“Pak Majid telat lagi romannya.” ucap Coca.
Aku diam saja, menikmati pagi yang sejuk ini. Koridor sekolah
lantai 2 pun sepi, hanya kami berdiri yang bandel di luar kelas. Mataku sibuk
mencari sosok pria di antara pria lain yang sedang bermain futsal.
Sosoknya mudah kukenali, ia berlari dengan
gembira dan menikmati waktu, menendang bola dengan semangat, mengoper bola
dengan sepenuh hati, rambutnya terbang memperlihatkan keseluruhkan wajahnya
yang tampan. Reo begitu menikmati bermain futsal dengan teman-temannya. Betapa
ia menyukai olahraga yang satu itu. Dan yang paling indah dari yang terindah
adalah senyumnya terlihat lembut, hatiku berdebar bahagia. Gelombang bahagia
menggulungku. Jauh dipandang dekat di hati.
Aku merasa seakan jam berhenti berdetik, dunia
berhenti berputar dan semua hal yang bergerak di dunia ini menjadi patung.
Setiap kali kedua bola mataku menangkap sosok itu, aku merasakan keindahan yang
tidak ternilai harganya. Aku rela menghabiskan waktu hanya untuk merekam
gerak-gerik Reo, sudah lama aku melakukan kegiatan ini. Mengaguminya dari jauh.
“Nadhira!!!” kedua sahabatku – Adele dan Coca –
memekik di sampingku, membuat telingaku berdengung.
“Apa? Aduh budek deh nih gue kalau kalian terus
teriak-teriak begitu!” kataku melirik mereka sambil mengosok-gosok telingaku.
Serius lho berdengung!
“Ampun deh Nad, lo emang udah budek. Daritadi diajak
ngomong diem aja.” semprot Adele agak kesal, aku manyun. Nggak salah sih Adele
berkata seperti itu, karena aku memang nggak mendengar mereka bicara sama
sekali. Beginilah kalau orang jatuh cinta, mendadak tuna netra. Panca indera
cuma berfungsi untuk orang yang dicinta.
Sedetik berikutnya mataku kembali mencari Reo di tengah
para cowok yang sedang berlari, tertawa, dan merebut bola. Tapi salah! Aku
salah! Karena Adele mengikuti arah pandangku dan dia tahu deh penyebab
ketulianku tadi. “Oh, pantes. Lo tuh ya, kalau udah berhubungan sama Reo udah
kaya orang autis.”
“Siapa yang lihatin Reo, nggak kok…” sergahku
malu-malu, aku belum ingin membagi rasa ini. Aku kepengin rasa ini private, executive dan exclusive. Kedua sahabatku melayangkan
tatapan menilik, mereka berusaha menyerap ekspresi di wajahku. Pokoknya aku nggak
mau mereka tahu sekarang, malu kan kalau misalkan Reo nggak suka juga padaku?!
Nanti aja deh ya, kalau sudah ada tanda-tanda.
“Lo tertarik Nad sama dia?” tanya Coca, aku menggeleng
terlalu kencang ketara banget bohongnya.
Kini kami bertiga saling berhadapan, sepertinya sebentar lagi aku akan
disidang.
“Wajar sih lo suka sama dia. Dia itu kategori cowok
yang hampir sempurna.” puji Adele, tapi ia tidak memperlihatkan ketertarikannya
pada Reo.
“emang apa yang bikin dia masuk kategori itu?” tanyaku
pura-pura nggak tahu, padahal akulah yang paling tahu tentang Reo lebih dari siapapun
di sekolah ini.
“Nggak usah pura-pura bego Nad,” tukas Adele, wajahnya
terlipat menjadi beberapa bagian karena sebal.
“Pinter, berprestasi, kalem, tenang, cool, awesome, handsome, something bingit deh pokoknya!” Coca yang menjawab
setengah berteriak.
Seperti sebuah lagu yang menjadi soundtrack film, kalimat Coca mengiringi mataku mengikuti gerakan
Reo. Reo sedang duduk istirahat di pinggir lapangan bersama kawan-kawannya.
Entah kenapa, wajah itu sangat lembut untuk kulihat. Ingin rasanya kusentuh
kedua pipinya dan kuelus rambutnya yang terjuntai halus. Setiap gerakannya
sangat anggun, bahkan kedipan matanya. Ia tertawa bersama kesepuluh kawannya,
tangannya memutar tutup botol air mineral, diteguknya air itu menuruni
tenggorokan. Astaga, aku bisa melihat jakun – yang menonjol – bergerak
dilehernya – khas pria. Senyumku tertarik lebar! Saraf dan otot tubuhku
mengendur menikmati wajah Reo-ku. Semakin kupandang, semakin rupawan! Aduh
bahagianya.
Bunga-bunga di hati tiba-tiba bertransformasi menjadi
kupu-kupu yang melilit di dalam perutku, saat kepalanya tiba-tiba mendongak
lalu menangkapku yang sedang memandangnya penuh kebahagiaan dan tersenyum lebar.
Kami beradu pandangan. Dengan secepat kilat, aku
langsung berjongkok menutupi tubuh di balik tembok tempatku bersandar tadi.
Jantungku sekarang berdetak lebih cepat, dan angin yang sepoi-sepoi berubah
menjadi uap panas yang membuatku berkeringat.
Kedua sahabatku mengikuti gerakanku, mereka berjongkok
tanpa tahu alasannya. Wajah mereka terlihat bingung, merasa terancam dan
sedikit panik. Pandangan mata Coca menyapu koridor yang sepi mencari sumber
masalah yang membuatku berjongkok.
“Ada apaan sih Nad?” tanya Adele.
“Pak Boy ya?” tambah Coca, Pak Boy adalah seorang guru yang terkenal sering
memberikan sanksi. “Matilah awak!” Coca langganan kena hukuman.
“Bukan.” jawabku singkat, aku masih berusaha sadar
dari hipnotis Reo. Pikiranku terbayang-bayang wajah itu.
“Hei kalian, ayo masuk!!!” bentak suara berat seorang
pria dewasa – Pak Boy.
*****
Aku terpilih menjadi wakil dari sekolah untuk
Olimpiade Science 3 hari lagi, bersama Reo. Kuulangi, bersama Reo! Ya ampun,
kemarin lusa aku bertemu dengan Reo di ruang BP saat pengarahan. Seperti biasa
ada salting, canggung tapi bahagia. Bahagianya masih terasa sampai sekarang
meski aku sedang berkutit dengan buku matematika di perpustakaan sekolah saat
jam istirahat.
“Serius banget,” ujarnya lembut, suaranya membuat
otot-ototku menegang, jantungku berdenyut lebih cepat namun rasanya enak.
Maksudku, detak jantung ini memicu hormon lain hingga muncul perasaan gembira.
Kuangkat kepalaku perlahan, dan mulai meliriknya. Deg! Jantungku meletup menyenangkan. Reo
sudah duduk di hadapanku dengan wajah menawannya yang tenang bagai air jernih.
Ia memerhatikanku dengan seksama, serius dan selalu ada senyuman yang tipis
sekali di sudut bibirnya. Tatapannya melemahkan pertahananku, aku pun berubah
menjadi salah tingkah. Kututup bukuku sambil menundukkan kepala, lalu detik
berikutnya kubuka lagi. Well, tenang
Nad!
“I… iya. Tiga hari lagi olimpiadenya dimulai,”
responku seraya membebaskan rambut yang menyelip ditelingaku. Aku bersyukur
memiliki rambut yang panjang, terkadang rambut ini bisa membantu menutupi rona
wajahku.
“Jangan sengaja gerai rambut kamu kalau cuma mau
nutupin muka,” kata Reo lalu ia menyentuh rambutku dan menyelipkannya kembali,
sentuhannya membuatku merinding. “Itu nggak sopan,” lanjutnya, aku sedikit
membuang wajahku nggak ingin ia menangkap wajahku yang memerah. “Begini kan
lebih manis.”
Astaga Reo membuat jiwaku bergetar, ia memujiku. Aku
diam seribu bahasa nggak mampu menjawab apapun, speechless. Dan tatapannya serasa menohokku tepat dihati, ingin
rasanya aku berteriak please Reo
jangan tatap aku seperti itu. Aku nggak bisa berpikir apa-apa selain mengambil
buku soal matematika dan menyembunyikan wajahku dibalik buku. Aduh seperti anak kecil aku dibuatnya.
Reo tertawa, lalu menarik buku yang kupegang dan
dibiarkan tergeletak diatas meja. “Kamu kenapa sih?” tanya Reo masih diiringi
tawanya yang terdengar manis menghibur ditelingaku. “Udah cukup Nad
sembunyi-sembunyinya. Aku udah lama merhatiin kamu, kamu tahu kan?”
Malu-malu kuangkat kepalaku, kutatap matanya. Sorot
mata indah itu kini berkilapan menunjukkan kejujuran perkataannya. Aku memberanikan
diri untuk mengakui. “Ya, kita sama-sama tahu.” jawabku hati-hati.
Reo tersenyum lembut penuh arti, “Maaf, aku nggak
maksud ngerebut peringkat kamu.”
“Nggak perlu minta maaf, kamu nggak salah. Kita semua
punya kesempatan yang sama untuk maju, kesuksesan tergantung usaha dan semangat
kita sampai mana. Mungkin waktu itu usaha aku kurang. Dan yang paling penting
sejak itu, aku sadar kehadiran kamu Re.” jawabku, kalimat itu terlontar begitu saja
dengan lancar. Wah mestakung banget
ini, semesta mendukung. Aku mulai merasa nyaman dengannya seakan kami sudah
dekat sekali.
Kami masih bertatapan, meski ada perasaan canggung
sekaligus malu yang menggerogoti perasaan kami. “Pertama kali lihat kamu, waktu
upacara pertama di kelas X semester 2. Kamu jadi pengibar bendera dihari senin.
Senyum kamu,” Reo menghentikan kalimatnya, nampaknya ia tidak tahan menahan
sesuatu yang membuat pipinya memerah. Ia menunduk tersenyum malu. Seakan
mengerti apa yang Reo katakan, aku merasakan hal yang sama – malu sekaligus
bahagia. Ternyata ia memerhatikanku sudah selama itu. Ah malunya aku!
Tiba-tiba Reo mengangkat kepala lalu melanjutkan. “Ya,
sejak itu aku tertarik. Apalagi waktu aku tahu kamu juara umum, lolos
paskibraka nasional – aku sering lihat kamu latihan, kamu juga punya banyak
teman, ramah, anggun, dan …” ia kembali menghentikan kalimatnya, aku mengigit
bibir menahan jiwaku yang hampir lepas dari tubuh karena pujian itu. “Dan semua
itu menambah ketertarikan aku.”
“Aku juga!” kata-kata ini meluncur tanpa izin, aku
langsung menutup mulutku. Reo terdiam, lalu ia tertawa mencairkan suasana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar