Sabtu, 10 Mei 2014

Menyayangimu Dari Jauh

“Pak Majid telat lagi romannya.” ucap Coca.
Aku diam saja, menikmati pagi yang sejuk ini. Koridor sekolah lantai 2 pun sepi, hanya kami berdiri yang bandel di luar kelas. Mataku sibuk mencari sosok pria di antara pria lain yang sedang bermain futsal.
Sosoknya mudah kukenali, ia berlari dengan gembira dan menikmati waktu, menendang bola dengan semangat, mengoper bola dengan sepenuh hati, rambutnya terbang memperlihatkan keseluruhkan wajahnya yang tampan. Reo begitu menikmati bermain futsal dengan teman-temannya. Betapa ia menyukai olahraga yang satu itu. Dan yang paling indah dari yang terindah adalah senyumnya terlihat lembut, hatiku berdebar bahagia. Gelombang bahagia menggulungku. Jauh dipandang dekat di hati.
Aku merasa seakan jam berhenti berdetik, dunia berhenti berputar dan semua hal yang bergerak di dunia ini menjadi patung. Setiap kali kedua bola mataku menangkap sosok itu, aku merasakan keindahan yang tidak ternilai harganya. Aku rela menghabiskan waktu hanya untuk merekam gerak-gerik Reo, sudah lama aku melakukan kegiatan ini. Mengaguminya dari jauh.
“Nadhira!!!” kedua sahabatku – Adele dan Coca – memekik di sampingku, membuat telingaku berdengung.
“Apa? Aduh budek deh nih gue kalau kalian terus teriak-teriak begitu!” kataku melirik mereka sambil mengosok-gosok telingaku. Serius lho berdengung!
“Ampun deh Nad, lo emang udah budek. Daritadi diajak ngomong diem aja.” semprot Adele agak kesal, aku manyun. Nggak salah sih Adele berkata seperti itu, karena aku memang nggak mendengar mereka bicara sama sekali. Beginilah kalau orang jatuh cinta, mendadak tuna netra. Panca indera cuma berfungsi untuk orang yang dicinta.
Sedetik berikutnya mataku kembali mencari Reo di tengah para cowok yang sedang berlari, tertawa, dan merebut bola. Tapi salah! Aku salah! Karena Adele mengikuti arah pandangku dan dia tahu deh penyebab ketulianku tadi. “Oh, pantes. Lo tuh ya, kalau udah berhubungan sama Reo udah kaya orang autis.”
“Siapa yang lihatin Reo, nggak kok…” sergahku malu-malu, aku belum ingin membagi rasa ini. Aku kepengin rasa ini private, executive dan exclusive. Kedua sahabatku melayangkan tatapan menilik, mereka berusaha menyerap ekspresi di wajahku. Pokoknya aku nggak mau mereka tahu sekarang, malu kan kalau misalkan Reo nggak suka juga padaku?! Nanti aja deh ya, kalau sudah ada tanda-tanda.
“Lo tertarik Nad sama dia?” tanya Coca, aku menggeleng terlalu kencang  ketara banget bohongnya. Kini kami bertiga saling berhadapan, sepertinya sebentar lagi aku akan disidang.
“Wajar sih lo suka sama dia. Dia itu kategori cowok yang hampir sempurna.” puji Adele, tapi ia tidak memperlihatkan ketertarikannya pada Reo.
“emang apa yang bikin dia masuk kategori itu?” tanyaku pura-pura nggak tahu, padahal akulah yang paling tahu tentang Reo lebih dari siapapun di sekolah ini.
“Nggak usah pura-pura bego Nad,” tukas Adele, wajahnya terlipat menjadi beberapa bagian karena sebal.
“Pinter, berprestasi, kalem, tenang, cool, awesome, handsome, something bingit deh pokoknya!” Coca yang menjawab setengah berteriak.
Seperti sebuah lagu yang menjadi soundtrack film, kalimat Coca mengiringi mataku mengikuti gerakan Reo. Reo sedang duduk istirahat di pinggir lapangan bersama kawan-kawannya. Entah kenapa, wajah itu sangat lembut untuk kulihat. Ingin rasanya kusentuh kedua pipinya dan kuelus rambutnya yang terjuntai halus. Setiap gerakannya sangat anggun, bahkan kedipan matanya. Ia tertawa bersama kesepuluh kawannya, tangannya memutar tutup botol air mineral, diteguknya air itu menuruni tenggorokan. Astaga, aku bisa melihat jakun – yang menonjol – bergerak dilehernya – khas pria. Senyumku tertarik lebar! Saraf dan otot tubuhku mengendur menikmati wajah Reo-ku. Semakin kupandang, semakin rupawan! Aduh bahagianya.
Bunga-bunga di hati tiba-tiba bertransformasi menjadi kupu-kupu yang melilit di dalam perutku, saat kepalanya tiba-tiba mendongak lalu menangkapku yang sedang memandangnya penuh kebahagiaan  dan tersenyum lebar.
Kami beradu pandangan. Dengan secepat kilat, aku langsung berjongkok menutupi tubuh di balik tembok tempatku bersandar tadi. Jantungku sekarang berdetak lebih cepat, dan angin yang sepoi-sepoi berubah menjadi uap panas yang membuatku berkeringat.
Kedua sahabatku mengikuti gerakanku, mereka berjongkok tanpa tahu alasannya. Wajah mereka terlihat bingung, merasa terancam dan sedikit panik. Pandangan mata Coca menyapu koridor yang sepi mencari sumber masalah yang membuatku berjongkok.
“Ada apaan sih Nad?” tanya Adele.
“Pak Boy ya?” tambah Coca, Pak  Boy adalah seorang guru yang terkenal sering memberikan sanksi. “Matilah awak!” Coca langganan kena hukuman.
“Bukan.” jawabku singkat, aku masih berusaha sadar dari hipnotis Reo. Pikiranku terbayang-bayang wajah itu.
“Hei kalian, ayo masuk!!!” bentak suara berat seorang pria dewasa – Pak Boy.
*****
Aku terpilih menjadi wakil dari sekolah untuk Olimpiade Science 3 hari lagi, bersama Reo. Kuulangi, bersama Reo! Ya ampun, kemarin lusa aku bertemu dengan Reo di ruang BP saat pengarahan. Seperti biasa ada salting, canggung tapi bahagia. Bahagianya masih terasa sampai sekarang meski aku sedang berkutit dengan buku matematika di perpustakaan sekolah saat jam istirahat.
“Serius banget,” ujarnya lembut, suaranya membuat otot-ototku menegang, jantungku berdenyut lebih cepat namun rasanya enak. Maksudku, detak jantung ini memicu hormon lain hingga muncul perasaan gembira.
Kuangkat kepalaku perlahan, dan mulai meliriknya. Deg! Jantungku meletup menyenangkan. Reo sudah duduk di hadapanku dengan wajah menawannya yang tenang bagai air jernih. Ia memerhatikanku dengan seksama, serius dan selalu ada senyuman yang tipis sekali di sudut bibirnya. Tatapannya melemahkan pertahananku, aku pun berubah menjadi salah tingkah. Kututup bukuku sambil menundukkan kepala, lalu detik berikutnya kubuka lagi. Well, tenang Nad!
“I… iya. Tiga hari lagi olimpiadenya dimulai,” responku seraya membebaskan rambut yang menyelip ditelingaku. Aku bersyukur memiliki rambut yang panjang, terkadang rambut ini bisa membantu menutupi rona wajahku.
“Jangan sengaja gerai rambut kamu kalau cuma mau nutupin muka,” kata Reo lalu ia menyentuh rambutku dan menyelipkannya kembali, sentuhannya membuatku merinding. “Itu nggak sopan,” lanjutnya, aku sedikit membuang wajahku nggak ingin ia menangkap wajahku yang memerah. “Begini kan lebih manis.”
Astaga Reo membuat jiwaku bergetar, ia memujiku. Aku diam seribu bahasa nggak mampu menjawab apapun, speechless. Dan tatapannya serasa menohokku tepat dihati, ingin rasanya aku berteriak please Reo jangan tatap aku seperti itu. Aku nggak bisa berpikir apa-apa selain mengambil buku soal matematika dan menyembunyikan wajahku dibalik buku.  Aduh seperti anak kecil aku dibuatnya.
Reo tertawa, lalu menarik buku yang kupegang dan dibiarkan tergeletak diatas meja. “Kamu kenapa sih?” tanya Reo masih diiringi tawanya yang terdengar manis menghibur ditelingaku. “Udah cukup Nad sembunyi-sembunyinya. Aku udah lama merhatiin kamu, kamu tahu kan?”
Malu-malu kuangkat kepalaku, kutatap matanya. Sorot mata indah itu kini berkilapan menunjukkan kejujuran perkataannya. Aku memberanikan diri untuk mengakui. “Ya, kita sama-sama tahu.” jawabku hati-hati.
Reo tersenyum lembut penuh arti, “Maaf, aku nggak maksud ngerebut peringkat kamu.”
“Nggak perlu minta maaf, kamu nggak salah. Kita semua punya kesempatan yang sama untuk maju, kesuksesan tergantung usaha dan semangat kita sampai mana. Mungkin waktu itu usaha aku kurang. Dan yang paling penting sejak itu, aku sadar kehadiran kamu Re.” jawabku, kalimat itu terlontar begitu saja dengan lancar. Wah mestakung banget ini, semesta mendukung. Aku mulai merasa nyaman dengannya seakan kami sudah dekat sekali.
Kami masih bertatapan, meski ada perasaan canggung sekaligus malu yang menggerogoti perasaan kami. “Pertama kali lihat kamu, waktu upacara pertama di kelas X semester 2. Kamu jadi pengibar bendera dihari senin. Senyum kamu,” Reo menghentikan kalimatnya, nampaknya ia tidak tahan menahan sesuatu yang membuat pipinya memerah. Ia menunduk tersenyum malu. Seakan mengerti apa yang Reo katakan, aku merasakan hal yang sama – malu sekaligus bahagia. Ternyata ia memerhatikanku sudah selama itu. Ah malunya aku!
Tiba-tiba Reo mengangkat kepala lalu melanjutkan. “Ya, sejak itu aku tertarik. Apalagi waktu aku tahu kamu juara umum, lolos paskibraka nasional – aku sering lihat kamu latihan, kamu juga punya banyak teman, ramah, anggun, dan …” ia kembali menghentikan kalimatnya, aku mengigit bibir menahan jiwaku yang hampir lepas dari tubuh karena pujian itu. “Dan semua itu menambah ketertarikan aku.”

“Aku juga!” kata-kata ini meluncur tanpa izin, aku langsung menutup mulutku. Reo terdiam, lalu ia tertawa mencairkan suasana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar