Rabu, 23 April 2014

Skyscraper

Skyscraper
Jakarta. Kota ini menjadi salah satu kota tujuan bagi penduduk Indonesia. Kota yang kecil tetapi mampu menyokong segala aspek kehidupan dari puluhan kota di Indonesia nan kucinta. Skycrapers di kota ini berisi ribuan aktivitas, mulai dari kegiatan yang menunjang fungsi infrastruktur kepemerintahan atau hanya sekedar tempat tinggal warga Jakarta. Jakarta dicaci karena banjir dan macet, tapi mereka tidak sadar mereka yang mencaci mengantungkan harapan hidup di kota ini.
Aku menjadi salah satu pekerja di dalam Skyscraper itu. Pekerja disalah satu gedung tinggi di bilangan Sudirman, Jakarta. Tepat di depan senayan, SCBD. Menurutku kawasan ini adalah salah satu kawasan aktif. Khususnya dalam bidang ekonomi. Sebut saja itu Bursa Efek Jakarta.
Menjadi karyawati ada baik dan buruknya, baiknya aku bisa bertemu dengan rekan-rekan pria tampan nan gagah berjas rapi, dan buruknya – inilah masalahku – aku belum bisa memiliki satupun diantara pria tampan itu, alias jomblo. Jangan pernah mengatakan kalau aku tidak laku, aku laku kok. Hanya saja tidak semudah itu kisah percintaanku dimulai.
Seperti beberapa bulan yang lalu, aku naksir salah satu rekanku. Tapi buru-buru aku hilangkan perasaan itu, yang benar saja aku naksir pada seorang pria yang sudah memiliki istri dan dua anak. Jika aku ini si wanita jelalatan yang suka menganggu hubungan orang, aku bisa dengan mudah mendapatkannya hanya dengan mengedipkan mata indahku. Tapi aku tidak kepengin.
Jumat sore ini, Jakarta diguyur hujan cukup deras. Beberapa hari sebelumnya memang angin bertiup cukup kencang membuatku takut pulang. Bukan karena takut ditiup angin seperti iklan penambah berat badan. Tapi aku takut tertimpa papan reklame, aku belum nikah. Jadi kuputuskan untuk melanjutkan tugasku sampai hujan reda. Judulnya Last Friday Night bersama pekerjaanku didepan komputer.
“Dinar, chatting mulu! Buruan selesaiin tugasnya.” tegur salah satu sahabat yang sekaligus rekan kerjaku. Ia bernama Reva, seorang wanita berusia 30 tahun yang sudah memiliki dua orang anak. Sedangkan aku hanya berbeda tiga tahun dengannya belum memiliki pacar.
Terkadang kenyataan itu membuatku sedih. Bagaimana ia bisa mempunyai dua anak diusianya sekarang. Rasanya ingin menangis jika ada acara kantor dan rekan-rekanku membawa anak-anak mereka yang lucu dan menggemaskan. Tapi aku yakin sekali, Tuhan tahu yang terbaik untukku. Akan tiba saatnya ketika Tuhan bilang “Yak Dinar, Aku rasa kau sudah siap bertemu dengan kebahagiaanmu. Persiapkan saja dirimu baik-baik. Oke sayang?!”. Terenyuh hatiku ketika diriku mampu memotivasikan diri sendiri atas nama Tuhan. Well, Tuhan itu prasangka HambaNya bukan?! Jadi aku harus berprasangka baik-baik.
Atau gambarannya seperti ini, kalian pernah berpuasa satu hari full? Kenapa kalian masih terus mampu menahan lapar, haus dan emosi? Karena kalian tahu, waktu maghrib akan tiba. Dan itu yang kuaplikasikan dalam kehidupan percintaanku. Aku sabar menahan kejombloanku ini, karena waktu yang bahagia itu akan datang tepat waktu.
Aku menoleh menatap Reva, lalu berkata “Enak aja, siapa yang chatting? Gue lagi ribet selesaiin tugas akhir nih. Enggak mau lembur, kan mau tahun baruan sama keluarga.”
“Keluarga? Emang udah punya?” tanyanya dengan nada bergurau, aku menatapnya nanar. “Eh?”
“Reva. Please dong, lo jangan ngeledekin gue terus.” jawabku sedih, Reva sering kali meledekku. Nampaknya ia cukup kesal, karena beberapa bulan - mungkin tiga bulan - lalu aku menolaknya. Bukan menolak cintanya, tapi menolak tawarannya menjadi mak comblang untukku.
“Lagian sih, gue kenalin sama Dirham enggak mau. Dia itu tipe lo banget Din. Paling enggak kasih kesempatan buat dia kenal dulu sama lo.” rayunya terdengar serius.
“Enggak Reva sayang. Lo tahu kan, gue enggak bakal mau dijodoh-jodohin. Bukan jamannya Siti Nurbaya. Biarlah waktu dan tempat yang mempertemukan kami.”
“Dasar lo cabe-cabean. Terserah deh. Semoga ketemu sebelum lo manopause.” ujar Reva terdengar sedikit kesal, lalu kembali serius dengan pekerjaannya.
“Enggak sopan ngatain gue cabe-cabean. Gue wanita karier tahu!”
Astaga orang ini, mendadak ketus setelah aku menolak tawarannya. Aku menghela napas, dan bersandar pada kursiku. Merasa lelah dengan pekerjaan dan bathin, karena selalu saja mendapatkan beban pernikahan. Tidak hanya dari Reva, dari abangku, adikku, ibuku, ayahku bahkan granny. Ya Tuhan, Kau tahu aku sudah siap. Pertemukanlah kami. batinku cemas. Aku duduk menegakkan punggung, kemudian meraih cangkir berisi hot chocolate yang sudah dingin, dan menegaknya dengan cepat.
Tetes-tetes hujan tertinggal di bagian luar kaca jendela, meninggalkan kesan yang menentramkan. Pemandangan kota yang sebelumnya tertutup jutaan tetesan air yang mengguyur kota Jakarta, kini terlihat berdiri kokoh.
“Hujan udah reda tuh, yuk balik.” kata Reva, ia langsung berdiri siap pulang dengan tas menyampir dipundaknya.
“Bareng gue? Wah asik dong, gue ada temennya.” jawabku antusias, lalu buru-buru merapi segala perlengkapan kantorku.
“Bareng sampe lobby aja ya dear. Gue kan udah punya laki, jadi gue dijemput.” ia sengaja meledekku. Aku tersenyum manis untuk membuktikan kalau aku tidak terusik dengannya.
“Sampe lobby pun enggak masalah.”
Skyscraper
Memang benaran kok enggak masalah, kesendirian itu sudah melekat didalam hatiku. Menyedihkan nasib percintaanku ini. Bukan tanpa sebab, aku begini karena aku lelah menjalani masa pacaran yang hanya menghabiskan waktu, energi, dan uang. Oh, tambah satu lagi, menghabiskan perasaan sampai sakit ke ulu hati.
Habis sudah perasaanku berpacaran dengan seorang pria yang tidak memiliki orientasi masa depan, penggila seks, penggila games online dan tidak setia. Parahnya, aku percaya saja kalau ia akan sukses di masa depannya. Bagaimana akan sukses kalau kuliah dan usaha saja ia malas lakukan. Tuhanlah yang membukakan mataku dengan cara yang sangat indah, mataku bisa melihat kalau ia memiliki hidung yang belang, alias kucing garong, alias keong racun, alias buaya darat, dan alias-alias lainnya yang memiliki arti pria tidak setia yang hobi selingkuh dan tidak puas dengan satu wanita saja. Oke, jangan diingat, aku sudah melupakannya. Dan sekarang aku menunggu pria yang siap melamarku.
Lamunanku buyar akibat suara tepukan tangan yang sengaja menyadarkanku. Ah ternyata adik kecilku baru saja pulang kuliah. Ia duduk melonjorkan kaki di sampingku. “Mbak. Rencana tahun baru mau kemana?” tanya May sambil meneguk teh hangat yang sudah tersedia. Enak sekali jadi anak bontot, mendapatkan service yang memuaskan dari orang tua.
“Bikin teh sendiri dong dek. Kamu kan udah gede, jangan ngandelin mamah terus.” kataku agak sebal tiap melihatnya dimanja mamah dan papah. Meskipun aku sadar, mungkin jika aku menjadi orang tua, aku akan melakukan hal yang sama. Tapi kan May harus mandiri.
“Mbak, kayanya May enggak bisa ikutan ke Bandung deh. May mau ada acara di kampus. Biasa bakar-bakaran.” ujar May tanpa menggubris protesku, ia menguncir rambut konde tinggi-tinggi.
“Bakar-bakaran atau jalan-jalan sama pacar?” ledekku, sambil membuka-buka majalah cinemags yang sudah langganan tiap bulannya. Aku hobi nonton film.
“Bakar-bakar di kampus mbak, sama Aldi juga sih.” jawabnya malu-malu, lalu merebahkan tubuhnya di atas sofa empuk yang memanjakan.
“Kita kan udah planning mau ke Bandung sekeluarga dek. Kamu harus mintingin keluarga dulu dong.”
“Bukan gitu mbak, aku bosen ke Bandung terus. Tahun kemarin kan udah ke sana. Tahun ini aku mau sama temen-temen mbak.”
“Iya, abang juga enggak bisa ikut ke Bandung dek. Ada acara di kantor dan mengundang anak dan istri.” kata Bang Zaki, abangku ini setiap weekend datang ke sini. Kamu ke Bandung sama mamah dan papah aja.”
“Mamah dan papah di rumah aja deh. Kamu pergi aja sama temen kamu Dinar. Kan teman kantor kamu banyak.” sambut mamah sambil berjalan di belakang Bang Zaki.
“Iya deh iya. Nanti Dinar jalan-jalan aja sama temen.” kataku bete sambil cemberut.
Skyscraper
Mood jelekku semalam mempengaruhi weekend-ku hari ini. Aku tahu, sangat tahu alasan keluargaku membatalkan liburan akhir tahun kami karena mereka semua ingin melihatku menghabiskan waktu dengan pacarku. Ya ampun, aku enggak bohong kalau aku memang enggak punya pacar.
“Lo lagi diet?” tanya Reva,  ketika kami sedang makan siang di restoran dekat lantor. Aku diam saja masih sibuk mengaduk-aduk iced cappuccino dengan wajah super bete. Ya gimana enggak bete kalau setiap hari dirongrong soal pernikahan. Oke, aku tahu umurku sudah 27 tahun! Tapi kan enggak perlu invasi bathin begini, menyebalkan tahu!!
“Nanti lo makin kurus kering, dan makin enggak ada cowok yang mau sama lo.” lanjutnya, kali ini aku menatapnya tajam. Tapi ia tidak menyadarinya, malah memasukkan sesendok makan siangnya ke dalam mulut dengan wajah innocence.
“Enggak usah bahas cowok ya Rev, gue enggak mood.” kataku tegas, dan kali Reva mengerti karena wajahnya berubah menjadi sosok kakak yang dewasa. Kami berbeda 3 tahun.
“Kalau bosen sendiri, open your heart dong dear. Gimana ada yang masuk kalau lo enggak bersedia buka hati lo?! Emang lo mau jadi perawan tua?” ujar Reva penuh perhatian, ia menghentikan lunchnya untuk menunjukkan betapa seriusnya pembicaraan kami kali ini.
“Astaga Rev, gue masih 20. Belum pantes dapet gelar perawan tua. Lagian gue bukan enggak buka hati. Udah buka kok, lebar malah. Tapi emang belum waktunya.” jawabku santai, lalu menyedot ice cappuccino.
Aku mendengar helaan napas Reva yang panjang, membuatku sedikit meliriknya. “Lo bukan 20, tapi 20 yang hampir 30.” kata Reva, ada penekanan diangka 30. Membuatku semakin terpojok, dan sedih. Sudah setua itukah aku? “Lo enggak kasian sama anak lo nanti? Lo udah tua, dia baru belajar jalan?” lanjut Reva ketara sekali berusaha sabar. “Kalau lo udah buka hati, lo enggak bakal nolak kenalan sama Dirham.”
“Itu masalah lain Rev. Gue cuma enggak mau aja dijodohin. Gue harus kenal dulu sama dia. Gue enggak mau salah pilih lagi. Buang-buang waktu lagi.”
“Iya emang gitu. Lo kenalan dulu sama Dirham. Lagian kenapa lo pede banget dia bakal langsung ngelamar atau nembak lo.” ujar Reva, kembali santai dan memasukkan makan siangnya lagi. Aku terdiam, tidak mampu merespon apapun karena aku masih terlalu takut mengenal pria yang belum kukenal. “Jadi, malem tahun baru nanti lo ke Bandung?”
Ide bagus, Reva mengubah topik pembicaraan, bukannya membuatku tenang justru malah membuatku semakin bĂȘte. “Enggak. Keluarga gue punya acara pribadi. Paling gue ngalong sendiri. Nonton di bioskop, dinner, atau ya jalan-jalan aja sendiri.” jawabku frustasi, pasrah supaya Reva puas.
“Wah sayang banget gue ada acara sama laki dan mertua gue. Jadi gue enggak bisa nemenin lo Din, sorry ya hon.” ujar Reva memohon maaf tanpa ada nada bersalah atau bisa dibilang cuma basa-basi.
It`s Ok. I`ve got it.” kataku mengerti maksud si nenek sihir Reva. Lunch yang membosankan. Semakin bete aku dibuatnya. Badmood terus sampai sore.
Aku mengerti, semuanya menghabiskan akhir tahun dengan pasangan masing-masing. Papah dan mamah, Bang Zaki dan Mbak Windi, May dan Aldi, Reva dan suaminya, mantan pacarku dan pacar barunya. Dinar just lonely, I`m Ms. Lonely, I have nobody, for my own. Ini menyedihkan sekali, ya Tuhanku kumohon pertemukan aku dengannya secepat mungkin karena aku sudah siap lahir dan bathin.
Skyscraper
30 Desember, untuk pertama kalinya Reva berhasil mengusikku. Bukan hanya Reva tapi seluruh keluargaku. Mereka berhasil, sekarang aku mulai galau. Mulai menyadari ternyata aku sudah hampir tua. Kupandang cermin di toilet kantor menjelang pulang. Nampak wanita cantik seorang wanita berparas mirip Rachel Weisz yang lesu dan tidak bersemangat. Aku tidak jelek, tapi kenapa aku masih sendiri? Apa mungkin Reva benar, aku tidak membuka hatiku untuk yang lain? Untuk pria lain yang cocok denganku? Mungkin aku harus menerima tawaran Reva berkenalan dengan Dirham – 29 tahun. Tapi bagaimana aku harus memulainya? Tengsin jika aku meminta, jelas-jelas aku sudah menolak.
“Eh, lo disini? Hujannya udah reda. Gak balik?” tanya Reva, memasuki toilet. Aku memandangnya penuh arti. Pucuk dicinta, ulam pun tiba.
“Hmm, temen lo itu. Dia kerja satu kantor sama laki lo?” aku malah balik bertanya. Aduh sepertinya salah waktu, Reva langsung menoleh tajam kearahku. “Kenapa?”
“Lo mau gue kenalin?” kali ini Reva yang balik tanya, aku mengangkat bahu. Reva menggeleng prihatin dan kembali merapikan riasan rambutnya menatap cermin. “Telat, dia udah kegebet sama cewek lain. Lo sih gengsian. Padahal dia itu baik, mapan, sopan, ganteng lagi. Dan mature. Lo pasti suka. Secara, lo selama ini pacaran sama childish,” ujar Reva ketus, menyakiti hatiku. Aku hanya diam menatapnya, hatiku benar-benar terluka. “Lo tata dulu deh hati lo baik-baik, persiapkan. Jadi kalau nanti dia – yang enggak tahu siapa – dateng, lo udah buka hati lo. Dan enggak ngebuang sia-sia kedatangannya,” lanjutnya lagi, semakin mengenai hatiku. Semakin sakit, karena ucapannya benar. Aku sudah mempersiapkan hatiku baik-baik, tapi aku belum siap membukanya.
“Gue duluan ya Din. Maaf hari ini enggak bisa bareng lagi, mau jemput anak gue di rumah eyangnya.” ujar Reva menatapku dengan tatapan sayang, nampaknya ia sadar perkataannya telah melukai hatiku. Ia mengelus lenganku sambil berkata, “Semua pasti berjalan tepat waktu, karena Tuhan sudah mengatur pertemuan lo dengan calon pemimpin lo. Gue duluan ya, hati-hati di jalan dear.” katanya lagi, aku masih diam membisu. Lalu ia menyentuhkan pipinya dengan pipiku, tersenyum menenangkan dan menghilang. Aku kembali sendiri.
Skyscraper
Hari pergantian tahun tinggal beberapa jam lagi. Tapi mood-ku masih tetap sama bad, really really bad. Kesal dengan rencana yang sudah tersusun rapi tiba-tiba dibatalkan, ditambah dengan kenyataan pahit bahwa aku Sekar Dinar Wijaya yang berusia 27 tahun masih menjomblo, dan semakin lengkap dengan hadirnya hujan rintik-rintik yang dingin di pagi hari. Oke kalau hari ini libur, aku pasti bahagia karena tidak perlu bertemu dengan Reva yang senang sekali mengolok-olokku – bukan berarti aku tidak senang dengannya, ia sahabatku. Hanya saja ia tidak mengerti perasaanku yang merasa tertekan dengan statusku ini. Padahal sebelum ini, semua berjalan baik-baik saja. Mungkin Reva kesal, karena aku menolak permintaan baiknya untuk mengenalkan aku dengan Dirham – rekan kerja suaminya.
Hujan rintik-rintik tidak berhenti juga, padahal aku harus berangkat ke kantor sekarang juga. Berdempet-dempetan naik busway, lalu berjalan kaki menuju kantor dengan berbecek-becek ria menggunakan payung. Meskipun tidak sendirian, tapi aku tetap merasa sepi karena yang menemaniku hanya tetesan air yang mengetuk-ngetuk permukaan payung, suara ban mobil yang melaju di atas aspal basah diwaktu hujan dan hawa dingin yang membuat tubuhku menggigil.
Baiklah Dinar, aku harus berbesar hati menerima cobaan ini. Toh tahun baru hanya terasa dalam hitungan 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 dan preeet suara terompet. Lalu ada kembang api yang indah-indah, kemudian tidur.  Hanya itu, nothing spesial.
Masalahnya, moment bahagia bukan saat meniup terompet dan menghitung detik jam menuju pukul 00.00, melainkan saat melihat kembang api lalu mengucapkan resolusi dimasa depan, sambil bercengkrama dengan keluarga yang penuh kasih sayang. Itu moment terbaik ditahun baru, tahun lalu. Dan aku terancam akan melewati moment terbaik tahun lalu, ditahun ini. Menyedihkan sekali.
Situasi dan kondisi pun sangat mendukung, andai saja hari ini tanggal 31 Desember 2013 kantorku libur, mungkin aku hanya akan tidur di rumah sampai malam tahun baru berlalu. Meskipun hanya setengah hari, tapi tetap saja menyiksa bathin. Karena aku pasti akan melihat Reva, dan menyesali rasa gengsiku yang tinggi menolak kebaikkannya untuk mengenalkan aku dengan Dirham. Siapa tahu kan, mak comblang ini cara Tuhan menyatukanku dengan calon imamku?
Aaahhhh, aku menyesal. Kataku dalam hati sambil mendorong-dorong kedua kakiku seperti anak kecil dibalik meja kantor. Ingin menangis saja rasanya.
Dari pukul 08.00 sampai pukul 13.00 terasa sangat lama dan menyiksa, karena si nenek sihir Reva kembali mengolok-olokku dengan menyebut-nyebut kelebihan Dirham, membuatku semakin menderita. Aku berusaha lapang dada dan sabar, hingga saatnya jam selesai aku pasti langsung cabut tanpa bicara lagi dengannya, dan inilah saatnya pergi. Reva memanggil-manggil namaku, tapi aku terlalu jauh untuk berbalik menghampirinya. So, aku pergi.
Aku tidak langsung pulang kerumah, terima kasih. Saat ini hanya ingin memperbaiki moodku. Mengunjungi mall Kota Kasablanka, menonton film Hobbit yang tidak mempertontonkan adegan mesra yang pasti akan membuatku semakin lelah, hampir 3 jam film ini diputar, lalu aku menyantap mie udon Jepang.
Sudah cukup lama aku disini, sebaiknya aku pulang. Pasti sudah hampir malam. Kulirik jam ditanganku, jarum pendek angka tujuh dan jarum panjang angka enam. “Ya ampun, baru jam setengah delapan?” teriakku histeris, beberapa pengunjung menoleh kearahku. Merasa heran, wanita yang masih berpakaian kantor dan seorang diri berteriak histeris.
Lalu aku harus kemana lagi? Berkeliling mall yang sangat ramai ini dengan sepatu berhak 5 cm – bagiku ini sudah menyiksa karena aku tidak suka heels. Aku butuh duduk tapi bukan di mall, aku ingin tenang. Jadi kuputuskan untuk mampir kesalah satu taman di pusat kota. Taman Senopati – Menteng.
Agak menyesal aku datang kesini. Tidak di mall, tidak di taman, tidak dimana-mana, semua penuh dengan sepasang kekasih dan aku? Sekali lagi kutekankan aku hanya sendirian. Di setiap spot taman ini diisi oleh pasangan.
 Mereka ngapain sih? Nguasain tempat, bikin gue senewen aja. Kataku dalam hati merasa envy alias iri. Aku kan juga pengin begitu, tapi bukan bersama pacar melainkan bersama suami.
Semua bangku taman sudah terisi, hanya tinggal beberapa cela. Tapi enggak mungkin banget aku duduk diantara pasangan-pasangan itu. Aku mengalah deh, akhirnya aku hanya duduk ditengah-tengah taman, dilingkaran kolam air mancur kemudian langsung meluruskan kakiku dan sedikit memijat-mijat dengkulku yang pegal. Tiba-tiba ponselku berdering, si nenek sihir Reva menelpon.
Mau ngapain sih nih nenek? Gumamku dalam hati saking betenya, sedetik kemudian aku mengangkatnya. “Ya?”.
“Dinar, lo dimana sekarang?” tembaknya langsung to the point. “Nyokap lo nyariin nih. Aduh masa udah 27 tahun masih aja dicariin nyokap. Ganti dong dicariin suami.”semprotnya, membuatku tambah senewen. Astaga nenek sihir yang satu ini, aku gemas sekali padanya. Besok ketemu pasti kujitak 10 kali.
“Gue di taman senopati sendirian. Ngapain nyokap gue nanyain gue ke lo. Hp gue aktif kok.”
“Enggak tahu deh, tadi telpon kesini. Yaudah nanti gue sampein. Udah dulu ya. Dagh jomblo senior.” ujarnya lalu sambungan terputus.
“Iiiiish, nenek sihir nyebelin.” Kataku sebal sambil memasukkan ponsel kedalam tas, sedalam-dalamnya, sekencang-kencangnya. Heran, suka banget sih meledek. Memangnya dia pikir aku mau apa jadi jomblo senior. Aku pengin banget menikah, tahu enggak?! Grrrr!!
“Permisi. Boleh saya duduk disini?” tanya sebuah suara besar menentramkan telingaku yang panas karena amarah, aku menoleh kearah sumber suara itu berasal. Sepatu pantofel, celana bahan, dasi, kemeja dengan dua kancing kemeja teratas dibuka, dan yang terakhir wajah tampan seorang pria berpostur atletis. Tanpa berpikir panjang, aku menggeser pantat dan memberikannya tempat duduk di sampingku.
Sialan, dia keren banget. Enggak ada ruginya gue kesini. Oke, gue harus buka hati tapi gue enggak boleh mulai duluan, gue harus tetap anggun. Kataku dalam hati, aku melirik kearahnya. Memandangnya dari samping, hidung dan bibirnya seksi, alisnya tebal itu baru dari samping. Tiba-tiba sudut pandangku berubah, kali ini aku bisa melihatnya dari depan. Semakin seksi saja bentuk hidung dan bibirnya, mirip sekali dengan Boy Hamzah. Cuci mata malam ini membuat mataku jadi jernih dan fresh. Aku tersenyum menatapi wajahnya. But, hold on what did I said? Sudut pandangku berubah?.
“Lagi lihat apa? Jangan bengong nanti kesambet.” ucapnya sambil tersenyum. Aku menyadari, ia menoleh saat aku sedang menatapnya. Ya ampun, malu sekali. Kontan aku langsung membuang wajah.
“Enggak. Cuma…”kataku kehilangan kata-kata. “Lagi nunggu siapa?” tanyaku, dan segera kusesali. Mengapa aku bertanya seperti orang kepo?
“Nunggu temen, katanya mau dateng. Tapi enggak dateng-dateng juga. Mungkin dia males kali ketemu saya.” jawabnya terdengar kecewa, aku speechless. Suaranya merdu, khas cowok. “Kamu sendiri malem-malem ngapain sendirian?”
“Oh…” ucapku, berusaha konsentrasi dari hipnotisnya. “enggak ngapa-ngapain. Nyari suasana aja.” lanjutku, ia tersenyum. Ampun Tuhan, ciptaanMu indah sekali. “Kelihatannya kamu bete?”
“Ya kecewa. Sepertinya dia menolak saya, dia teman dari teman saya. Saya sudah lama berusaha mencari tahu tentangnya, saya rasa dia tidak juga menyadari itu. Bahkan untuk berkenalan dengan saya pun tidak mau” katanya terdengar terluka. Aku ikut menyesal, apa mungkin Dirham sekecewa pria ini?! “Ini buat kamu, saya sudah enggak mau nunggu dia.” ujarnya sambil menyerahkan plastik berisi kotak kue. “Buka aja, ada dua. Satu buat kamu, satu buat saya. Kita sama-sama sendiri. Bukankah berdua lebih baik?”
Kata-katanya membuatku terhanyut bahagia dan malu, meskipun tidak berarti dia naksir padaku. Enggak apa-apa kan membahagiakan hati yang sedang gundah. Aku semakin bahagia melihat isi dari kotak itu, dua buah roti almond croissant bertabur gula-gula halus. Ini kan kesukaanku. “Wah, ini kan roti kesukaan saya.” kataku keceplosan. “Eh, maksudnya…”
“Kalau gitu bawa pulang aja. Saya sudah makan mie udon tadi.” sahutnya, aku menoleh. Kenapa bisa sama ya? Ah mungkin saja kebetulan.
“Saya juga pernah mau dikenalin sama temen saya, tapi saya nolak. Dengan alasan, saya mau cari sendiri. Terlalu egois ya. Saya baru sadar, itu salah satu bentuk usaha, dan Tuhan menyukai hambaNya yang berusaha.” kataku tiba-tiba, mengapa aku malah curhat padanya. Apa karena masalah kami hampir sama? Tapi bukan berarti aku terlalu terbuka. “Sorry, nevermind. I just…”
“Enggak apa-apa. Itu alasan kamu menolak, enggak ada yang salah dengan pendapat. Hanya tepat atau tidak tepat, mungkin sekarang kamu bisa coba nerima tawaran teman kamu. Siapa tahu cowok itu baik buat kamu.”
“Iya, tapi sudah terlambat. Dia udah digebet cewek lain. Hahaha..” kataku tertawa renyah, berusaha membuat lelucon tapi justru malah menelan bulat-bulat kekecewaan yang muncul karena alasan yang tidak tepat.
“Ohya, siapa nama kamu?” tanyanya, sambil mengulurkan tangan. Aku menatapnya, ia tersenyum membuatku yakin ia bukan orang jahat.
“Dinar.” jawabku lembut, sambil menyambut tangannya.
“Dinar, nama yang unik. Jangan-jangan kamu cuma laku sama orang Arab.” Ia mulai bergurau, dan aku tertawa.
“Aku bukan Dinar mata uang, tapi aku Dinar nama …”
“Seorang gadis yang kuat,” potongnya, tangannya masih menggengam tanganku. Mata kami bertubrukan. “Namaku Dirham.” katanya tiba-tiba, membuat jantungku berdekup dengan kencang. Aku menarik tanganku dari genggamannya.
“Dirham? Temannya, Reva?” tanyaku seperti orang bodoh saking terkejutnya. “Teman suaminya Reva maksud saya.”
“Ya benar, saya Dirham yang kamu tolak beberapa bulan lalu.” katanya terdengar kecewa, aku membuka mulut berusaha menjelaskan. “Saya mengerti alasan kamu. It`s Ok. Sekarang Reva sedang menunggu kita di apartemennya, kamu bisa ikut saya?” lanjutnya, aku menatapnya tanpa berkedip. “Saya tidak akan menyakiti kamu, saya janji.” katanya gentle sekali.
Akhirnya aku menyetujuinya dan menuju ke apartemen Reva menggunakan mobil Dirham. Selama beberapa detik berdua di dalam mobil dengan cowok yang pernahku tolak membuatku kikuk dan merasa bersalah. Apalagi sekarang aku menyukainya, sangat menyukainya. Kenapa aku dulu tidak bersedia saja berkenalan dengannya? Toh tidak semua cowok sejahat mantanku. Kelihatannya ia baik, sopan, dan mature, memang tipeku. Reva benar aku akan menyukainya, dan aku terlalu angkuh.
Tepat 10 menit sebelum pergantian tahun, kami sampai di apartemen Reva, apartemen yang terletak tidak terlalu jauh dari Monas. Ketika Reva membukakan pintu apartemennya, suara banyak orang meneriakkan. “Selamat datang Double D”. Mataku menyesuaikan diri dan melihat isi apartemen ini, ramai sekali. Keluargaku semua lengkap, keluarga kecil Reva dan sepasang suami-istri lansia berwibawa yang nampak romantis – belum kukenal.
Setelah mengucapkan selamat datang, mereka sibuk berbicara di ruang tengah sambil menyantap hidangan. Meja itu penuh sekali, sepertinya sudah dipersiapkan matang-matang. Sedangkan aku – setelah menatap mereka tidak percaya – langsung menuju jendela apartemen yang tinggi dan lebar. Dirham menarik tangaku menuju jendela apartemen. Jendela yang sengaja tidak ditutup gorden menyajikan pemandangan kota Jakarta dimalam hari. Pemandangan cahaya lampu kuning dan putih menyala setinggi gedung pencakar langit. Jakarta dimalam hari selalu indah dan memiliki kesan romantis.
Kami saling pandang satu sama lain, saling tersenyum satu sama lain. Sepertinya ia sudah sangat mengenalku, sedangkan aku belum. Ia menang 1 – 0 sekarang. Dan aku bersedia untuk mengenalnya lebih dalam agar kami seimbang, segala sesuatu yang seimbang itu sejahtera.
Hitungan menuju pergantian tahun menggema di seantro ruang tamu apartemen Reva, disusul suara tiupan terompet yang nyaring dan ledakan kembang api dengan warna-warni yang indah menghias gelapnya malam kota Jakarta.
“Dinar. Marry me?” tanya Dirham membuat kakiku serasa lepas, dan lemas lalu tubuhku terasa melayang diluar angkasa. Aku lagi-lagi menatapnya tanpa berkedip. “Do wanna marry me?” ulangnya terasa lebih jelas di telingaku, dan langsung menghipnotis bibirku menyunggingkan senyum, hatiku berbunga-bunga. Bagaimana bisa aku sebahagia ini, padahal aku pernah menolaknya?
“Aku. Aku enggak nolak. Cuma aku butuh waktu buat kenal kamu.” kataku malu-malu.
“Oke, jangan lama-lama ya. Aku sudah lama nunggu kamu.” ujarnya menatapku penuh kasih sayang dan kelembutan. “Lihat, mereka juga sudah lama nunggu kamu.”lanjutnya. aku melihat kearah mereka yang nampak akrab dan bahagia.
Dirham menceritakan semuanya, bagaimana keadaan ini bisa terjadi. “Jadi, kalian udah lama kenal? Kamu dan keluarga kamu udah lama kenal keluarga aku?” tanyaku terkejut.
“Ya, setelah Reva rekomendasikan kamu. Aku langsung cari tahu, setelah tahu tentang kamu, aku nunggu respon kamu. Tapi nihil, aku temuin orang tua kamu untuk nunjukin aku ini serius. Setelah itu ketemu dua keluarga, dan mereka sudah setuju tinggal nunggu keputusan kamu.” jelasnya, aku tersenyum dan tersipu malu. Betapa gentlenya pria ini, padahal ia belum mengenalku.
“Usaha yang bagus.” Aku mengakui dengan malu, ia hanya tersenyum. “tadi kamu makan udon? Jangan-jangan…” tanyaku semakin bahagia dibuatnya.
“Hehe. Iya, maaf ya aku ngikutin kamu. Takut kamu kenapa-napa.” jawabnya kami saling menatap dan tersenyum. Aku bahagia sekali. Di dalam Skyscraper dengan langit penuh kembang api, aku menemukan moment terbaikku, lengkap dengan keluargaku, sahabatku dan calon suamiku.
Skyscraper

Dua tahun kemudian – 2016 kami merayakan tahun baru dengan kehadiran bayi mungil, buah hatiku dengan Dirham. Terima kasih Tuhan, Kau menghadirkan kebahagiaan tepat pada waktunya ketika aku sudah siap. I love you Dirham.

                                                                   JAKARTA

Sabtu, 19 April 2014

Five minutes of winter

“Aku juga cinta padamu Carl.”jawabku didalam pelukan Carl. Carl mengelus kepalaku lalu mengecup pelipisku. Kami berdua hanya menikmati indahnya kesamaan rasa dan keinginan dalam pelukan yang nyaman.
Entah sudah berapa lama kami berpelukan, butir-butir lembut salju mulai berjatuhan. “Kau mau dansa?”tanya Carl sambil melepaskan pelukannya, tapi matanya tetap tertuju padaku. Wajahku panas.
“Aku tidak bisa.”jawabku malu.
“Aku akan membimbingmu.”katanya lembut, suaranya menggelitik telingaku. Hingga aku tak mampu mengangkat kepalaku. “Disini, sepasang kekasih berdansa ketika jatuh cinta.”
“Baiklah,” ujarku memberanikan diri menatapnya. Ada senyum indah dibibirnya, senyum yang belum pernah kulihat sebelumnya. Senyum yang seakan mengatakan, aku ini milikmu dan kau milikku. Itu membuat jantungku semakin gila saking senangnya. “Bisakah kita berdansa dengan perlahan?”

“Genggam tanganku, aku akan mengajarimu berdansa.” bisiknya tatapannya yang bergairah.

=============
He is we feat Owl City - All about us

Secret Admirer

Kegiatan yang paling membuat bahagia adalah ketika melihat orang yang dikagumi dari jauh, dibalik pintu kelas sembunyi-sembunyi dengan senyum tertahan karena jantungmu berdenyut bahagia. Enggak peduli, mau remaja kek, dewasa kek, lansia kek punya rasa yang sama ketika melihat someone who they like.
Disela-sela jam istirahat kedua, aku ngumpet dibelakang pintu kelas sambil ngintip-ngintipin doi. Cowok – gebetan – itu baru saja keluar dari kelas. Dibalik senyumannya selalu ada bahagia yang nampak diwajah kalemnya, menggoda sekali.

Aneh sebenarnya, masa cuma lihat senyum cowok yang enggak pernah diajak ngobrol, aku langsung bahagia gini?! Kayak ada sesuatu yang meletup-letup dihati, memancing hasrat untuk terus mandang dia. Sebenarnya aku enggak tahu, apa yang kurasakan. Yang jelas, saat aku lihat dia – meskipun itu cuma dari jauh – aku bahagia banget.

================
Mengagumi dari jauh - TULUS

After 3 words

Well, kalau begitu kau pasti tahu. Apa alasanmu mencintai seorang pria?” Carl mengujiku, aku menelan ludah. Matilah aku! Mana aku tahu, aku kan belum pernah berpacaran. Aku mencoba berpikir, aku mencintai Carl karena aku menyukainya.
“Entahlah, mungkin karena aku menyukainya.” jawabku sesuai dengan apa yang kurasakan. Aku melirik Carl, ia menatapku penuh arti. “Apa? Kau meragukanku?” tanyaku malu, Carl hanya mengangkat bahu. “Dari beberapa film yang kutonton pasti begitu alasannya.”
“Aku tidak menanyakan dialog film Ria,” ujar Carl sambil terkikih. Aku menunduk malu. Ketahuan berbohongan.
“Memang apa menurutmu?”

“Cinta ya cinta, tidak ada alasan.” jawabnya, aku sarkastis. Carl kembali terkekeh. “Hasrat ingin bersama itulah bagian dari cinta.” ujar Carl tegas dan jelas. “Dan aku ingin terus bersamamu Ria. Sekarang dan nanti. Aku mencintaimu.”

Insipired by I wanna be with you - Candy

Stairway to Heaven

 “Maaf.. Na..Dhi,” kalimatnya terputus, suaranya tercekik. Reo-ku kesakitan.
Ya Tuhan, biarkan Nad bersama Reo lebih lama. Nad sayang dia Tuhan, Nad enggak mau jauh dari dia, please jangan ambil dia. Batinku memohon. Kukatupkan bibirku kuat-kuat, airmata kembali memenuhi mataku lalu menetes deras.
“Aku Nadhira. Kamu udah lama kenal aku. Masa nama aja salah!” ujarku sambil tertawa getir, tertawa kecut, tertawa menutupi kesedihanku.
Reo bergeming, ia menatapku dengan tatapan sedih terluka. Seakan mata itu memberitahuku sesuatu yang membuatku ngeri. Aku tak bisa bertahan, meski telah kucoba. Usai sudah kini, kurasa ini memang saatku pergi. Maka dekaplah aku karena ini kan jadi saat terakhir kita.

Aku tidak melihat ada harapan disana. Harapan hidup Reo tipis. kudekap tubuh lemahnya, lalu berbisik lirih. “Jangan pergi, Re.”

===========
Crash: SUM 41