Suara
dahsyat ledakan bom. Asap hitam mengepul di udara. Reruntuhan bangunan yang
porak poranda. Dan tubuh berserakan di tanah tanpa ada harganya. Situasi
ini sudah menjadi bagian yang lekat dalam ingatanku. Bagi sebagian orang itu
jelas menyiksa batin, tapi tidak untukku.
Untitled
Pagi
itu, aku meninggalkan Indonesia dengan membawa keyakinan bahwa misiku adalah
membantu mereka yang sedang sekarat. Aku sudah berusaha memberikan penjelasan
kepada kedua orang tuaku. Awalnya mereka menolak keras, namun panggilan hati
tidak bisa dipatahkan begitu saja. Sebagai seorang dokter, aku ingin bermanfaat.
Meski mereka melepasku dengan airmata yang mengucur, aku yakin kedua orang
tuaku memberikan restu.
Setibanya
di negara itu, aku sama sekali tidak mengecap manisnya kehidupan seperti di
Jakarta. Keadaan berbeda seratus delapan puluh derajat. Di sini hanya ada
kekalutan, duka, kepedihan dan kematian. Mirip seperti kota mati yang ditinggal
pergi penduduk.
Puing-puing
bangunan berserakan di sepanjang jalan, debu menganggu pernapasan, terik
matahari terus menghantam wilayah ini. Meski suasana mencekam, aku bisa
merasakan semangat perjuangan yang luar biasa. Masyarakat di sini yakin, jika
mereka tidak bertahan siapa lagi yang akan menjaga peninggalan bersejarah Islam,
Mesjid Al-Aqsa, Gaza, Palestine.
“Dokter
Marsha.” Perawat pria memanggilku, aku menoleh sejenak lalu kembali sibuk
menjahit tangan seorang remaja yang terluka. “seorang balita sekarat. Kepalanya
bocor. Darah terus mengalir. Dia kejang-kejang.”
“Beri
dia bantuan pernapasan, pasang kanula. Bersihkan darahnya, dalam dua menit akan
kutangani.” jawabku tanpa menoleh dan mengerjakan pekerjaanku dengan cepat di
ruang IGD – instalasi gawat darurat. Ruangan ini penuh sesak dengan korban bom,
ada sebagian pasien diletakkan di koridor setelah ditangani. Memang kondisinya
sangat gawat darurat. Tenaga dan peralatan medis masih kurang. Perlengkapan minim.
Beberapa jenazah ditempatkan di lemari ice cream. Andai saja negara-negara
tetangga bersedia membantu. Bahkan Mesir pun menutup pintu perbatasan.
Untitled
Sejak
Israel menyerang, sudah ribuan nyawa melayang. Suasana mencekam membuatku
merasa tidak aman tidur di mana pun, seperti ditikam rasa takut, dikurung
kesedihan, dan ingin segera pulang ke rumahku yang nyaman lalu tidur dengan
nyenyak sambil mendengarkan instrumen Kenny G. Tapi melihat senyum dan canda si
imut Karim, aku ingin bersamanya lebih lama.
Usiaku
hampir menginjak kepala tiga – berstatus single
– memutuskan untuk mengadopsi Karim – bocah berusia 7 bulan – dan membawanya ke
Indonesia. Selain imut dan tawa renyahnya membuat lapar – lapar ingin menciumi
pipi tembam sembari memeluknya dengan erat – Karim adalah seorang anak yang
diberikan mukjizat oleh Tuhan.
Debu
reruntuhan bangunan mengepul, jarak pandang dekat. Ketika itu aku berdiri
bersama para relawan kesehatan lainnya sembari memandangi pria-pria yang sedang
berusaha mencari jasad di dalam reruntuhan rumah tidak jauh dari rumah sakit
tempatku bertugas. Sehari pasca bom, mereka terus mencari jasad.
"Aku
rasa di sini posisi kamar dari rumah yang runtuh ini!” seru seorang pria
berjenggot dan berkumis tipis, tubuhnya tidak besar tapi jelas kuat karena otot
menyembul di lengan bisepnya.
Menit
demi menit berlalu, beberapa bongkahan batu bata putih besar berhasil diangkat
dan dilempar ke luar daerah galian. Beberapa pria dewasa semangat menggali dengan
tangan kosong, sebab ia khawatir sekopnya akan mengenai seseorang – meski
mustahil – yang masih hidup.
“Allahu Akbar!” teriak mereka
bersemangat, takbir berkumandang dengan nyaring, memecahkan suasana mencekam
menjadi haru. Para pria itu mengucapkan ucapan syukur dalam bahasa ibu.
Jantungku rasanya nyeri, apa gerangan yang mereka temukan di dalam reruntuhan
itu?
Aku
dan kawanku saling bertatapan, lalu kami melangkah mendekat, menjulurkan kepala
ke celah berbentuk persegi panjang di bawah sana. Aku tidak melihat apapun
selain butiran halus reruntuhan bangunan. Namun, mereka terus menggali dan tak
henti-hentinya bertakbir. Lalu sesuatu yang indah muncul membuat tubuhku
merinding sekaligus terharu.
Aku
terkesiap, sebelah lengan mungil timbul di antara reruntuhan debu halus. Itu pasti
tangan seorang bayi. Hanya sebelah tangan yang berlengan panjang warna orange
ceria tanpa tubuh. Hatiku teriris, pelupuk mata dipenuhi air. Kesadaran membuat
tubuhku bergetar, ada seorang bayi kecil di bawah runtuhan batu yang berat dan
serpihan material batu yang hancur. Pasti ia sulit bernapas! Pasti tubuhnya
luka-luka! Pasti dia sudah mati! Oh, kasihan sekali bayi itu.
“Ya
ampun! Aku tidak tega melihat ini.” Temanku histeris sambil membuang wajah
menatap ke arah lain. “Tega sekali mereka. Apa salah bayi itu?” tanya kawanku,
seorang wanita asal Mesir yang juga menjadi relawan sementara aku mengatupkan
mulut rapat-rapat, tidak bisa berkata apapun.
Pria-pria
itu terus mengucapkan kalimat puji-pujian tanpa lelah menggali reruntuhan
dengan tangan. Kemudian, kepala mungil si bayi terlihat, rambutnya penuh dengan
butiran halus reruntuhan. Tangan seorang pria memegangi tengkorak kepala si
bayi dengan lembut, lalu ia menarik perlahan agar bayi itu terbebas dari
reruntuhan halus.
Ya Tuhan bayi yang lucu! pekikku
dalam hati, pedih.
Mereka
terus menggali seakan menemukan harapan. Hatiku semakin ngilu melihat bayi gendut
itu terduduk dengan kaki yang masih tertimbun reruntuhan. Rambutnya keriting,
wajah bulat sehat, pipi tembamnya memerah. Ya Tuhan, dia benar-benar lucu.
Namun, matanya terpejam rapat. Dia sudah mati.
Saat
seorang pria menggerakkan tubuh si bayi ke lain sisi, tiba-tiba matanya
terbuka, bibirnya membentuk bulan sabit terbalik, dan pandangan matanya
berkeliaran persis seperti bayi yang baru saja terbangun dari tidur nyenyaknya,
lalu tangan mungil yang gempal itu bergerak menuju matanya sendiri. Dia
mengucak-ucak matanya dengan bibir yang masih memberengut. Menggemaskan sekali,
airmataku menetes deras. Bayi laki-laki itu masih hidup, dia masih bisa
bernapas di bawah reruntuhan bangunan. Ya Tuhan, ini keajaiban.
Seorang
pria menciumi kepala dan wajah bayi itu ketika pria lain masih berusaha
membebaskan pinggang – sampai ke bawah – dari reruntuhan, lalu ia mengusap-usap
perut si bayi.
Kedua
tangan gempal si bayi mengucak-ucak matanya, ia tidak menangis, tapi wajahnya
hampir mewek, polos sekali. Ia terus begitu di tengah-tengah para pria berisik.
Seakan tidak menyadari maut hampir membawanya pergi.
Aku
ingin turun ke sana, menggendongnya lalu kupeluk ia dengan erat, kuciumi pipi
merahnya yang tembam, kugenggam tangannya yang bulat, dan kuelus kepalanya
penuh kasih sayang. Dia hebat, dia bisa bertahan. Semua orang menangis sedih,
terharu sekaligus bahagia, termasuk aku yang terisak melihat sosok bayi gembul
itu.
♥♥♥♥♥♥
“Dokter
Marsha, apakah Anda akan pergi ke perbatasan Mesir sekarang?” tanya seorang
pria yang kukenal bernama Hamid, ia berusia kira-kira 35 tahun. Petugas apotek
di rumah sakit tempatku bertugas.
“Ohya,
aku pasti ke sana, tunggu aku di depan, ya,” jawabku halus, lalu aku memandangi
wajah anak angkatku Karim yang berada dalam dekapanku.
Sejak
pertemuan antara aku dan Karim, aku tidak bisa melepaskannya dari pikiranku.
Setiap sebelum dan bangun tidur aku selalu mengecup pipi tembamnya, mengelus
rambut ikalnya dan memeluknya penuh kasih sayang. Aku berjanji akan membuatnya
bahagia semampuku! Menjadikannya anak yang sukses kelak.
Setelah
berjuang, akhirnya aku mendapatkan hak asuh yang sah – meski yah kau tahu
sendiri, aku belum menemukan calon ayahnya. Karim adalah yatim piatu,
keluarganya meninggal di hari ketika rumahnya runtuh rata dengan tanah. Lebih
baik kubawa ia ke Indonesia, setelah keadaan Karim cukup kuat untuk terbang
melintasi udara.
“Uu…
Umi,” celoteh Karim, bibirnya bergerak imut. Tangannya menggapai-gapai wajahku
dengan gesit. Matanya yang bulat berbingkai kelopak berbulu lentik. Ia bagai
malaikat tampan yang Tuhan kirimkan untukku.
“Habibi, sa azdhab syuwayya asytarii labanan lak, kun hadii an ya habibi,” kataku sambil tersenyum menatapnya. Karim membalas kalimatku
dengan sepatah kata dan suara cemprengnya. Ia menatapku seakan ia mengerti apa
yang kukatakan. Sorot matanya yang berkerlipan indah, mata tanpa dosa. “Uhibbak katsiiron.”[1]
[1] Sayang, ibu mau beli susu dulu ya buat kamu. Kamu jangan nakal. Umi sayang sama Karim.
♥♥♥♥♥♥
Perdana
Menteri Israel dan Hamas sepakat melakukan gencatan senjata selama 5 jam.
Serius, hanya 5 jam. Ya, awalnya aku mengeluh. Yang benar saja hanya 5 jam,
sewaktu di Jakarta 5 jam kuhabiskan dengan tidur-tiduran di kamar tanpa arti
selepas kerja. Tapi sekarang, setiap detik berharga.
Hari
ini pasienku tidak sebanyak biasanya. Kerjaku lebih santai. Biasanya aku tidak
henti memeriksa detak jantung korban ledakan bom, melihat wajah baby yang penuh dengan luka bekas
serpihan ledakan, bahkan aku pernah sekali menyaksikan seorang bayi dipeluk
penuh kasih sayang oleh ibunya. Bayi itu meninggal dengan debu kelabu menutupi sekujur
tubuhnya. Awalnya aku sering ke kamar mandi untuk menenangkan diri melihat
banyak mayat berdarah di sekelilingku. Sekarang aku sudah terbiasa.
Pintu
perbatasan Gaza dan Mesir dibuka selama gencatan senjata, waktu yang singkat
itu kugunakan untuk membeli perlengkapan dan obat-obatan yang stoknya menipis,
lalu keperluanku sendiri, juga keperluan Karim. Karimku tersayang butuh banyak
pampers, pakaian hangat, dan susu tentu saja.
Mobil
melaju di tengah Kota. Suasana nampak normal. Banyak orang berjalan di pinggir
jalan raya seraya membawa kantong plastik berisi keperluan sehari-hari. Meski nampak
normal, air wajah mereka jelas menderita dan ketakutan. Aku berdoa agar keadaan
ini benar-benar berakhir.
Setelah
semua keperluan sudah kami beli, kantong belanjaan dimasukkan ke bagasi mobil. Aku
duduk dengan lelah bersandar pasrah pada kursi penumpang.
Di
perjalanan menuju pengungsian aku mendengar suara ledakan yang menakutkan. Satu
ledakan namun suaranya membelah ketenangan yang imitatif. Jantungku langsung
berdentum tak beraturan. Karim!
“Kau
dengar itu, Hamid?” tanyaku, panik. Posisi dudukku langsung tegak dan tegang. Tanganku
memegang dasbor mobil, mataku membelalak lebar menatap Hamid yang tengah
menyetir.
“Ya,
dokter.” Wajahnya terlihat keras. “Apa yang mereka lakukan? Padahal sedang
gencatan senjata.”
Kekhawatiran
mencekram hati dan pikiranku, Karim berada jauh dari jangkauanku. “Cepat
hubungi seseorang, tanyakan keadaan Karim.”
Aku
memandangi Hamid yang tengah menelpon. Menunggunya menyampaikan informasi
seperti menunggu keputusan hakim, apakah aku bebas hukuman ataukan dihukum
pancung. Tapi ia hanya menggeleng yang justru menambah panjang kekalutanku.
“Tenang,
Dokter. Karim pasti baik-baik saja.” Hamid berusaha menenangkanku, tapi tidak
sepenuhnya berhasil. Aku semakin kalut dan takut. Khawatir.
“Cepat!
Injak gas mobilmu dengan kencang! Aku tidak ingin Karim terluka sesenti pun.”
♥♥♥♥♥♥
Matahari
terik yang mengantarku dari perbatasan Mesir menuju tempat tinggalku tertutup
awan kelabu, cuaca berubah drastis. Mendung membungkus kota Gaza yang entah
kenapa berhasil membuat hatiku perih dan sakit.
Mobil
sedan yang kutumpangi melintas di atas jalan beraspal menuju pengungsian.
Beberapa jam lalu, suasana di sini masih cukup kondusif. Tapi sekarang bising,
ramai, dan amburadul.
Para
orang tua menggendong anak-anak mereka dengan ekspresi wajah ketakutan yang
kental. Ada yang menangis. Ada yang berteriak. Ada yang bicara dalam
kepasrahan. Mereka berjalan setengah berlari menjauhi wilayah ini menuju satu
titik yang kutahu sebagai tempat pengungsian lainnya.
Bahkan
seorang remaja laki-laki kurus dengan susah payah dan terengah membopong adik
perempuannya yang masih kecil. Ada luka di bagian pelipis dan kakinya mengalir
darah merah. Gadis kecil itu menangis, teriak kesakitan. Kakaknya terus berlari
tanpa alas kaki, sedangkan aspal penuh dengan kerikil tajam.
“Injak
gas mobilnya lebih dalam, Hamid!” pekikku, rasa panik membuatku semakin kalut.
Sesampainya
di pengungsian aku keluar dengan segera, berdiri di depan gedung pengungsian. Jantungku
serasa berhenti. Bangunan yang berdiri kokoh itu kini telah hancur.
Tembok-tembok yang tinggi, sekarang pecah berkeping-keping. Hatiku terus
memanggil nama Karim dengan lirih.
“Sembunyi!” suara seorang pria tegas menggema
di telingaku, namun kakiku terlalu lemas untuk bergerak. “Angkatan darat mereka
sedang menuju ke sini.”
“Dokter,
ayo pergi dari sini!” Hamid mencekram lengan sikuku.
Aku
bergeming. Mataku pedih. Hatiku hancur.
“Dokter.
Kau bisa ditangkap. Mereka sedang operasi dan akan menangkapmu.”
“Aku
tidak takut. Itu lebih bagus, karena aku punya kesempatan untuk membunuh
Netanyahu dengan tanganku sendiri!”
“Dokter.”
Hamid berteriak.
“Tidak!
Aku harus menemukan Karim!” jawabku seraya menyentakkan cengkraman tangan
Hamid, lalu aku berlari menuju runtuhan pengungsian.
===================================================================
NB: Gambar-gambar yang kubagi di atas itu real. Terjadinya sih di Syria, boleh lihat di web ini http://www.youtube.com/watch?v=KRgO2GS5rGE