untuk merekam gerak-gerik Reo, sudah lama aku melakukan kegiatan ini. Mengaguminya dari jauh.
“Nadhira!!!” kedua sahabatku – Adele dan Coca – memekik di sampingku, membuat telingaku berdengung.
“Apa? Aduh budek deh nih gue kalau kalian terus teriak-teriak begitu!” kataku melirik mereka sambil mengosok-gosok telingaku. Serius lho berdengung!
“Ampun deh Nad, lo emang udah budek. Daritadi diajak ngomong diem aja.” semprot Adele agak kesal, aku manyun. Nggak salah sih Adele berkata seperti itu, karena aku memang nggak mendengar mereka bicara sama sekali. Beginilah kalau orang jatuh cinta, mendadak tuna netra. Panca indera cuma berfungsi untuk orang yang dicinta.
Sedetik berikutnya mataku kembali mencari Reo di tengah para cowok yang sedang berlari, tertawa, dan merebut bola. Tapi salah! Aku salah! Karena Adele mengikuti arah pandangku dan dia tahu deh penyebab ketulianku tadi. “Oh, pantes. Lo tuh ya, kalau udah berhubungan sama Reo udah kaya orang autis.”
“Siapa yang lihatin Reo, nggak kok…” sergahku malu-malu, aku belum ingin membagi rasa ini. Aku kepengin rasa ini private, executive dan exclusive. Kedua sahabatku melayangkan tatapan menilik, mereka berusaha menyerap ekspresi di wajahku. Pokoknya aku nggak mau mereka tahu sekarang, malu kan kalau misalkan Reo nggak suka juga padaku?! Nanti aja deh ya, kalau sudah ada tanda-tanda.
“Lo tertarik Nad sama dia?” tanya Coca, aku menggeleng terlalu kencang  ketara banget bohongnya. Kini kami bertiga saling berhadapan, sepertinya sebentar lagi aku akan disidang.
“Wajar sih lo suka sama dia. Dia itu kategori cowok yang hampir sempurna.” puji Adele, tapi ia tidak memperlihatkan ketertarikannya pada Reo.
“emang apa yang bikin dia masuk kategori itu?” tanyaku pura-pura nggak tahu, padahal akulah yang paling tahu tentang Reo lebih dari siapapun di sekolah ini.
“Nggak usah pura-pura bego Nad,” tukas Adele, wajahnya terlipat menjadi beberapa bagian karena sebal.
“Pinter, berprestasi, kalem, tenang, cool, awesome, handsome, something bingit deh pokoknya!” Coca yang menjawab setengah berteriak.
Seperti sebuah lagu yang menjadi soundtrack film, kalimat Coca mengiringi mataku mengikuti gerakan Reo. Reo sedang duduk istirahat di pinggir lapangan bersama kawan-kawannya. Entah kenapa, wajah itu sangat lembut untuk kulihat. Ingin rasanya kusentuh kedua pipinya dan kuelus rambutnya yang terjuntai halus. Setiap gerakannya sangat anggun, bahkan kedipan matanya. Ia tertawa bersama kesepuluh kawannya, tangannya memutar tutup botol air mineral, diteguknya air itu menuruni tenggorokan. Astaga, aku bisa melihat jakun – yang menonjol – bergerak dilehernya – khas pria. Senyumku tertarik lebar! Saraf dan otot tubuhku mengendur menikmati wajah Reo-ku. Semakin kupandang, semakin rupawan! Aduh bahagianya.
Bunga-bunga di hati tiba-tiba bertransformasi menjadi kupu-kupu yang melilit di dalam perutku, saat kepalanya tiba-tiba mendongak lalu menangkapku yang sedang memandangnya penuh kebahagiaan  dan tersenyum lebar.
Kami beradu pandangan. Dengan secepat kilat, aku langsung berjongkok menutupi tubuh di balik tembok tempatku bersandar tadi. Jantungku sekarang berdetak lebih cepat, dan angin yang sepoi-sepoi berubah menjadi uap panas yang membuatku berkeringat.
Kedua sahabatku mengikuti gerakanku, mereka berjongkok tanpa tahu alasannya. Wajah mereka terlihat bingung, merasa terancam dan sedikit panik. Pandangan mata Coca menyapu koridor yang sepi mencari sumber masalah yang membuatku berjongkok.
“Ada apaan sih Nad?” tanya Adele.
“Pak Boy ya?” tambah Coca, Pak  Boy adalah seorang guru yang terkenal sering memberikan sanksi. “Matilah awak!” Coca langganan kena hukuman.
“Bukan.” jawabku singkat, aku masih berusaha sadar dari hipnotis Reo. Pikiranku terbayang-bayang wajah itu.
“Hei kalian, ayo masuk!!!” bentak suara berat seorang pria dewasa – Pak Boy.
*****
Aku terpilih menjadi wakil dari sekolah untuk Olimpiade Science 3 hari lagi, bersama Reo. Kuulangi, bersama Reo! Ya ampun, kemarin lusa aku bertemu dengan Reo di ruang BP saat pengarahan. Seperti biasa ada salting, canggung tapi bahagia. Bahagianya masih terasa sampai sekarang meski aku sedang berkutit dengan buku matematika di perpustakaan sekolah saat jam istirahat.
“Serius banget,” ujarnya lembut, suaranya membuat otot-ototku menegang, jantungku berdenyut lebih cepat namun rasanya enak. Maksudku, detak jantung ini memicu hormon lain hingga muncul perasaan gembira.
Kuangkat kepalaku perlahan, dan mulai meliriknya. Deg! Jantungku meletup menyenangkan. Reo sudah duduk di hadapanku dengan wajah menawannya yang tenang bagai air jernih. Ia memerhatikanku dengan seksama, serius dan selalu ada senyuman yang tipis sekali di sudut bibirnya. Tatapannya melemahkan pertahananku, aku pun berubah menjadi salah tingkah. Kututup bukuku sambil menundukkan kepala, lalu detik berikutnya kubuka lagi. Well, tenang Nad!
“I… iya. Tiga hari lagi olimpiadenya dimulai,” responku seraya membebaskan rambut yang menyelip ditelingaku. Aku bersyukur memiliki rambut yang panjang, terkadang rambut ini bisa membantu menutupi rona wajahku.
“Jangan sengaja gerai rambut kamu kalau cuma mau nutupin muka,” kata Reo lalu ia menyentuh rambutku dan menyelipkannya kembali, sentuhannya membuatku merinding. “Itu nggak sopan,” lanjutnya, aku sedikit membuang wajahku nggak ingin ia menangkap wajahku yang memerah. “Begini kan lebih manis.”
Astaga Reo membuat jiwaku bergetar, ia memujiku. Aku diam seribu bahasa nggak mampu menjawab apapun, speechless. Dan tatapannya serasa menohokku tepat dihati, ingin rasanya aku berteriak please Reo jangan tatap aku seperti itu. Aku nggak bisa berpikir apa-apa selain mengambil buku soal matematika dan menyembunyikan wajahku dibalik buku.  Aduh seperti anak kecil aku dibuatnya.
Reo tertawa, lalu menarik buku yang kupegang dan dibiarkan tergeletak diatas meja. “Kamu kenapa sih?” tanya Reo masih diiringi tawanya yang terdengar manis menghibur ditelingaku. “Udah cukup Nad sembunyi-sembunyinya. Aku udah lama merhatiin kamu, kamu tahu kan?”
Malu-malu kuangkat kepalaku, kutatap matanya. Sorot mata indah itu kini berkilapan menunjukkan kejujuran perkataannya. Aku memberanikan diri untuk mengakui. “Ya, kita sama-sama tahu.” jawabku hati-hati.
Reo tersenyum lembut penuh arti, “Maaf, aku nggak maksud ngerebut peringkat kamu.”
“Nggak perlu minta maaf, kamu nggak salah. Kita semua punya kesempatan yang sama untuk maju, kesuksesan tergantung usaha dan semangat kita sampai mana. Mungkin waktu itu usaha aku kurang. Dan yang paling penting sejak itu, aku sadar kehadiran kamu Re.” jawabku, kalimat itu terlontar begitu saja dengan lancar. Wah mestakung banget ini, semesta mendukung. Aku mulai merasa nyaman dengannya seakan kami sudah dekat sekali.
Kami masih bertatapan, meski ada perasaan canggung sekaligus malu yang menggerogoti perasaan kami. “Pertama kali lihat kamu, waktu upacara pertama di kelas X semester 2. Kamu jadi pengibar bendera dihari senin. Senyum kamu,” Reo menghentikan kalimatnya, nampaknya ia tidak tahan menahan sesuatu yang membuat pipinya memerah. Ia menunduk tersenyum malu. Seakan mengerti apa yang Reo katakan, aku merasakan hal yang sama – malu sekaligus bahagia. Ternyata ia memerhatikanku sudah selama itu. Ah malunya aku!
Tiba-tiba Reo mengangkat kepala lalu melanjutkan. “Ya, sejak itu aku tertarik. Apalagi waktu aku tahu kamu juara umum, lolos paskibraka nasional – aku sering lihat kamu latihan, kamu juga punya banyak teman, ramah, anggun, dan …” ia kembali menghentikan kalimatnya, aku mengigit bibir menahan jiwaku yang hampir lepas dari tubuh karena pujian itu. “Dan semua itu menambah ketertarikan aku.”

“Aku juga!” kata-kata ini meluncur tanpa izin, aku langsung menutup mulutku. Reo terdiam, lalu ia tertawa mencairkan suasana.