Minggu, 28 Desember 2014

Review Novel: Samurai #1 Kastel Awan Burung Gereja

(For Mizan CLBK 2014)

Judul: Samurai: Kastel Awan Burung Gereja
Judul asli: Cloud Of Sparrows
Karya: Takashi Matsuoka
624 h.; 20,5 cm
Edisi kedua; Cetakan Pertama, November 2014
Penerbit Qanita, PT Mizan Pustaka



Well done, akhirnya selesai baca juga. Hore! Puas dan nggak sabar lanjut baca yang kedua! >,<

Hmmm… Aku sebenarnya nggak mengerti bagaimana sih cara yang ‘benar’ me-review sebuah buku. Tapi aku tertarik sekali untuk menyebarluaskan keeksotisan buku ini—belum pernah merasa tertarik sedalam ini pada negara yang sempat menjajah Indonesia, Japan.

Sulit untuk mengungkap secara gamblang apa yang kudapatkan dalam buku ini. Satu kata yang bisa kugambarkan mengenai buku Samurai adalah KAYA! Aku bakal ungkapkan sedikit pendapatku mengenai buku ini tanpa spoiler ya, nanti nggak seru lagi dong. Pokoknya, ini buku selalu ada di samping kepalaku sebelum tidur—bakal dapat predikat buku yang bakal bikin aku nangis kalau hilang. Karena tiap lembar menyuguhkan sesuatu yang manis, indah, keji, duka, cinta, ketegangan, pesona, dan kesempurnaan. Karena nggak hanya stories-nya yang memukau, tapi kearifan, dan history-nya memang ngena banget.

Mulai dari;
1)      Novel ini historical fiction yang dibalut dengan narasi, dialog, dan kisah yang apik. Ibaratkan sambil menyelam minum air; kenikmatan fiksi yang cantik dalam fakta sejarah yang keji.
Selama baca semua emosi jadi satu; penasaran, intrik, trigger, twice, tipu muslihat, semua keren banget. Miris, karena banyak banget orang yang mati dalam buku ini, termasuk bayi. Terkagum dengan karakter favorit Genji, Shigeru, Matthew Stark (bahkan semua karakter yang ada di sana kuat, termasuk Hanako—pelayan Klan). Feeling Uwaw, gimana cara menggambarkan perasaan itu ya? Pokoknya aku terperangah dan sambil manggut-manggut. Berasa balik ke Zaman Edo, karena penggambaran settingnya sempurna. Dan yang jelas aku dapat ilmu pengetahuan baru!

2)      Kepemerintahan Shogun yang melemah di akhir Zaman Edo. Nah, supaya paham sejarahnya, saranku kalian baca dulu ya restorasi meiji. Nanti bakal jelas banget dan feeling uwaw-nya berasa. Karena apa yang diramalkan Lord Shigeru berkaitan dengan masa sekarang. Buatku ini sangat menarik, menggambarkan gimana kekhawatiran bangsawan Jepang sebelum budaya modern masuk / orang asing.

3)      Budaya Jepang yang benar-benar kental dengan kesetiaan dan kehormatan—termasuk cara mereka mengontrol emosi untuk menjaga ekspresi dan perilaku agar tetap terlihat bermartabat. Nah dari sini jelas, kenapa banyak mereka (samurai, ninja, shogun, bangsawan) tega membantai orang yang melakukan pelecehan sedikit saja—termasuk hara kiri—karena bagi mereka kehormatan lebih tinggi dari kebahagiaan termasuk hidup. (Uh… bagian ini kudu kuat hati deh, karena imajinasiku bermain saat membaca kisah itu, aku kebayang banget cara-cara keji pembunuhannya… Hiks hiks T_T).
Kedisiplinan mereka juga terjaga banget. Perbedaan status (kasta) yang tingkatannya sangat-sangat jelas, mulai dari keluarga bangsawan sampai keluarga terbuang disebut Kaum Eta.

4)      Kekayaan lain yang ada di buku ini adalah perbedaan cara pandang budaya antara Jepang dan Amerika. Mulai dari perbedaan kecantikan wanita, perabotan, dan bahasa. Di buku itu orang Jepang nggak perlu perabotan seperti kursi, meja, etc. Sedangkan orang Amerika terlalu pegal duduk di atas lipatan kaki. Menarik deh pokoknya, baca sendiri ya.

5)      Nah ada lagi yang menarik, soal agama di sini. Awalnya aku paling nggak mau baca-baca berbau agama di luar agamaku. Tapi membaca ini aku jadi tahu satu hal, bahwa setiap manusia harus hidup dengan rukun dan damai—apapun keyakinannya.

6)      Terakhir. Setiap karakter punya kisah masa lalu yang berbeda. Nah penulis di sini keren banget menceritakan sejarah kisah mereka, sehingga menjadi jelas kenapa dan apa alasan mereka bertindak. Semuanya logis.

7)      KAYA! Dari awal sampai akhir benar-benar apik sekali story ini. Kebahagiaan, ketegangan, kecemasan, penasaran, dan hasrat ingin membaca sampai habis bahkan berharap kisah ini nggak akan habis menguasai diri. Hasilnya? Jelas, kearifan nilai sosial dan ilmu sejarahnya juga dapat.

Ini ada quote kesukaanku, sebenarnya banyak banget. Tapi aku cantumkan sedikit saja ya. ^_^
-----------------------------
Kata-kata dapat melukai. Diam dapat menyembuhkan.
Tahu kapan saat untuk bicara dan kapan saatnya diam adalah kearifan seperti yang diceritakan hikayat.

Pengetahuan dapat menghambat. Ketidaktahuan justru dapat membebaskan.
Tahu kapan saatnya untuk tahu dan kapan saatnya untuk tak tahu adalah kearifan para nabi dan kaum bijak.

Tak terganggu oleh kata-kata, kediaman, pengetahuan atau ketidaktahuan, sebilah pedang tajam menebas tajam. Ini adalah kearfian seorang prajurit.
Suzume-No-Kumo (1434)

-------------------------------------------------
Lord Chamberlain berkata, “Ada perbedaan pendapat tentang apakah sifat baik itu sudah ada sejak lahir atau didapat dari pendidikan. Bagaimana menurut pandangan Anda, Tuanku?
Lord Takanori menjawab, “Tidak ada artinya.”
Lord Chamberlain berkata lagi, “Jika sifat baik ada sejak lahir, maka semua latihan menjadi tidak berguna. Jika sifat baik didapatkan dari latihan, mereka dari kasta terendah dapat menyamai seorang samurai.”
Lord Takanori menjawab, “Sifat baik omong kosong. Bukan sifat baik juga omong kosong.”
Suzume-No-Kumo (1817)
----------------------------
“Lagi pula, seberapa penting sesuatu yang fana seperti kecantikan fisik?” Hide menggeser percakapan ke arah yang lebih aman. “Yang penting adalah kecantikan di dalam. Dan dibidang ini, kecantikan Lady Emily tak bisa dikalahkan siapa pun.”
“Kamu jelas-jelas baru saja menyatakan sebuah poin penting,” kata Taro yang juga lega dengan pergeseran percakapan. “Kecantikan sejati ada di dalam diri.”
-----------------------------

Nah, begitulah review-ku tentang buku ini. Terima kasih untuk Bapak Takashi Matsuoka atas kesempurnaan kisah dan manfaatnya. Terima kasih juga untuk penerbit yang membuka jalan ini. Dan aku beruntung menjadi orang yang ‘telah’ membaca masterpiece ini. Aku mau cuuuus baca kisah yang kedua ya! Kalau kalian sudah baca mampir ke blogku lagi. Kita ngobrol. Hehehe. Arigatou Gozaimatsu!!!! \(>,<)/

Senin, 15 Desember 2014

Break a Leg Mizan!!!

Mizan CLBK 2014, ya?

Hmmm… Mizan adalah salah satu penerbit favoritku. Setiap kali datang ke pameran buku—Indonesia Book fair, Jakarta Book fair atau pun Islamic Book fair—stand yang wajib dan pertama kukunjungi adalah Penerbit Mizan. karena memang banyak banget buku ‘bagus’ incaranku di sana! Khususnya cerita-cerita fantasi!

Wah… Mizan Fantasy itu surganya fiksi-fiksi fantasi. Nggak cuma itu sih, aku juga suka dengan buku lain anak dari Mizan berlabel Bentang Pustaka. Dan oh iya, Mizan ini juga menerbitkan buku-buku bagus lain, seperti bukunya Jostein Gaarder. Aku sih baru punya dua—Dunia Sophie dan Dunia Anna—tapi suka banget konten dan narasinya, syahdu. Benar-benar masuk ke dalam dunia Anna dan Sophie. Asas fungsionalnya juga ngena



Ini beberapa koleksiku yang kukumpulkan baru dua tahun belakangan—setelah vakum membaca. Yang paling favorit itu tuh yang paling atas. Yup… seri I`m Number Four. Masih nunggu lanjutannya, nggak sabar banget. Koleksiku bakal nambah nanti; Ender`s Game, Seri Divergent, Seri Maze Runner, dan yang paling gemes buku-buku Rick Ordian… Ah kepengin banget punya semuanya!!!


Dan yang dua ini sangat memuaskan, menghilangkan dahagaku! Aku sedang tertarik dengan Jepang zaman Edo. Di buku ini nggak cuma kisah klasik biasa, tapi penuh intrik, tipu muslihat, trigger, dan banyak banget pengetahuannya. Nggak perlu mikir dua kali buat beli seri ini. Aku langsung lari ke kasir dan baca! Dan langsung saja, si Bangsawan Agung Akaoka menjadi salah satu karakter favorit sepanjang masa. Masih muda, tampan, hatinya mulia, dan pasti jago bertarung. Trims sudah menerbitkan buku ini!
Ini review-nya: http://kaannisa.blogspot.com/2014/12/review-novel-samurai-1-kastel-awan.html

Oh iya...
Aku paling hobi datang ke book fair!!
Pameran yang paling nggak bisa dilupain itu waktu stand Mizan menang sebagai stand paling kreatif—aku lupa-lupa ingat, pokoknya dapat penghargaan gitu dari pihak book fair, pertengahan tahun 2014—karena stand-nya pakai konsep kapur gitu. Dinding-dindingnya diarsir pakai kapur aneka warna. Banyak variasi gambar dan quote di sana. Pokoknya menarik banget!

Aku malah sempat lihat saat salah satu crew sedang menghapus gambar lalu diarsir ulang dengan gambar yang baru. Whoa, aku sampai terpukau dibuatnya, tangannya ahli banget. Dan bikinnya itu nggak gampang, pakai proyeksi komputer! Sudah gitu nggak cuma satu design dalam periode pameran, diperbarui dengan gambar kapur yang keren-keren!!!! Ya ampun, sudah sepantasnya stand Mizan dapat predikat itu! Salut banget!

Nggak cuma interiornya saja sih. Event-event yang diadain juga oke banget.
Salah satunya event yang diadain Mizan Fantasy. Itu loh ada acara lomba cerdas cermat dan semacam running ke beberapa post-post dengan game-game menarik—aku lupa nama gamenya apa. Tapi sedih bangeeeet! Karena aku nggak bisa gabung, Mamahku tiba-tiba minta antar arisan keluarga. Hiiiiiiks. Padahal admin yang bertanggungjawab sudah menghubungiku dan menjelaskan tata cara event itu—baik banget lagi adminnya, suaranya juga sekseh, wkwkwkwk… cowok loh cowok, jadi aku nggak jeruk makan jeruk. Eh pokoknya harus adain event yang lebih keren lagi ya!!! Aku mau ikutan!!!

Oh iya, selain buku-bukunya, orang-orang yang ada di dalamnya juga ramah-ramah dan santun banget loh. Contohnya admin twitter penerbit mizan—aku nggak tahu siapa yang jelas dia keren banget—care sama tweeps. Sering mengingatkan shalat tepat waktu, dzikir, bahkan sampai makanan pun dishare. Pokoknya, kalau baca tweet Penerbit Mizan muncul di timeline bawaannya sejuk banget. Nih, kayak gini contoh-contoh tweetnya.





Nah bentar lagi kan tahun 2015, pastinya Mizan dan semua orang punya resolusi. 
Resolusiku, aku kepengin menang dan dapat voucher untuk melengkapkan koleksiku, Hehehe. Serta bisa banyak baca buku-buku lagi.

Untuk Mizan, aku berharap Mizan bisa lebih baik lagi, terus terbitkan buku-buku bermanfaat (misalnya buku yang berjudul Shogun by James Clavell), membuka kesempatan pada penulis debut, banyakin novel fantasi yang bermutu. Dan yang paling penting tetap ramah, santun, dan peduli sama tweeps tercinta. Hehe. Aamiin. Jazakumullah Khairan Katsiron.

GOD BLESS YOU!!!













Minggu, 23 November 2014

Kosmoboy-ku

Yang aku tahu, kamu sangat menyukai segala sesuatu yang berhubungan dengan semesta. Bahkan, kamu sangat tahu, bahan bakar bintang itu adalah helium dan jika bintang sudah berusia tua—massanya memulai, berubah menjadi katai putih—akan meledak dengan ledakan supernova, lalu boom berubah menjadi blackhole. Padahal setahuku, blackhole itu lubang hitam yang jahat. Oh ternyata begitu. Kamu memang hebat, Re.

“Kamu tahu nggak asal mulanya ada air di bumi dari mana?” kamu bertanya suatu ketika, saat kita tengah duduk di balkon rumahmu menatapi langit pekat sedikit bintang—di malam kelulusanmu sebagai sarjana sains.

“Dari hujan kan? Siklus hidrologi.”

“Kalau siklus berarti airnya udah ada. Misalnya air laut yang menguap.”

Aku sadar kemudian melongo, benar juga yang kamu katakan. Lalu air laut dari mana?

“Terus apa dong?” aku bertanya lagi.

“Asteroid dan komet,” jawabmu penuh semangat.

“Kok bisa?”

“Karena bahan dasar asteroid dan komet itu adalah air es. Jadi waktu sampai ke bumi dia mencair jadilah air ada di bumi.”


Kamu tersenyum. Aku semakin jatuh cinta, wawasanmu seluas jagat raya.

Relativity

Kamu pernah bilang, “waktu itu relatif, bisa diperpanjang dan bisa juga diperpendek namun mustahil untuk diputar kembali. Meski begitu, cinta tetap mampu menembus dimensi yang tak terjamah.”

Kenapa waktu dikatakan relatif, sedangkan manusia di bumi menjalani waktu 24 jam perhari—absolut. Apalagi yang kamu bahas soal cinta. Seakan kamu menunjukkan kepedihanmu. Jika aku dan kamu terpisah oleh ruang dan waktu, cinta kita tetap tak berjarak. Ingat aku mencintaimu, begitu katamu. Responku, hanya tersenyum meremehkan. Perkataanmu aneh!

Tahun 2112, kamu pergi meninggalkan bumi bersama rekan kerjamu sesama astronot. Kamu menjadi bagian dari sebuah misi ‘kelangsungan hidup spesies’. Mencari planet yang tepat untuk dihuni manusia kelak.  Karena bumi semakin tua dan rapuh.


Hari, minggu, bulan, tahun, setengah abad, kamu tak kunjung datang. Aku tetap menunggumu dengan cinta yang utuh. Lalu perlahan, aku mulai menyadari perkataaanmu. Meski jarak dan waktu kita terpisah jauh, cinta di antara kita tetap terhubung. Detik itu aku tahu, betapa kamu menyayangiku, tidak ingin jauh dariku. Tapi aku terlalu tolol menghiraukan perpisahan yang ingin kamu akhiri dengan manis.

Selasa, 04 November 2014

Jalanku... Jalanmu... Jalan kita... adalah jalan kesuksesan

                PERTANYAAN, kenapa sih gue ini semangat banget, padahal tulisan gue sudah tujuh kali ditolak? Pertama karena gue tahu, tulisan gue ini payah dan hukumnya wajib gue benerin! Yang kedua gue yakin dan percaya, gue ini punya Tuhan yang adil. Dia melihat dan menilai semuaaa usaha gue. Jadi pasti nanti ada jalan menuju ke masa depan yang lebih cemerlang.

Nah! Termasuk ngefollow akun @diva_press lalu @kampusfiksi. Gue sering favorite tweet yang berhubungan dengan kepenulisan dan motivasi. Setiap senin—pas anak-anak murid gue lagi belajar agama—gue selalu nongkrong di kantor sembari nunggu #seninmenulis.

Oke, sampai pada suatu ketika. Gue iseng ngajakin si admin KF ketemuan. Gue kira dia itu sejenis sama gue, makanya dengan PD gue tweet begini: “Admin, kayaknya enak nik kopi darat di café sekitar pegunungan sambil minum hot chocolate.” < Murni iseng. Tapi isengnya berhadiah, karena si admin menyanggupi.

Ahay, gue seneng! Padahal gue saat itu nggak ngerti arti kopdar, ternyata kopdar itu singkatan dari Kopi Darat (kalau kata Rofie, orang Jakarta tapi nggak tahu kopdar!! Haha… Ampun Dijeee). Kopdarnya di Food Court Ambassador. Dan pas ketemu si admin, JEGER!!! Gue kaget! Rasanya pengin balik badan, nggak jadi ketemu. Tapi gue merasa punya responsibility karena gue yang ngajak ketemu. Lagipula gue pikir dia itu lembut dan perhatian—meski nyeesss kalau kritik—karakter ***** banget kan? Ternyata berkumis! Owalah. Sebelumnya sempet bilang ke Rofie. Ih dia itu sombong ya. diajak ngobrol cuek-cuek padahal junior gue tuh di kampus!! *Hahaha*

Di sana ketemu pertama kali sama Kak Amad, Farid, dan Kak Wulan. Si Admin makan nasi padang seorang diri. Tapi gue ditraktir teh botol—haha… baik banget ya, padahal siapa yang butuh… dasar tak tahu diri kau Eka.

Dan kece badai, gue pikir dia itu cuek. Pas ketemu, 3 JAM NONSTOP share banyak hal. Gue banyak banget dapet ilmu dari sana. Khususnya penggunaan titik, koma di dalam dialog.

Hasil dari pertemuan ini, beliau kasih saran lebih baik bikin group WA. Jadilah kami di sana tuker nomor dan gue bikin group. Nggak tahu mau kasih nama apa, akhirnya pake nama WAK WAW. Tapi nggak bertahan lama, karena cuma gue dan Rofie yang ramein chat.

Dan tiba-tiba, gue di-invite JamaahTyphobia. Saat itu gue sedikit mengernyit, ini bangga banget ya padahal suka typho. Hahaha. Itulah ciri dari group sontoloyo ini, Typhobia.

Dunia berasa cerah, langit biru indah, sinar matahari bersahabat dan sebuah lorong penuh dengan berlian terbuka lebar. That`s my chance. Jamaah Typhobia membuka jalan menuju ke sana.

Ilmu kepenulisan. Kekurangan. Kelebihan. Tetek bengek, dari hal yang remeh temeh sampai UWAW semua gue dapet di sana. Gilaaaak! Ini bener-bener jalan dari Tuhan. Gue belajar banyaaaaaak banget dari sana. Secara sebelum masuk, gue cuma seorang Eka yang menulis dengan modal semangat (dikritik tulisan gue kayak berita, ceramah, dan Pak Edi bilang tulisannya belum runut). Tapi setelah masuk, mulai ngerti unsur-unsur penting dalam menulis. Tekniknya. Pokoknya semuanya, bermanfaat banget.

Ada 15 biji kepala di sana. Seperti inilah penilaian gue terhadap mereka.

Rofie. Dia paling pertama yang gue kenal. Ahem! Dia itu orang yang pertama kasih kritik. Dan dari sana kami mulai menjalin hubungan mesra. Dia itu care, jujur, dan asik. Kita sering share soal cowok-cowok visualisasi novel. Gue banyak belajar dari dia—kecil-kecil cabe jawa (lebih mantap dari cabe rawit). Punya gaya cerita yang khas—khususnya cerpen Merlion—dan temen paling enak diajak berbagi. Suaranya seksi. Tampilannya dewasa. Katanya mirip Raisa (Dia ngaku-ngaku sendiri).

Einca. Cewek yang ceria. Dia itu baik, bersedia koreksi naskah gue sampe gue bener-bener tahu di mana kurang naskahnya. Dia enak diajak share apa aja. Mulai dari penulisan, novel-novel, sampe laki juga hayok! Wkwkwk. Rame. Pemanis suasana. Tapi di balik itu semua…. (mewek…). Kami pernah telponan 1 jam. Dan ilmu dia, gue sedot semua. Trims Cantik.

Anggi. Ini anak pernah gue komen. Ya ampun sampe hal yang nggak penting di tweet ke KF (inget, Gi?) Dan ternyata dia addicted. Pantes. Hhaha. Gue suka diksinya. Bikin gue berpikir keras, ini beneran anak SMA? Bisa indah gitu diksinya. Puitis banget. Terus dia anaknya nggak enakan, padahal penting ngomong apa adanya. Dan dia paling asik tuh dibully, apalagi soal horror! Aduh renyah! Gurih-gurih nyoooy. Soalnya dia panikan.

Kak Reza. I have no ide to describe him. Karena dia misterius. Di medsos cool, aslinya rame. Pengalaman hidupnya yang penuh lika-liku—itu keren. Gue sering ngakak sendiri baca chatnya yang suka ngomong jorok. Misal soal daki, terus ketombe. Dan ngakunya ganteng. Tapi, ya gitu deh. Dia emang sesepuh dan tetua kami. Apapun yang dia ucapkan, kami manut. Trims buat kesediaannya bantu kami, meski sibuk. Jazakumullah.

Masfik. Yang bikin tertarik, doi ini kuliah di Yaman. Itu keren abis. Salut. Paling demen lihat dia lagi adu omongan sama Einca. Kayak Tom & Jerry, tapi di lain sisi kayak Romeo & Juliet. Excited melihat persilatan mereka. dan Masfik orangnya baik dan care.

Kak Amad. Awal ketemu main senyum-senyuman. Hahaha. Ini yang follow gue, tapi gue lupa follback, eh gue di unfollow—suka sensi Kak Amad. Doi ini keren, tulisannya semakin baik. Meski dia sibuk sama kertas-kertas laporan dan ibu kos yang kamfreto—ya nggak Kak Amad, jadi nggak mandi kan?—dia masih bisa meluangkan waktu menulis. Cool! Tulisannya makin bagus, kemajuan pesat. Tapi sayang kePD-annya kurang.

Mey. Kita follow waktu doi komen cerpenku juga kalau nggak salah. Dia kelihatannya jutek—dari foto—tapi sebenarnya humoris. Dan terkadang suka asik sendiri sama obrolannya. Tulisannya juga bagus. Diksinya kaya. Masih kebayang cowok perokok di benak gue tiap inget dia. Haha.

Juju. Pernah ketemu di Bookfair, dia tinggi banget! Dan selera humornya bagus. Gue senyam-senyum baca cerita komedi dia. Awalnya ragu, ini anak cewek apa cowok. Dari namanya syarbini, gue berspekulasi dia ini cewek. Dan ternyata dia cowok tulen. Kayaknya dia sempet bete waktu gue nebak dia itu cewek. Haha. Ampun yak.

Ucup. Gue kenal dia dari Rofie. Dia katanya ikutan kopdar Benz Bara. Gue tertarik minta dia kasih info supaya gue bisa ikutan kopdar. Ucup ini suka traveling backpacker. Dia juga semangat nulisnya dan usaha dia untuk mencapai tujuan patut diacungi jempol.

Farid. Uwooooow. Dia punya imajinasi yang oke, bacaannya berat, dan selalu semangat cari info buku-buku oke. Dan itu memengaruhi pola pikirnya, embrio, telur, ayam! Analogi yang kece badai untuk anak seusia dia. Tapi sayang, dia kalau nanggepin kritikan masih kurang terbuka. Padahal itu penting banget buat kemajuan dia.

Ilham. Ini anak keturunan kalkun kali ya. Entah apa alasannya hobi banget sama ilmu kalkulus. Padahal, lihat angkanya aja udah bikin mata gue mau keluar. Aaah! Gokil deh.
Dia orang Surabaya. Kok tahu padahal dia nggak pernah kasih tahu? soalnya gue pernah lihat dia ngomong tah. Jaman ngejak angel dulu, gue pernah temenan sama anak bonek. Jadi tahu, dia orang Surabaya. Pasti jawanya medok banget. Ilham ini kadang suka ngelucu, dan care juga anaknya.

Vee. Wahahahah kagum sama anak piyik ini. Baru lulus SMP. Otaknya udah kece banget, ide-ide ceritanya. Diksi-diksinya. Dan kemampuannya dalam berprogress itu keren! Jarang anak jaman sekarang mau repot-repot nulis. Mereka kebanyakan lebih seneng jadi cabe-cabean—naik motor bertiga.

Nebeh. Aahahaha.. gue kalau baca tweet dia nggak pernah nyambung. Entah itu yang dibahas korea-korean atau jepang-jepangan—gue nggak ngerti. Dia keren, kalau kritik jujur banget. Membangun dan bikin gue mikir, apa nih kiranya strategi gue buat perbaikan. Biasanya orang yang bisa kritik nulisnya kece. Nebeh semangat!


Pokoknya terima kasih banget buat kalian yang berbagi ilmu ke gue. Dan yang paling penting kita harus semangat. Punya hobi sama, kesuksesan juga harus sama. Mulai membuka diri untuk menerima kritik. Love you, Guys. Fi Amin Allah dan Jazakumullah Khairon Katsiron. GBU :’)

Sabtu, 06 September 2014

Untitled 2

Aku berdiri lemah di hadapan sebuah gedung. Gedung putih dengan cat mengelupas itu – adalah tempat yang kutinggali selama beberapa bulan – sudah hancur porak poranda. Besi-besi mencuat ke luar, ke atas, dan ke bawah,  rusak berantakan. Dinding yang bolong memperlihatkan isi ruangan yang sama bobroknya, seperti bangunan yang tidak pernah selesai dibangun.

Teriakan histeris menggema di sekelilingku membuat kakiku lemas. Tanganku gemetaran. Kepalaku berdenyut nyeri. Ingin rasanya aku menjedotkannya ke tembok, kemudian terbangun dalam keadaan yang aman dan gedung yang utuh.

Orang-orang sibuk membawa tandu kosong memasuki sebuah gedung, dan ke luar tergesa-gesa menandu tubuh luka berlumuran darah dan debu. Tempat ini tidak berbentuk. Tempat ini penuh debu serpihan bangunan yang terkena bom. Dan anakku ada di dalam sana.

“Karim,” hatiku lirih memanggil namanya. Meski rasanya berat seperti diikat rantai dan batu besi. Kakiku masih terus melangkah, menginjak batuan besar yang berserakan di tanah berdebu. Puing-puing berserakan menyulitkan langkahku.

“Dokter! Kau harus pergi! Mereka sedang menuju ke sini!”

Kudengar sayup Hamid memanggil-manggil namaku di kejauhan. Aku bergeming dan terus melangkah memasuki gedung seraya mengingat-ingat di mana letak  kamarku dalam keadaan gedung yang hancur seperti ini. Sebab terakhir aku meninggalkan Karim, ia tengah tertidur pulas dengan wajah imut berbingkai rambut keriting yang menggemaskan.

Kakiku berteriak pegal. Hatiku berdenyut ngilu. Rasa takut dan khawatir merebakkan airmata di pipiku. Adrenalin melemahkan gerakanku. Mempercepat detak jantungku. Keringat dingin membasahi baju hijau medis yang kukenakan. Tubuhku bergetar dan hampir limbung. Aku takut kehilangan Karim.

Pikiranku kosong. Aku berdiri di tengah gedung berdinding bolong. Harum kematian mencekamkan suasana. Pupil mataku melebar. Pandanganku menyapu sekeliling. Hanya ada hamparan batu yang pecah karena bom. Tapi ini tidak menyusutkan keinginanku tuntuk menemukan Karim dalam keadaan … hidup! Langkah kakiku masih kokoh meski getarannya semakin keras. Kukepal tanganku sekuatnya hingga buku jariku menusuk telapak tangan.

Dalam keadaan kalut, tiba-tiba pikiranku bermain deras tanpa toleransi menuju memori ketika Karim terkubur di bawah reruntuhan debu dan batu. Dan ketika terbangun dari memori itu, lima langkah di hadapanku, aku menemukan apa yang ingin kutemukan.

Karim.

Anakku tertindih batu besar, sekujur tubuh mungilnya tak bisa kulihat hanya kepalanya yang terjuntai lemah. Di bawah kepalanya ada bongkahan batu besar dan batu kecil di samping kepalanya, menyentuh pelipis kirinya.

Sedetik kemudian aku berlari menghampirinya dalam kesunyian. Tidak ada histeris. Aku masih berharap keajaiban kembali menaungi Karim, My son. Yeah, God you should give him miracle.

“Karim.” Kupanggil namanya sehalus mungkin agar ia tidak ketakutan ketika terbangun nanti. Pelan-pelan kusingkirkan bebatuan itu tanpa sekali pun melepaskan tatapan mataku pada wajah imutnya. Mata Karim terpejam. Bulu matanya yang lentik membuatku merasakan rindu dan ingin segera memeluknya. Namun aku tidak kuat, aku terlalu gemetaran untuk membebaskan Karim dari batu itu.

“Karim,” panggilku. Suaraku lebih terdengar parau dan lirih. “Bangun, Nak,” kataku lagi seraya mengelus rambut keritingnya. Ketika tanganku menyentuh tempurung kepalanya, rasanya ada cairan kental menyesap ke jemariku. Kuangkat tanganku, merah darah kental menutupi telapak tanganku. Bau anyir membuat napasku sesak.

“Tuhan, Kau benar-benar harus memberikan keajaiban kedua padanya!” ucapku frustrasi sambil menatap wajah Karim yang semakin memutih. “Kau harus, Tuhan!” teriakanku meledakkan kesunyian. Tangisanku pecah dengan sekejap. Rintihan dan isakan bagai suara guntur yang membelah langit.

“Bangun! Bangun, Nak! Jangan terlalu lama terlelap. Buka matamu! Umi ingin melihat bola matamu yang cokelat. Bangun dan tertawalah. Katakan Kau baik-baik saja, Karim.”

Kekalutan memberikan kekuatan bagiku. Sejenak batu yang menutupi tubuh Karim berhasil kulempar menjauh. Kini Karim berada di pangkuanku, masih dengan mata tertutup, wajah membiru, kepala yang bersimpah darah membasahi wajahnya ketika kupeluk tubuh lemahnya.

“KARIM!” aku berteriak sekuat tenaga, melepaskan rasa pedih kehilangan. Bayi mungilku telah pergi direnggut kebiadaban pimpinan Israel. Bom melenyapkan senyum dan tawa canda Karim. “You asshole Netanyahu! You are a murderer! You are a monster!” pekikku penuh amarah.

Lalu kupandangi kembali wajah Karim. Masih terdiam. Air wajahnya tenang, bibir penuh proporsional itu seperti mengulum senyum, hidung kecilnya kini tak dapat menghirup udara lagi. Anakku mati! Karim sudah mati. “You take my child from my arm!

“Don`t move! Put your hands up.” suara berat pria menyela tangisan pedihku.

Aku langsung menoleh ke arah suara itu. Berdiri seorang tentara gagah dengan menodongkan senapan panjang ke arahku. Kulihat badge di seragam tentaranya yang berwarna hijau buluk, loreng cokelat redup. Seragam angkatan darat Amerika. Dan memang ada bendera Amerika di lengan tangannya. Ia menggunakan topi dan kacamata hitam. Rompi anti peluru melindungi dadanya.

Meskipun senapan panjang itu mengarah kepadaku, aku tidak takut menatapnya penuh kebencian dan amarah. Jika saja aku punya senjata, langsung kutarik pelatuknya dan kutembakkan ke kepalanya berkali-kali sampai pecah seperti serpihan batu ini.

“Is he your boy?” dia bertanya dalam kewaspadaan. Memang ada sedikit simpati dari matanya saat menatap Karim. But, he didn`t really care!

“Dan kau membunuhnya! Katakan pada pemimpinmu untuk berani memimpin langsung pasukanmu, bukan bersembunyi di balik Iron Dom! Bedebah!”

“Hei. Jaga mulutmu, cantik.” Dia tersenyum nakal membuatku semakin tajam menatapnya. “Tidakkah kau tertarik ikut denganku untuk …” katanya sambil menurunkan senapannya, ia lebih releks setelah mendengarku bersuara. “Yeah, bersenang-senang di tempat tidur. Kau tahu, pria selalu butuh wanita meski sedang perang. Aku kurang tertarik dengan wanita Israel, dan sepertinya kau …” dia meringis kesakitan karena sepatu kats-ku berhasil mengenai tulang keringnya. “What the …” ujarnya sambil mendorong senapannya dengan keras mengenai pelipisku.

Pening. Bau anyir darah menyeruak. Langsung kuusap darah yang mengalir mengenai alis mataku dengan tangan. Karim masih aman dalam pelukanku. Tentara itu bersiap kembali melancarkan serangan dengan senapan, berniat memukulku lagi.

“Stop!” tapi sebuah suara menghentikannya. Tentara Amerika Berpikiran Kotor itu langsung berdiri tegak dan mengangkat tangannya. Ia melakukan gerakan hormat khas militer pada pemilik suara itu. “Get out! She`s mine.”

“Yes, Sir!” ujarnya tegas dan lantang. Lalu ia berlari meninggalkan kami.

Aku dan pria itu saling bertukar pandang. Ia berjalan menghampiriku penuh wibawa dan kharisma. Pakaiannya sama seperti si Tentara Amerika Berpikiran Kotor, namun tanpa kacamata dan topi. Titik-titik rambut tipis berwarna pirang kecokelatan menutupi dagu dan pipinya. Rambut cokelatnya sempurna dengan rahang persegi yang terlihat kokoh. Hidungnya jelas mancung tinggi. Ada lekukan di tengah dagu lancipnya. Ketika ia mendekat dan berjongkok di hadapanku, aku bisa melihat matanya birunya yang berkilauan. Pria tampan ini pembunuh.

“Stay away from me!” pekikku.

“Just calm down, ok? I don`t wanna hurt you.”

“Are you his leader? Are you a murderer? Go to hell!”

“Don`t talking loud to me.” Dia menatap lekat mataku, mata birunya memancarkan ketenangan. Ia tidak mengancam seperti anak buahnya hingga aku tidak setegang tadi. Aku melunak dan membuang wajah lalu menatap Karim. “I`m so sorry for your son. I didn`t mean to …”

“Shut up!” pekikku, kembali merasakan kepedihan. “Kau telah membunuhnya. Karim-ku bayi yang menggemaskan. Aku sangat menyayanginya seperti anakku sendiri.” Kuucapkan curahan hatiku padanya, pada pria tampan yang sejak lama menjadi musuh Gaza. Ketenangannyalah yang membuatku merasa ingin direngkuh dalam pelukan pria itu dan menangis sedu sampai tertidur. Aku lelah. Aku kehilangan.

“Aku tahu. Tidak ada yang bisa kulakukan selain memohon maaf padamu, dan … Karim, rest in peace sweet heart. God bless you.

Aku memperhatikan wajahnya saat mengucapkan kalimat bela sungkawa pada Karim. Wajahnya menunjukkan keseriusan, bukan ejekan. Matanya mengisyaratkan kepedihan, bukan kesenangan.

Tangan besar pria itu mengelus kepala Karim, sama sepertiku telapaknya merah dengan darah. Ia meringis. “Inilah yang membuatku tidak pernah ingin berada dalam pertempuran.”

Kalimatnya memperjelas sesuatu dan jika aku dalam keadaan normal, aku pasti menanyakan maksudnya. Tapi tubuhku terlalu lemah, aku hanya bisa kembali menatap wajah Karim dan menyebutkan namanya dengan lembut dan lirih. Lalu tidak menyadari apa-apa lagi. Damai. Tenang. Aku pingsan.


To be continue …

Jumat, 22 Agustus 2014

Untitled

Suara dahsyat ledakan bom. Asap hitam mengepul di udara. Reruntuhan bangunan yang porak poranda. Dan tubuh berserakan di tanah tanpa ada harganya. Situasi ini sudah menjadi bagian yang lekat dalam ingatanku. Bagi sebagian orang itu jelas menyiksa batin, tapi tidak untukku.

Untitled

Pagi itu, aku meninggalkan Indonesia dengan membawa keyakinan bahwa misiku adalah membantu mereka yang sedang sekarat. Aku sudah berusaha memberikan penjelasan kepada kedua orang tuaku. Awalnya mereka menolak keras, namun panggilan hati tidak bisa dipatahkan begitu saja. Sebagai seorang dokter, aku ingin bermanfaat. Meski mereka melepasku dengan airmata yang mengucur, aku yakin kedua orang tuaku memberikan restu.

Setibanya di negara itu, aku sama sekali tidak mengecap manisnya kehidupan seperti di Jakarta. Keadaan berbeda seratus delapan puluh derajat. Di sini hanya ada kekalutan, duka, kepedihan dan kematian. Mirip seperti kota mati yang ditinggal pergi penduduk.

Puing-puing bangunan berserakan di sepanjang jalan, debu menganggu pernapasan, terik matahari terus menghantam wilayah ini. Meski suasana mencekam, aku bisa merasakan semangat perjuangan yang luar biasa. Masyarakat di sini yakin, jika mereka tidak bertahan siapa lagi yang akan menjaga peninggalan bersejarah Islam, Mesjid Al-Aqsa, Gaza, Palestine.

“Dokter Marsha.” Perawat pria memanggilku, aku menoleh sejenak lalu kembali sibuk menjahit tangan seorang remaja yang terluka. “seorang balita sekarat. Kepalanya bocor. Darah terus mengalir. Dia kejang-kejang.”

“Beri dia bantuan pernapasan, pasang kanula. Bersihkan darahnya, dalam dua menit akan kutangani.” jawabku tanpa menoleh dan mengerjakan pekerjaanku dengan cepat di ruang IGD – instalasi gawat darurat. Ruangan ini penuh sesak dengan korban bom, ada sebagian pasien diletakkan di koridor setelah ditangani. Memang kondisinya sangat gawat darurat. Tenaga dan peralatan medis masih kurang. Perlengkapan minim. Beberapa jenazah ditempatkan di lemari ice cream. Andai saja negara-negara tetangga bersedia membantu. Bahkan Mesir pun menutup pintu perbatasan.

Untitled

Sejak Israel menyerang, sudah ribuan nyawa melayang. Suasana mencekam membuatku merasa tidak aman tidur di mana pun, seperti ditikam rasa takut, dikurung kesedihan, dan ingin segera pulang ke rumahku yang nyaman lalu tidur dengan nyenyak sambil mendengarkan instrumen Kenny G. Tapi melihat senyum dan canda si imut Karim, aku ingin bersamanya lebih lama.

Usiaku hampir menginjak kepala tiga – berstatus single – memutuskan untuk mengadopsi Karim – bocah berusia 7 bulan – dan membawanya ke Indonesia. Selain imut dan tawa renyahnya membuat lapar – lapar ingin menciumi pipi tembam sembari memeluknya dengan erat – Karim adalah seorang anak yang diberikan mukjizat oleh Tuhan.


Debu reruntuhan bangunan mengepul, jarak pandang dekat. Ketika itu aku berdiri bersama para relawan kesehatan lainnya sembari memandangi pria-pria yang sedang berusaha mencari jasad di dalam reruntuhan rumah tidak jauh dari rumah sakit tempatku bertugas. Sehari pasca bom, mereka terus mencari jasad.


"Aku rasa di sini posisi kamar dari rumah yang runtuh ini!” seru seorang pria berjenggot dan berkumis tipis, tubuhnya tidak besar tapi jelas kuat karena otot menyembul di lengan bisepnya.

Menit demi menit berlalu, beberapa bongkahan batu bata putih besar berhasil diangkat dan dilempar ke luar daerah galian. Beberapa pria dewasa semangat menggali dengan tangan kosong, sebab ia khawatir sekopnya akan mengenai seseorang – meski mustahil – yang masih hidup.

Allahu Akbar!” teriak mereka bersemangat, takbir berkumandang dengan nyaring, memecahkan suasana mencekam menjadi haru. Para pria itu mengucapkan ucapan syukur dalam bahasa ibu. Jantungku rasanya nyeri, apa gerangan yang mereka temukan di dalam reruntuhan itu?

Aku dan kawanku saling bertatapan, lalu kami melangkah mendekat, menjulurkan kepala ke celah berbentuk persegi panjang di bawah sana. Aku tidak melihat apapun selain butiran halus reruntuhan bangunan. Namun, mereka terus menggali dan tak henti-hentinya bertakbir. Lalu sesuatu yang indah muncul membuat tubuhku merinding sekaligus terharu.

Aku terkesiap, sebelah lengan mungil timbul di antara reruntuhan debu halus. Itu pasti tangan seorang bayi. Hanya sebelah tangan yang berlengan panjang warna orange ceria tanpa tubuh. Hatiku teriris, pelupuk mata dipenuhi air. Kesadaran membuat tubuhku bergetar, ada seorang bayi kecil di bawah runtuhan batu yang berat dan serpihan material batu yang hancur. Pasti ia sulit bernapas! Pasti tubuhnya luka-luka! Pasti dia sudah mati! Oh, kasihan sekali bayi itu.

“Ya ampun! Aku tidak tega melihat ini.” Temanku histeris sambil membuang wajah menatap ke arah lain. “Tega sekali mereka. Apa salah bayi itu?” tanya kawanku, seorang wanita asal Mesir yang juga menjadi relawan sementara aku mengatupkan mulut rapat-rapat, tidak bisa berkata apapun.

Pria-pria itu terus mengucapkan kalimat puji-pujian tanpa lelah menggali reruntuhan dengan tangan. Kemudian, kepala mungil si bayi terlihat, rambutnya penuh dengan butiran halus reruntuhan. Tangan seorang pria memegangi tengkorak kepala si bayi dengan lembut, lalu ia menarik perlahan agar bayi itu terbebas dari reruntuhan halus.

              
           
Ya Tuhan bayi yang lucu! pekikku dalam hati, pedih.


Mereka terus menggali seakan menemukan harapan. Hatiku semakin ngilu melihat bayi gendut itu terduduk dengan kaki yang masih tertimbun reruntuhan. Rambutnya keriting, wajah bulat sehat, pipi tembamnya memerah. Ya Tuhan, dia benar-benar lucu. Namun, matanya terpejam rapat. Dia sudah mati.



Saat seorang pria menggerakkan tubuh si bayi ke lain sisi, tiba-tiba matanya terbuka, bibirnya membentuk bulan sabit terbalik, dan pandangan matanya berkeliaran persis seperti bayi yang baru saja terbangun dari tidur nyenyaknya, lalu tangan mungil yang gempal itu bergerak menuju matanya sendiri. Dia mengucak-ucak matanya dengan bibir yang masih memberengut. Menggemaskan sekali, airmataku menetes deras. Bayi laki-laki itu masih hidup, dia masih bisa bernapas di bawah reruntuhan bangunan. Ya Tuhan, ini keajaiban.


Seorang pria menciumi kepala dan wajah bayi itu ketika pria lain masih berusaha membebaskan pinggang – sampai ke bawah – dari reruntuhan, lalu ia mengusap-usap perut si bayi.
Kedua tangan gempal si bayi mengucak-ucak matanya, ia tidak menangis, tapi wajahnya hampir mewek, polos sekali. Ia terus begitu di tengah-tengah para pria berisik. Seakan tidak menyadari maut hampir membawanya pergi.

Aku ingin turun ke sana, menggendongnya lalu kupeluk ia dengan erat, kuciumi pipi merahnya yang tembam, kugenggam tangannya yang bulat, dan kuelus kepalanya penuh kasih sayang. Dia hebat, dia bisa bertahan. Semua orang menangis sedih, terharu sekaligus bahagia, termasuk aku yang terisak melihat sosok bayi gembul itu.



♥♥♥♥♥♥
“Dokter Marsha, apakah Anda akan pergi ke perbatasan Mesir sekarang?” tanya seorang pria yang kukenal bernama Hamid, ia berusia kira-kira 35 tahun. Petugas apotek di rumah sakit tempatku bertugas.

“Ohya, aku pasti ke sana, tunggu aku di depan, ya,” jawabku halus, lalu aku memandangi wajah anak angkatku Karim yang berada dalam dekapanku.

Sejak pertemuan antara aku dan Karim, aku tidak bisa melepaskannya dari pikiranku. Setiap sebelum dan bangun tidur aku selalu mengecup pipi tembamnya, mengelus rambut ikalnya dan memeluknya penuh kasih sayang. Aku berjanji akan membuatnya bahagia semampuku! Menjadikannya anak yang sukses kelak.

Setelah berjuang, akhirnya aku mendapatkan hak asuh yang sah – meski yah kau tahu sendiri, aku belum menemukan calon ayahnya. Karim adalah yatim piatu, keluarganya meninggal di hari ketika rumahnya runtuh rata dengan tanah. Lebih baik kubawa ia ke Indonesia, setelah keadaan Karim cukup kuat untuk terbang melintasi udara.

“Uu… Umi,” celoteh Karim, bibirnya bergerak imut. Tangannya menggapai-gapai wajahku dengan gesit. Matanya yang bulat berbingkai kelopak berbulu lentik. Ia bagai malaikat tampan yang Tuhan kirimkan untukku.

Habibi, sa azdhab syuwayya asytarii labanan lak, kun hadii an ya habibi,” kataku sambil tersenyum menatapnya. Karim membalas kalimatku dengan sepatah kata dan suara cemprengnya. Ia menatapku seakan ia mengerti apa yang kukatakan. Sorot matanya yang berkerlipan indah, mata tanpa dosa. “Uhibbak katsiiron.[1]

[1] Sayang, ibu mau beli susu dulu ya buat kamu. Kamu jangan nakal. Umi sayang sama Karim.

♥♥♥♥♥♥

Perdana Menteri Israel dan Hamas sepakat melakukan gencatan senjata selama 5 jam. Serius, hanya 5 jam. Ya, awalnya aku mengeluh. Yang benar saja hanya 5 jam, sewaktu di Jakarta 5 jam kuhabiskan dengan tidur-tiduran di kamar tanpa arti selepas kerja. Tapi sekarang, setiap detik berharga.

Hari ini pasienku tidak sebanyak biasanya. Kerjaku lebih santai. Biasanya aku tidak henti memeriksa detak jantung korban ledakan bom, melihat wajah baby yang penuh dengan luka bekas serpihan ledakan, bahkan aku pernah sekali menyaksikan seorang bayi dipeluk penuh kasih sayang oleh ibunya. Bayi itu meninggal dengan debu kelabu menutupi sekujur tubuhnya. Awalnya aku sering ke kamar mandi untuk menenangkan diri melihat banyak mayat berdarah di sekelilingku. Sekarang aku sudah terbiasa.

Pintu perbatasan Gaza dan Mesir dibuka selama gencatan senjata, waktu yang singkat itu kugunakan untuk membeli perlengkapan dan obat-obatan yang stoknya menipis, lalu keperluanku sendiri, juga keperluan Karim. Karimku tersayang butuh banyak pampers, pakaian hangat, dan susu tentu saja.

Mobil melaju di tengah Kota. Suasana nampak normal. Banyak orang berjalan di pinggir jalan raya seraya membawa kantong plastik berisi keperluan sehari-hari. Meski nampak normal, air wajah mereka jelas menderita dan ketakutan. Aku berdoa agar keadaan ini benar-benar berakhir.

Setelah semua keperluan sudah kami beli, kantong belanjaan dimasukkan ke bagasi mobil. Aku duduk dengan lelah bersandar pasrah pada kursi penumpang.

Di perjalanan menuju pengungsian aku mendengar suara ledakan yang menakutkan. Satu ledakan namun suaranya membelah ketenangan yang imitatif. Jantungku langsung berdentum tak beraturan. Karim!

“Kau dengar itu, Hamid?” tanyaku, panik. Posisi dudukku langsung tegak dan tegang. Tanganku memegang dasbor mobil, mataku membelalak lebar menatap Hamid yang tengah menyetir.

“Ya, dokter.” Wajahnya terlihat keras. “Apa yang mereka lakukan? Padahal sedang gencatan senjata.”

Kekhawatiran mencekram hati dan pikiranku, Karim berada jauh dari jangkauanku. “Cepat hubungi seseorang, tanyakan keadaan Karim.”

Aku memandangi Hamid yang tengah menelpon. Menunggunya menyampaikan informasi seperti menunggu keputusan hakim, apakah aku bebas hukuman ataukan dihukum pancung. Tapi ia hanya menggeleng yang justru menambah panjang kekalutanku.

“Tenang, Dokter. Karim pasti baik-baik saja.” Hamid berusaha menenangkanku, tapi tidak sepenuhnya berhasil. Aku semakin kalut dan takut. Khawatir.

“Cepat! Injak gas mobilmu dengan kencang! Aku tidak ingin Karim terluka sesenti pun.”

♥♥♥♥♥♥

Matahari terik yang mengantarku dari perbatasan Mesir menuju tempat tinggalku tertutup awan kelabu, cuaca berubah drastis. Mendung membungkus kota Gaza yang entah kenapa berhasil membuat hatiku perih dan sakit.

Mobil sedan yang kutumpangi melintas di atas jalan beraspal menuju pengungsian. Beberapa jam lalu, suasana di sini masih cukup kondusif. Tapi sekarang bising, ramai, dan amburadul.

Para orang tua menggendong anak-anak mereka dengan ekspresi wajah ketakutan yang kental. Ada yang menangis. Ada yang berteriak. Ada yang bicara dalam kepasrahan. Mereka berjalan setengah berlari menjauhi wilayah ini menuju satu titik yang kutahu sebagai tempat pengungsian lainnya.

Bahkan seorang remaja laki-laki kurus dengan susah payah dan terengah membopong adik perempuannya yang masih kecil. Ada luka di bagian pelipis dan kakinya mengalir darah merah. Gadis kecil itu menangis, teriak kesakitan. Kakaknya terus berlari tanpa alas kaki, sedangkan aspal penuh dengan kerikil tajam.

“Injak gas mobilnya lebih dalam, Hamid!” pekikku, rasa panik membuatku semakin kalut.

Sesampainya di pengungsian aku keluar dengan segera, berdiri di depan gedung pengungsian. Jantungku serasa berhenti. Bangunan yang berdiri kokoh itu kini telah hancur. Tembok-tembok yang tinggi, sekarang pecah berkeping-keping. Hatiku terus memanggil nama Karim dengan lirih.

“Sembunyi!” suara seorang pria tegas menggema di telingaku, namun kakiku terlalu lemas untuk bergerak. “Angkatan darat mereka sedang menuju ke sini.”

“Dokter, ayo pergi dari sini!” Hamid mencekram lengan sikuku.

Aku bergeming. Mataku pedih. Hatiku hancur.

“Dokter. Kau bisa ditangkap. Mereka sedang operasi dan akan menangkapmu.”

“Aku tidak takut. Itu lebih bagus, karena aku punya kesempatan untuk membunuh Netanyahu dengan tanganku sendiri!”

“Dokter.” Hamid berteriak.

“Tidak! Aku harus menemukan Karim!” jawabku seraya menyentakkan cengkraman tangan Hamid, lalu aku berlari menuju runtuhan pengungsian.















===================================================================
NB: Gambar-gambar yang kubagi di atas itu real. Terjadinya sih di Syria, boleh lihat di web ini http://www.youtube.com/watch?v=KRgO2GS5rGE