Kamis, 27 Agustus 2015

Finding You Among The Stars

Finding You Among The Stars
(potongan draft)
By: Eka Annisa


“Dari sekian banyak jalan yang terbentang di hadapanku, semua mengarah kembali padamu. Meski kau berada di sisi lain saat langit terbelah, dan jarak kita terpisah sangat jauh. Aku pasti akan melihatmu di antara bintang-bintang.”


Prolog

“Hai, Re. Aku kangen banget sama kamu.” Kupandangi cakrawala hitam gelap, sambil merasakan lembabnya rerumputan halus di sela-sela jemariku. Sentuhan lembut rumput itu seolah mengelus punggungku, menenangkan otot-ototku yang tegang. Aku merasa ketenangan jiwa dan raga, serasa Reoku tengah berbaring di sampingku, menatapku menggunakan matanya yang selalu sendu, dan selalu memperlihatkan senyumnya yang semanis madu.

Kata pacarku Reo, agak susah melihat bintang di kota, karena cahaya lampu terlalu terang mengalahkan sinar kecil bintang-bintang itu. Tapi sekarang malam cerah, lumayan banyak kerlip bintang dapat kulihat di atas langit pekat yang nampak tak berujung luasnya.

Seperti inilah kegiatanku kala kerinduan menyesakkan dada dan sama sekali tak ada obatnya. Kucari bintang paling bersinar, berusaha menemukan permata berpilar yang kuyakini sebagai bintang regulus. Ya, regulusku yang sudah 1500 hari meledak, menghilang, melebur menjadi satu dengan semesta. Tak kasatmata.

Reo pecinta regulus. Einstain-nya Nadhira. Kekasih yang takkan pernah selangkah pun beranjak dari hatiku.

Sebelum meninggal, sepertinya dia sudah tahu, sebentar lagi kematian akan datang menjemput. Malam itu terasa menyiksa bagiku, kekhawatiran menekan jantung. Aku takut kehilangannya setengah mati.

Ulang tahunku yang ke tujuh belas adalah ulang tahun yang tak terlupakan. Dia menjamuku dengan candle light dinner di balkon apartemennya. Hari ulang tahun yang pertama sekaligus terakhir yang kulalui bersama Reo.
*****
“Jadi, kamu mau minta apa? Make a wish coba,” pinta Reo lembut sambil menggenggam jemariku.

“Rahasia dong,” sahutku seraya tersenyum. Reo hanya mengangguk protes, sementara aku tertawa kecil. “Hehe… ya, Wishes biasa, Re. Panjang umur, sehat, sukses. Ditambah satu wish khusus. Di tahun ini kan ada kamu, aku pengen tahun-tahun berikutnya juga ada kamu.”

“Kalau nggak ada gimana?”

“Ada dong,” jawabku agak getir. “Omongan kan doa, Re. Jadi aku harus yakin, ada kamu di masa depan aku.”

“Nad, kita nggak pernah tahu apa yang akan terjadi. Gimana pun keadaannya, kita harus siap menghadapi.” Reo berujar penuh kesungguhan, matanya menyala, seakan menegaskan dia ingin aku serius menanggapi perkataannya. “Kalau aku nggak ada, kamu harus tetep lanjutin hidup kamu ya. Di kehidupan selanjutnya mungkin kita bisa—”

Stop. Aku nggak mau mendengar kata-kata selanjutnya. Aku takut. Nggak berani membayangkan hal menyedihkan seperti itu. Ketiadaan seseorang yang disayang.

“Ada! Kamu pasti ada, Re. Jangan ngomong yang nggak-nggak deh! Capek tahu dengernya!”

“Nadhira, kamu dengerin aku dulu sampai selesai ya, Sayang.” Reo memohon  sambil menggenggam erat tanganku. “Aku pengen kamu hidup bahagia, itu aja kok.”

Kubalas genggaman tangannya sekuat tenaga. Kengerian ini membuat hatiku ngilu. Aku takut kehilangan. Takut Reo pergi. Takut nggak bisa lagi melihatnya.

“Tapi aku pengen bahagia bareng kamu,” pintaku, nggak sanggup menahan ketakutanku, meskipun nggak ada yang tahu soal kematian, tetap saja aku nggak mau membayangkan hari-hariku tanpa Reo.

Reo hanya tersenyum tipis, menatapku dengan matanya yang sendu.

“Waktu masih kecil, Papah pernah bilang ke aku, kalau orang yang meninggal akan berubah menjadi bintang. Always and forever… as long as the stars twinkle in the night.” Reo berkata dengan tenang, sementara aku menatapnya penuh kekhawatiran. “Aku ngerasa Papah selalu ada selama bintang bersinar. Makanya aku suka bintang, Nad.”

“Maksud kamu apa ngomong kayak gitu? Emang kamu kepengen jadi bintang? Nggak boleh!”

Reo tersenyum tulus sambil mengelus ubun-ubunku, lalu berbisik “You got to be strong, got to move on.”

Rasa khawatirku semakin besar menekan dadaku. Seperti mendapat Firasat.

Kusingkirkan tangannya—yang masih mengelus kepalaku—dengan kasar. Aku kesal mendengarnya berkata seakan dia punya penyakit parah dan dokter sudah memvonisnya akan mati sebentar lagi. Hah! Menyebalkan! Nggak ada satu pun di dunia ini yang berhak menentukan umur seseorang!

“Apaan sih kamu, Re?” Aku marah, kekhawatiranku berubah menjadi bulir-bulir kristal air mata, menuruni pipi. Tubuhku gemetaran, angin malam yang awalnya sejuk berubah dingin menggigit. “Aku ke sini buat ngerayain ultah bareng kamu, bukan persiapan kalau tiba-tiba kamu pergi!” ujarku lirih. “Sekali lagi kamu bahas ini! Aku nggak bakal mau ketemu kamu lagi, Re. Ngebayanginnya aja aku udah takut.”

“Maaf,” hanya kata itu yang  dia ucapkan. Kutatap dia sedalam mungkin, berusaha menunjukkan kalau aku benar-benar takut kehilangan dia. “Maafin aku, Nad.”

“Janji jangan pernah bahas lagi! Kematian bukan urusan kita, Re,” ucapku seraya meraih tangannya, kugenggam tangannya erat.

“Aku sayang kamu, jangan ngomongin ini lagi ya Re, please,” lanjutku dengan mata yang berkata-kaca. Lalu aku merunduk, pipiku menempel pada punggung tangannya yang masih kugenggam di atas meja. Air mataku menetes membasahi tangan Reo.

Reo berdiri lalu membungkuk dan mengecup kepalaku seraya berkata, “love me now forever.” Aku mengangguk lembut merasakan sengatan kasih sayang yang berusaha dia alirkan melalui ubun-ubunku.

Reo duduk kembali. Kemudian menatap langit malam yang lumayan cerah. Beberapa bintang berkerlip di atas sana. Sedangkan aku, masih lekat menatapi wajahnya yang teduh. Berusaha merekam tiap lekuk indah wajahnya. Malam ini, dia terlihat lebih bercahaya, auranya semakin sedap dipandang menambah ketampanannya. Tuhan, izinkan aku bersama dengannya lebih lama lagi.

“Nad, inget nggak, regulus bintang paling terang di rasi apa?” tanya Reo di tengah-tengah keasikan mataku menelusuri kerupawanannya. Kujawab pertanyaannya dengan anggukan yang lemah. “Apa?” Reo bertanya lagi.

“Rasi bintang leo, kan?”

“Iya,” jawabnya sambil tersenyum. “Kamu mau tahu nggak, mitologi rasi bintang leo?”

Aku mengangguk sambil mengulum senyum berusaha mengusir kegelisahan. Kutopang kepalaku dengan tangan, telapak tangan menempel pada pipi sebelah kiri, agar nyaman menyimak kekasihku yang akan menjelaskan tentang antariksa kesukaannya.

Ini menjadi pemandangan terfavoritku, sebab dia kelihatan istimewa ketika berbicara tentang bintang. Gerakan tangannya yang berirama dengan suaranya yang lembut. Wajahnya yang ceria, dan matanya yang selalu berpendar indah seolah-olah ada milyaran gemintang cantik. Dia benar-benar malaikatku.

Kami saling bertatapan, kemudian Reo tersenyum tipis, dan mulai bercerita.

“Suatu hari singa Nemea datang ke Yunani dan membunuh orang-orang. Raja Euritus memerintahkan Hercules untuk membunuh singa Nemea. Hercules menyerang singa itu menggunakan semua senjata, tapi si singa terlalu kuat dan kebal.

Akhirnya Hercules melawan singa Nemea dengan tangan kosong. Dia bergulat dan berhasil memenangkan pertarungan itu. Hercules selalu memenangkan semua pertarungan. Agar peristiwa itu bisa diingat oleh semua orang, Dewa Zeus mengirim jiwa singa Nemea ke atas langit.”

“Hercules anaknya Zeus, kan?” tanyaku seakan masuk dalam kisah yang Reo ceritakan. Aku lupa-lupa ingat soal mitologi Yunani. Reo mengangguk. “Yang ibunya manusia?” tanyaku lagi, Reo kembali mengangguk masih dengan mengulum senyum tipis. “Jadi menurut mitologi Yunani, rasi bintang itu berasal dari nyawa makhluk hidup yang dikirim ke langit, termasuk nyawa manusia yang udah mati?”

“Iya, seperti yang Papah aku bilang, diabadikan menjadi bintang di langit.”

“Kok kamu percaya, sih?”

“Ya habis mau gimana, namanya juga anak kecil,” Reo nyengir, “Tapi emang bener kan nyawa manusia pindah ke alam lain? Anggap aja ke langit. Jadi kalau kamu kangen sama mereka yang udah meninggal, kamu bisa lihat bintang-bintang di langit, Nad.”

3
Di tengah lamunan dan kerinduanku kepada Reo, tiba-tiba tangan seseorang mengulurkan gelas plastik berisi cairan panas dengan uap mengepul. Mataku menangkap se-cup kehangatan yang ke luar dari gelas, menimbulkan hasrat untuk segera menyesapnya di tengah hawa dingin.

Penasaran, aku segera menoleh dan melihat Cowok Arab itu sedang memerhatikanku. Wajahnya kini berubah, kepongahan itu hilang digantikan dengan keteduhan yang menghanyutkan.

Cowok itu memberikan isyarat—agar aku bersedia menerima gelas itu—dengan gerakan tangannya. Aku langsung membuang muka dan mengabaikannya.

“Terima atau kamu nggak bakal dapet apa yang kamu butuhkan!” ujar si cowok setengah mengancam.

Ini orang niat ngasih nggak sih?! ujarku dalam hati, kembali meliriknya jutek. Sedetik berikutnya dengan setengah hati, kuraih cup yang ada di tangannya tanpa menatap cowok itu. Aku ingin tahu, apa sih maunya?!

Seketika telapak tanganku yang dingin terasa hangat akibat hantaran panas dari gelas plastik. Kemarahanku menguap bersama uap panas yang ke luar dari gelas. Dalam hati, aku mengucapkan terima kasih kepada cowok itu. Kulirik wajahnya yang sedang serius menatapku, senyumnya terulas tipis namun syarat kepuasaan karena aku bersedia menerima pemberiannya. Sepertinya dia nggak terlalu jahat juga.

Kemuan kuesap perlahan isi gelas tersebut—yang ternyata adalah hot chocolate kesukaanku. Tahu saja cowok ini, dia memberiku cokelat agar suasana hatiku berubah menjadi tenang. Dan memang betul, aku lebih rileks sekarang.

Hmmm, lezat. Mulutku penuh rasa cokelat yang hangat. Aku meliriknya dari bibir gelas lalu berkata, “makasih, ya.”

Dia hanya mengangkat bahu masih dengan gaya sok cool, lalu berkata “nih buat kamu.” Disodorkannya kantong plastik putih bergambar logo toko buku, sementara aku hanya terdiam menatapnya. “Nggak mau nih?”

Gantian aku yang melemparkan wajah tanpa ekspresi. “Mau apa maksudnya?”

“Benda yang ada di dalam kantong ini.”

“Iya. Itu benda apa ?” tanyaku mendadak berubah menjadi bodoh, tatapan cowok itu berubah jengkel. “Buku, ya?” Aku bertanya lagi.

“Menurut kamu apa? Lontong?” Dia bertanya. Sementara bibirku tertarik beberapa centi seraya meliriknya. Dia melucu ya?! “Kok malah senyum? Ini mau nggak? Saya hitung sampai tiga, kalau nggak mau—”

“Iya-iya mau,” potongku sambil meraih kantong itu, lalu aku melemparkan senyuman penuh terima kasih. Cowok itu malah mengalihkan pandangannya ke deretan mobil yang tengah diserang air hujan.
“Ini serius buat saya?” tanyaku.

Cowok Arab itu tersenyum seraya mengangguk. Seulas senyuman tipis menghiasi bibirnya dan membuatnya terlihat jauh lebih tampan lagi. Baru kali ini aku melihat senyuman merekah di bibirnya, dan itu benar-benar menawan. Seakan musim dingin telah berlalu, dan musim semi menyapa. Senyum penuh keceriaan.

“Makasih, ya,” ujarku.

“Dari pada nunggu di sini, basah dan dingin, mending kita mampir ke toko itu,” usulnya sembari menunjuk salah satu toko donat di samping gedung. “Kamu langganan busway, kan? Kecuali kamu mau basah-basahan di dalam busway nanti.”

Dia benar, aku pengguna bus Trans Jakarta yang lumayan setia—kalau sedang nggak mood menyetir motor. Aku hanya tersenyum tipis dan menerima tawaran cowok itu.

Suasana di dalam toko sunyi dan tenang. Nggak terlalu banyak pengunjung, bisa dihitung menggunakan jari. Lagipula, nampaknya mereka pun menikmati kesyahduan nuansa mendung kelabu. Dingin, tenang, dan menentramkan. Bahkan, titik-titik air yang tertinggal di kaca jendela seakan meniupkan melodi genangan air hujan yang terlintas ban mobil berkecepatan tinggi. Suasana hujan, menggambarkan keteduhan surga. Menebalkan kerinduanku pada Reo.

Di tengah kebisuan dan kesibukan dengan pikiran masing-masing, waitress wanita bercelemek dan bertopi mengantarkan pesanan kami. Dua buah donat bertoping krim dengan taburan kacang almond dan dua cangkir cappuccino hangat mejeng di atas meja kayu bulat.

“Nama saya Haykel,” katanya selembut beledu, memecahkan kesunyian.

Cowok Arab itu duduk di hadapan sambil menatapiku. Seluruh perhatiannya seakan hanya tertuju padaku. Namun kuenyahkan kebesaran rasaku, agar nggak terlalu canggung. Kubalas tatapannya, penuh tanda tanya. Dan sebenarnya penasaran, kenapa dia tetiba berubah menjadi baik padaku.

Aku memandangi rahang perseginya yang kelihatan jantan. Ada titik-titik rambut tumbuh di bawah dagu dan sedikit di atas bibir merahnya yang melengkung sempurna. Dari sorot matanya, dia terlihat menjanjikan. Sisi cool-nya hilang, ada sedikit wibawa terpancar dari mimik wajahnya.

“Kamu Nadhira, kan?” tanya Haykel agak kaku, aku hanya mengangguk. “Nadhira Amirah Rahman.”

Aku tercenung, keningku mengerut, dan kedua alisku terpaut. Dari mana dia tahu nama panjangku?

“Kok kamu tahu nama panjang saya?” tanyaku.

“Kan kamu yang tulis sendiri di kertas kemarin.”

“Masa sih? Kayaknya nggak deh,” sergahku sambil mengingat-ingat.

“Iya, kamu tulis nama panjang kamu, Nadhira,” jawabnya, saat menyebut namaku suaranya kedengaran halus banget membuatku merinding, jadi aku hanya mengangguk untuk meresponnya.

“Hmm… kok kamu bisa ada di sini?” tanyaku.

“Ini Jakarta, Nadhira Amirah,” ucapnya.

Mendengar ada seorang cowok menyebut nama panjangku, hatiku berdebar aneh, rasanya senang mendengar orang lain menyebut nama panjang.

“Banyak orang di kota ini. Padat dan tempatnya nggak terlalu luas. Jadi, kemungkinan ketemu besar, kan?” tanyanya.

Aku melongo. Kenyataannya aku jarang kok bertemu kawan SMP meski Jakarta nggak luas.
Dia tertawa kalem lalu melanjutkan, “kata mamahku, di sini koleksinya lumayan lengkap. Jadi, saya ke sini. Di perpus nggak bisa pinjem lama, saya pikir cukup baca satu kali ternyata lebih puas memiliki.”

“Oh, kalau gitu sama! Saya ke sini juga rekomendasi Mamah,” kataku sembari memerhatikan mata sendunya. Serius, segala yang ada di wajahnya terlihat indah dan cocok. Lukisan bernyawa yang sempurna. “Kamu serius mau kasih buku ini buat saya?” tanyaku, masih merasa nggak yakin.

“Ya.” Dia menjawab sambil menatapku dalam-dalam. “Saya ngerasa bersalah karena udah nggak sopan dan nggak peduli sama kamu. Harusnya saya pinjemin buat fotokopi kemaren. Padahal kamu butuh banget, sampe baju kamu lepek kena air kotor, kan?” ucapnya, lalu tertawa kecil, sedangkan aku mengulum senyum. “Saya nggak terlalu butuh buku itu. Serius kok, buat kamu.”

“Makasih banget, ya. Saya bener-bener butuh buku ini. Kalau nanti kamu mau baca, boleh kok pinjem.”

“Oh, jadi sekarang posisinya ditukar, ya? Saya yang pinjem buku itu ke kamu?” Haykel melirikku dari balik bulu matanya. Aku mengangguk sambil menyembunyikan senyum. Lalu dia terkekeh. “Maafin sikap nyebelin saya, ya. Tombol toleransinya lagi rusak.”

Aku mengangguk seraya tersenyum, kemudian berkata “itu tombol urgent, nggak boleh rusak, benerin dulu sana,”

Dia tertawa, “udah diperbaiki kok, gara-gara kena hujan tadi,” katanya. Kini kami berdua tertawa kecil. Haykel sebenarnya baik. Terkadang, apa yang nampak di luar belum tentu mencerminkan dalamnya.

“Kamu suka banget ya sama sosiologi?”

“Eh?” Aku terkejut diajukan pertanyaan berbobot pada obrolan pertama. “Ooh… saya suka sosiologi karena pacar saya. Dia suka sosiologi. Reo punya cita-cita besar,” kataku akhirnya. Ada rasa pahit dan pilu mengingat kejadian itu. 
6
Sebulan sekali, aku mengunjungi makam Reo. Kali ini nggak sendiri, ada kedua sahabatku, Adele dan Coca. Juga ketiga sahabat Reo, ada Amru, Edgar dan Prasto.

Kami berdoa, lalu mengenang beberapa momen yang pernah dilalui bersama. Airmataku nggak pernah kering kalau sudah membahas tentang bintang regulusku ini. Bayangannya berseragam putih abu-abu, rapi dengan dasi dan gesper, juga nggak ketinggalan alis hitam dan senyum manisnya terus menguasai benakku. Aku kangen padanya.

Kerinduan yang terus bertambah kutumpahkan di samping pusaran makam. Bunga menutupi gundukan tanah. Pedih rasanya melihat batu nisan bertuliskan nama orang yang sangat kusayang. Reonald Thaqif Amsyar.

Pulang dari makam, kami masih ada acara kumpul bersama. Selalu mampir ke Apartemen Reo, hanya sekadar ngobrol atau lebih dari itu. Misalnya karaoke bareng, nonton bareng, atau makan di luar. Untuk saat ini, kami hanya duduk-duduk santai di depan tv plasma berukuran besar dan tipis.

Ruangan ini terang benderang karena langsung bersebelahan dengan kaca-kaca jendela yang memenuhi tembok ruangan, menyajikan pemandangan wilayah Dr. Satrio penuh dengan mobil mikrolet berwarna biru asin dan jajaran pekerja kantoran yang sedang mencari santapan siang hari. Jendela-jendela besar berjajar sepanjang ruang keluarga dan ruang makan—yang hanya dipisahkan dengan gundukan tangga tanpa tembok pemisah. Tirai cantik berwarna krem disangkutkan di sisi ujung jendela.

Sofa-sofa empuk berwarna putih tulang ini tersusun rapi mengelilingi meja kayu—dua sofa ganda, dua sofa single, dan satu sofa tanpa lengan—dengan karpet tebal lembut yang warnanya senada dengan sofa, hanya sedikit lebih tua. Televisi plasma berukuran sedang lengkap dengan home theatre berdiri mantap di hadapan kami.

Dapur dan pantry bersebelahan. Dapurnya berada di dalam ruangan terpisah bilik tanpa pintu, dan pantry di ruang terbuka berdampingan dengan ruang keluarga—memudahkan kami mengambil makanan setiap kali disediakan.

Mamah suka lukisan jadi lumayan banyak lukisan berbingkai yang menempel di tembok. Apartemen ini benar-benar minimalis, furniture matching, dan tertata rapi. Kami semua betah ada di sini.
“Hahaha. Goblok.” Tawa Edgar memecahkan kesunyian di ruang keluarga apartemen Reo.

Dia memang selalu seperti itu, kelebihan energi. Edgar melempar beberapa butir kacang tanah masuk ke mulutnya. Padahal dia sedang duduk setengah tiduran di atas sofa dengan kaki berselonjor nggak sopan di atas meja—perlu diketahui! Ada enam gelas beling berisi cairan orange manis menyegarkan, satu teko cantik dengan setengah penuh orange juice, dan dua mangkuk kudapan, kacang kulit dan popcorn—ngeri banget kakinya menyenggol salah satu benda pecah beling itu. Lalu Edgar tertawa lagi melihat adegan lucu Mr. Bean yang sudah diputar berkali-kali di tivi. Aduh aku ngeri dia tersedak kacang.

Rambut Edgar yang ikal panjang membingkai wajah super imutnya—memberi kesan kekanak-kanakan—ada tahi lalat tipis di bawah bibir. Pokoknya menggemaskan. Saat ini Edgar bekerja di salah satu TV swasta, katanya sih bagian desain grafis.

Gayanya benar-benar santai. Kaos oblong, celana jeans, sesekali kaos berkerah, selalu menggunakan sepatu banyak mode, didominasi sneaker—kecuali sepatu formal—sering juga pakai kemeja bassball lengan pendek + manset, dan ukurannya nggak pernah pas di badan. Maksudku, pakaiannya selalu lebih besar satu size dari semestinya, no slimfit. Yah aku sih mengerti, dia kan petakilan banget. Bisa-bisa baju slimfitnya sobek.

“Lucu emang, Gar?” tanya Prasto seraya menggeleng lalu dia melempar kulit kacang ke rambut Egdar yang mirip mie.

Sementara Prasto bekerja menjadi seorang akuntan—di sebuah perusahaan swasta ternama—selalu sibuk. Pergi pagi, pulang sore. Tapi setahuku, dia menyukai pekerjaannya. Karena begitulah Prasto, tipe cowok serius, berkacamata bulat—tapi tetap trendy—rambutnya disisir rapi ala tahun 40an, cocok banget dengan wajah gantengnya yang langka. Hari-hari santainya juga dominan mengenakan kemeja meski bawahannya jeans. Cowok ini mengingatkanku pada Reo. Dia pendiam, tenang, dan pembawaannya dewasa.

“Lucu, To.” Amru ikut tertawa. “Dia manusia paling kocak sedunia! Lo bayangin ya, masa kepala segede gitu bisa masuk ke pantat ayam? Pea!” Amru masih tergelak.

“Itu kalkun bego.” Edgar nyamber.

“Ya gitu deh, tetep aje absurb,” jawab Amru. tawa mereka membahana di ruangan ini.

Yang satu ini Amru, dia nggak sesantai Edgar dan kadar seriusnya nggak setebal Prasto. Amru perpaduan. Dia selalu netral menilai apa pun, nggak pernah memihak. Bijaksana.

Rambutnya hampir mendekati botak. Wajahnya tegas. Hidungnya mancung. Bibirnya penuh. Dia paling betah memelihara rambut tipis membentuk garis yang mengelilingi bibir atas sampai dagu. Kalau tertawa, serasa menyicipi gula. Manis.

Belakangan ini, Amru sering bertemu dengan Ayah dan mamasku. Perusahaan kontruksi ayahku bekerja sama dengan perusahaan advertising ayah Amru. Pekerjaan yang cocok untuk Amru, karena dia kreatif dan inovatif, selalu bisa menemukan ide-ide brilian yang unik.

Ramai, kan? Iya memang ramai, aku dikelilingi lima orang sahabat, ditambah satu adik Reo yang sangat kusayangi—Reynaldi Syafiq Amsyarberusia 17 tahun, wajahnya sebelas-dua belas dengan Reo, meski personality-nya bersebrangan. Rey lebih santai. Kalau Reo suka fisika, Rey excited dengan komputer. Pernah sekali aku lihat dia sedang mengotak-atik perangkat keras komputer, karena memang dia anak STM.

Semua orang-orang ini selalu mengelilingiku, suasana jarang sepi. Tapi tetap saja, rasanya ada yang kurang. Rasanya hampa, karena sebagian hatiku meledak dan hancur bersama kematian Reo.

Re, kangen! Bisikku lirih. Aku selalu rindu pada Reo. Sudah lama banget nggak melihat senyumnya.

“Nad,” panggil Coca. Aku meliriknya, dia duduk di sampingku seraya mengikir kuku tangannya yang lentik menggunakan alat kecantikan khusus kuku.

Kenapa dipanggil Coca, padahal nama aslinya Firas? Karena dia seperti cewek. Gerakannya gemulai, suaranya manja, pakaiannya super girly—celana jeans ketat, kemeja cowok tapi warnanya selalu cerah ngejreng dan bulu matanya lentik—gaya rambutnya juga paling punya ciri khas, berwarna merah menyala dan dia seorang desainer pemula yang cukup terkenal. Well, kemampuannya memang diperhitungkan selepas lulus dari universitas keren di Perancis.

“Gue denger, lo lagi deket sama cowok, ya?” tanyanya.

“Denger dari siapa? Nggak kok!”

“Adele bilang cowok itu bikin lo menyala-nyala. Girl on fire, gitu.”

“Ah ngaco! Nggak, Ca, gue baru kenal juga sama dia. Lagian dia juga nggak hubungin gue,” jawabku. Memang, sejak terakhir bertemu, dia belum menghubungiku—seminggu yang lalu.

“Siapa, Nad?” tanya Edgar yang tiba-tiba sudah duduk di sampingku, mata bulatnya menatapku lurus-lurus. “Kenalin ke gue! Kalau nggak tuh cowok nanti gue santet pake boneka perca.”

Tawa Coca pecah. Aku pun ikut tersenyum lebar.

“Lo mau nyantet, apa main boneka?” tanya Coca, masih tertawa. “Kerenan dikit dong, pake jenglot kek!”

“Gue mau main sama lo aja, Ca, lo mau juga kan?” Edgar menjawab asal, sengaja menggoda Coca.

Coca mendengus jijik. Meski agak kecewek-cewekan, dia normal. Masih suka cewek. Sementara aku dan Edgar terkekeh melihat ekspresi Coca. Kemudian Coca berpindah duduk ke samping Prasto.

“Cowok siapa, Nad? Cerita dong!” Edgar merayuku, dia sudah duduk bersandar pada sandaran sofa, kepalanya sengaja didekatkan dengan lenganku.

“Nggak ada cowok-cowokan,” kataku sambil mendorong kepala Edgar menjauhi lenganku. Dengan mudah kepalanya tegak, tapi lama-lama turun lagi menempel pada lenganku. Kudorong lagi, eh menempel lagi. Berulang seperti itu, sampai tiga kali. Aku tertawa sambil berkata, “Ih, kepala lo nggak bisa ditegakin, ya?”

“Nggak! Sampe lo cerita!” jawabnya.
Aku menyerah dan membiarkannya bersandar padaku. “Nggak ada cowok selain Reo, Gar.”

“Jangan bohong, gue bisa baca pikiran lo, Nad!” seru Edgar, kurespon dengan menjauhi kepalanya lagi, tapi dia masih aja berhasil menyandarkan kepala sebelum aku sempat bangun. Aku tertawa lagi, sahabat Reo yang satu ini memang seperti anak-anak. Usil.

“Ih, Edgar! Berat tahu!” aku memekik gemas.

“Lo nggak sadar apa, ada kemiripan lain antara gue sama Edward Cullen, selain wajah gue yang tampan?” canda Edgar. Aku memberengut, pasti narsisnya keluar deh! “Gue bisa baca pikiran lo!” sambungnya.

“Ngomong sana sama beo. Gue nggak mau denger!” kataku berpura-pura menutup telinga.

“Ye, dibilangin!”

“Bodo!”

“Nih ya, gue coba tebak,” ujar Edgar lalu dia duduk tegap, menyingkirkan kedua tanganku dari telinga lalu tanganku sudah berada dalam genggamnya. Edgar mendadak serius menatap wajahku.

Karena kami bersahabat sudah cukup lama, aku membalas tatapannya. Di tengah keseriusanku menatap Edgar, ada sesuatu yang berbeda di matanya. Nggak pernah aku melihat kilat matanya yang serius. Kami saling tatap lama. Hening.

“Lo suka kan sama gue?” tanyanya, lalu tertawa terbahak-bahak. Aku langsung manyun. Edgar narsis lagi.

Kemudian Edgar pergi begitu saja menuju dapur, masih dengan tawanya yang membahana.

“Berisik banget ya, Edgar.” Adele muncul dengan membawa sebuah buku romantis klasik, karya Jane Austin, Emma. Dia duduk di sampingku. “Gimana cowok yang nyeritain mitologi rasi bintang cancer? Udah hubungin lo?”

Aku menggeleng, “Belum, mungkin dia nggak tertarik bertemen sama gue.”

“Cie sedih… cie…” ledek Adele, “jangan-jangan lo beneran ngarep dia ngubungin lo, ya?” tanya Adele, sementara aku menggeleng. “Ayo ngaku!”

Aku tersipu malu, “Sedikit.” Aku berbohong. Jujur aja, aku kepengin kenal sosok cowok yang tahu tentang mitologi rasi bintang—selain Reo.

“Asik dong! Lo bakal normal lagi.” Coca yang duduk di samping Prasto di sofa di hadapanku ikut nimbrung. “Kenalin ke kita, ya.”

Aku melihat Amru dan Prasto saling bertukar pandang, lalu mereka berdua tersenyum padaku. “Iya, wajib dikenalin.”

Di tengah-tengah perbincangan yang akrab, ponselku berdering nyaring. Aku malas angkat, nomornya nggak kukenal. Jadi aku mengabaikannya sampai ringtone itu berhenti sendiri.

Tapi si pemilik unknown number itu nggak menyerah dan membuat ponselku berdering sampai tiga kali. Akhirnya aku menepi, menghadap kaca bening yang menampilkan gedung-gedung tinggi Jakarta di siang hari hanya untuk mengangkat telpon yang nggak kuketahui. Aku menyapa dengan nada malas dan judes.

“Halo! Siapa nih?”

“Nadhira? Kenapa baru angkat telponnya?” tanya suara itu, nampaknya suara itu sangat familiar di telingaku.

“Maaf, ini siapa?” Aku balik bertanya sambil mengernyit.

“Kamu cuma mau angkat telpon yang kamu kenal? Oke, aku tutup telpon ya…”

“Eh, jangan!” cegahku. “Maaf, tadi aku lagi ada tamu. Ini siapa?”

“Haykel,” jawabnya selembut beledu.

Jantungku berdekup sedikit lebih cepat, aku senang mendengar suaranya.

“Hallo?” Haykel melanjutkan, karena aku hanya berdiam diri seraya merasakan setitik kebahagiaan yang aku sendiri lupa bagaimana rasanya.

“Iya, Haykel, ini Nadhira.” 

“Hai, Nad,” sapa Haykel, sepertinya dia terdengar gembira. Suaranya menentramkan.

“Apa kabar?”

“Baik. Kamu juga pasti baik, kan?” tanyanya lembut penuh perhatian. Aku hanya berdeham merespon pertanyaannya. Aku merasakan ada yang aneh dengan hatiku. Nggak tahu apa yang terjadi, aku cuma… cuma bahagia bisa bicara lagi dengannya.

“Besok kamu sibuk nggak?” tanyanya, kedengarannya sedikit gugup.

“Nggak terlalu sibuk kok,” jawabku.

“Kalau gitu besok mau temenin aku nyari buku?”

“Di mana?”

“Belum tahu, yang penting kamu besok bisa,” kata Haykel, aku agak ragu untuk menerima ajakannya. “Gimana Nad, bisa?”

“Ng… Oke.”

“Aku jemput, ya.” Haykel menawarkan.

“Eh? Jemput? Nggak usah deh, ketemu langsung di TKP aja, ya.”

Sebenarnya bukan itu alasanku. Kami baru kenal, kalau dia jemput aku, terus aku dibawa kabur gimana? Ketemuan langsung di lokasi tujuan kayaknya pilihan bijak. Well, di sana cukup banyak orang jadi dia nggak akan bisa membawaku kabur. Waspada itu penting.

“Oh, oke. Grand Indonesia, ya.”

 “Ok. See you tomorrow,” ucapku malu-malu dan senang bukan main.

“Dah…” katanya.

“Dadah…” balasku.

Sepertinya kami sama-sama enggan memutuskan sambungan telpon. Setelah beberapa detik, akhirnya aku yang mematikan telponnya. Aku menggigit bibir menahan senyuman.

“Ehem… ada apa nih senyum-senyum? Bahagia banget kayaknya, Kak!” kata Rey yang sudah berdiri di belakangku.

“Rey, kamu Knowing Every Particular Object!! Alias KEPO!” ledekku, lalu langsung berjalan setengah menuju ruang tamu menghampiri sahabatku.

Di ruang tamu kelima sahabatku melemparkan pandangan yang aneh. Maksudku, mereka seperti melihat benda mati yang bergerak sendiri di rumah sakit berhantu.

“Kenapa?” tanyaku merasa ditusuk tatapan yang kelihatannya dalam.

“Nggak apa-apa.” Adele yang menjawab, lalu kedua sahabatku saling bertukar pandang dan tersenyum lega.

Ada apa sih dengan mereka?! Well, biarkan saja yang penting aku senang dan nggak sabar menunggu besok.