Jumat, 22 Agustus 2014

Untitled

Suara dahsyat ledakan bom. Asap hitam mengepul di udara. Reruntuhan bangunan yang porak poranda. Dan tubuh berserakan di tanah tanpa ada harganya. Situasi ini sudah menjadi bagian yang lekat dalam ingatanku. Bagi sebagian orang itu jelas menyiksa batin, tapi tidak untukku.

Untitled

Pagi itu, aku meninggalkan Indonesia dengan membawa keyakinan bahwa misiku adalah membantu mereka yang sedang sekarat. Aku sudah berusaha memberikan penjelasan kepada kedua orang tuaku. Awalnya mereka menolak keras, namun panggilan hati tidak bisa dipatahkan begitu saja. Sebagai seorang dokter, aku ingin bermanfaat. Meski mereka melepasku dengan airmata yang mengucur, aku yakin kedua orang tuaku memberikan restu.

Setibanya di negara itu, aku sama sekali tidak mengecap manisnya kehidupan seperti di Jakarta. Keadaan berbeda seratus delapan puluh derajat. Di sini hanya ada kekalutan, duka, kepedihan dan kematian. Mirip seperti kota mati yang ditinggal pergi penduduk.

Puing-puing bangunan berserakan di sepanjang jalan, debu menganggu pernapasan, terik matahari terus menghantam wilayah ini. Meski suasana mencekam, aku bisa merasakan semangat perjuangan yang luar biasa. Masyarakat di sini yakin, jika mereka tidak bertahan siapa lagi yang akan menjaga peninggalan bersejarah Islam, Mesjid Al-Aqsa, Gaza, Palestine.

“Dokter Marsha.” Perawat pria memanggilku, aku menoleh sejenak lalu kembali sibuk menjahit tangan seorang remaja yang terluka. “seorang balita sekarat. Kepalanya bocor. Darah terus mengalir. Dia kejang-kejang.”

“Beri dia bantuan pernapasan, pasang kanula. Bersihkan darahnya, dalam dua menit akan kutangani.” jawabku tanpa menoleh dan mengerjakan pekerjaanku dengan cepat di ruang IGD – instalasi gawat darurat. Ruangan ini penuh sesak dengan korban bom, ada sebagian pasien diletakkan di koridor setelah ditangani. Memang kondisinya sangat gawat darurat. Tenaga dan peralatan medis masih kurang. Perlengkapan minim. Beberapa jenazah ditempatkan di lemari ice cream. Andai saja negara-negara tetangga bersedia membantu. Bahkan Mesir pun menutup pintu perbatasan.

Untitled

Sejak Israel menyerang, sudah ribuan nyawa melayang. Suasana mencekam membuatku merasa tidak aman tidur di mana pun, seperti ditikam rasa takut, dikurung kesedihan, dan ingin segera pulang ke rumahku yang nyaman lalu tidur dengan nyenyak sambil mendengarkan instrumen Kenny G. Tapi melihat senyum dan canda si imut Karim, aku ingin bersamanya lebih lama.

Usiaku hampir menginjak kepala tiga – berstatus single – memutuskan untuk mengadopsi Karim – bocah berusia 7 bulan – dan membawanya ke Indonesia. Selain imut dan tawa renyahnya membuat lapar – lapar ingin menciumi pipi tembam sembari memeluknya dengan erat – Karim adalah seorang anak yang diberikan mukjizat oleh Tuhan.


Debu reruntuhan bangunan mengepul, jarak pandang dekat. Ketika itu aku berdiri bersama para relawan kesehatan lainnya sembari memandangi pria-pria yang sedang berusaha mencari jasad di dalam reruntuhan rumah tidak jauh dari rumah sakit tempatku bertugas. Sehari pasca bom, mereka terus mencari jasad.


"Aku rasa di sini posisi kamar dari rumah yang runtuh ini!” seru seorang pria berjenggot dan berkumis tipis, tubuhnya tidak besar tapi jelas kuat karena otot menyembul di lengan bisepnya.

Menit demi menit berlalu, beberapa bongkahan batu bata putih besar berhasil diangkat dan dilempar ke luar daerah galian. Beberapa pria dewasa semangat menggali dengan tangan kosong, sebab ia khawatir sekopnya akan mengenai seseorang – meski mustahil – yang masih hidup.

Allahu Akbar!” teriak mereka bersemangat, takbir berkumandang dengan nyaring, memecahkan suasana mencekam menjadi haru. Para pria itu mengucapkan ucapan syukur dalam bahasa ibu. Jantungku rasanya nyeri, apa gerangan yang mereka temukan di dalam reruntuhan itu?

Aku dan kawanku saling bertatapan, lalu kami melangkah mendekat, menjulurkan kepala ke celah berbentuk persegi panjang di bawah sana. Aku tidak melihat apapun selain butiran halus reruntuhan bangunan. Namun, mereka terus menggali dan tak henti-hentinya bertakbir. Lalu sesuatu yang indah muncul membuat tubuhku merinding sekaligus terharu.

Aku terkesiap, sebelah lengan mungil timbul di antara reruntuhan debu halus. Itu pasti tangan seorang bayi. Hanya sebelah tangan yang berlengan panjang warna orange ceria tanpa tubuh. Hatiku teriris, pelupuk mata dipenuhi air. Kesadaran membuat tubuhku bergetar, ada seorang bayi kecil di bawah runtuhan batu yang berat dan serpihan material batu yang hancur. Pasti ia sulit bernapas! Pasti tubuhnya luka-luka! Pasti dia sudah mati! Oh, kasihan sekali bayi itu.

“Ya ampun! Aku tidak tega melihat ini.” Temanku histeris sambil membuang wajah menatap ke arah lain. “Tega sekali mereka. Apa salah bayi itu?” tanya kawanku, seorang wanita asal Mesir yang juga menjadi relawan sementara aku mengatupkan mulut rapat-rapat, tidak bisa berkata apapun.

Pria-pria itu terus mengucapkan kalimat puji-pujian tanpa lelah menggali reruntuhan dengan tangan. Kemudian, kepala mungil si bayi terlihat, rambutnya penuh dengan butiran halus reruntuhan. Tangan seorang pria memegangi tengkorak kepala si bayi dengan lembut, lalu ia menarik perlahan agar bayi itu terbebas dari reruntuhan halus.

              
           
Ya Tuhan bayi yang lucu! pekikku dalam hati, pedih.


Mereka terus menggali seakan menemukan harapan. Hatiku semakin ngilu melihat bayi gendut itu terduduk dengan kaki yang masih tertimbun reruntuhan. Rambutnya keriting, wajah bulat sehat, pipi tembamnya memerah. Ya Tuhan, dia benar-benar lucu. Namun, matanya terpejam rapat. Dia sudah mati.



Saat seorang pria menggerakkan tubuh si bayi ke lain sisi, tiba-tiba matanya terbuka, bibirnya membentuk bulan sabit terbalik, dan pandangan matanya berkeliaran persis seperti bayi yang baru saja terbangun dari tidur nyenyaknya, lalu tangan mungil yang gempal itu bergerak menuju matanya sendiri. Dia mengucak-ucak matanya dengan bibir yang masih memberengut. Menggemaskan sekali, airmataku menetes deras. Bayi laki-laki itu masih hidup, dia masih bisa bernapas di bawah reruntuhan bangunan. Ya Tuhan, ini keajaiban.


Seorang pria menciumi kepala dan wajah bayi itu ketika pria lain masih berusaha membebaskan pinggang – sampai ke bawah – dari reruntuhan, lalu ia mengusap-usap perut si bayi.
Kedua tangan gempal si bayi mengucak-ucak matanya, ia tidak menangis, tapi wajahnya hampir mewek, polos sekali. Ia terus begitu di tengah-tengah para pria berisik. Seakan tidak menyadari maut hampir membawanya pergi.

Aku ingin turun ke sana, menggendongnya lalu kupeluk ia dengan erat, kuciumi pipi merahnya yang tembam, kugenggam tangannya yang bulat, dan kuelus kepalanya penuh kasih sayang. Dia hebat, dia bisa bertahan. Semua orang menangis sedih, terharu sekaligus bahagia, termasuk aku yang terisak melihat sosok bayi gembul itu.



♥♥♥♥♥♥
“Dokter Marsha, apakah Anda akan pergi ke perbatasan Mesir sekarang?” tanya seorang pria yang kukenal bernama Hamid, ia berusia kira-kira 35 tahun. Petugas apotek di rumah sakit tempatku bertugas.

“Ohya, aku pasti ke sana, tunggu aku di depan, ya,” jawabku halus, lalu aku memandangi wajah anak angkatku Karim yang berada dalam dekapanku.

Sejak pertemuan antara aku dan Karim, aku tidak bisa melepaskannya dari pikiranku. Setiap sebelum dan bangun tidur aku selalu mengecup pipi tembamnya, mengelus rambut ikalnya dan memeluknya penuh kasih sayang. Aku berjanji akan membuatnya bahagia semampuku! Menjadikannya anak yang sukses kelak.

Setelah berjuang, akhirnya aku mendapatkan hak asuh yang sah – meski yah kau tahu sendiri, aku belum menemukan calon ayahnya. Karim adalah yatim piatu, keluarganya meninggal di hari ketika rumahnya runtuh rata dengan tanah. Lebih baik kubawa ia ke Indonesia, setelah keadaan Karim cukup kuat untuk terbang melintasi udara.

“Uu… Umi,” celoteh Karim, bibirnya bergerak imut. Tangannya menggapai-gapai wajahku dengan gesit. Matanya yang bulat berbingkai kelopak berbulu lentik. Ia bagai malaikat tampan yang Tuhan kirimkan untukku.

Habibi, sa azdhab syuwayya asytarii labanan lak, kun hadii an ya habibi,” kataku sambil tersenyum menatapnya. Karim membalas kalimatku dengan sepatah kata dan suara cemprengnya. Ia menatapku seakan ia mengerti apa yang kukatakan. Sorot matanya yang berkerlipan indah, mata tanpa dosa. “Uhibbak katsiiron.[1]

[1] Sayang, ibu mau beli susu dulu ya buat kamu. Kamu jangan nakal. Umi sayang sama Karim.

♥♥♥♥♥♥

Perdana Menteri Israel dan Hamas sepakat melakukan gencatan senjata selama 5 jam. Serius, hanya 5 jam. Ya, awalnya aku mengeluh. Yang benar saja hanya 5 jam, sewaktu di Jakarta 5 jam kuhabiskan dengan tidur-tiduran di kamar tanpa arti selepas kerja. Tapi sekarang, setiap detik berharga.

Hari ini pasienku tidak sebanyak biasanya. Kerjaku lebih santai. Biasanya aku tidak henti memeriksa detak jantung korban ledakan bom, melihat wajah baby yang penuh dengan luka bekas serpihan ledakan, bahkan aku pernah sekali menyaksikan seorang bayi dipeluk penuh kasih sayang oleh ibunya. Bayi itu meninggal dengan debu kelabu menutupi sekujur tubuhnya. Awalnya aku sering ke kamar mandi untuk menenangkan diri melihat banyak mayat berdarah di sekelilingku. Sekarang aku sudah terbiasa.

Pintu perbatasan Gaza dan Mesir dibuka selama gencatan senjata, waktu yang singkat itu kugunakan untuk membeli perlengkapan dan obat-obatan yang stoknya menipis, lalu keperluanku sendiri, juga keperluan Karim. Karimku tersayang butuh banyak pampers, pakaian hangat, dan susu tentu saja.

Mobil melaju di tengah Kota. Suasana nampak normal. Banyak orang berjalan di pinggir jalan raya seraya membawa kantong plastik berisi keperluan sehari-hari. Meski nampak normal, air wajah mereka jelas menderita dan ketakutan. Aku berdoa agar keadaan ini benar-benar berakhir.

Setelah semua keperluan sudah kami beli, kantong belanjaan dimasukkan ke bagasi mobil. Aku duduk dengan lelah bersandar pasrah pada kursi penumpang.

Di perjalanan menuju pengungsian aku mendengar suara ledakan yang menakutkan. Satu ledakan namun suaranya membelah ketenangan yang imitatif. Jantungku langsung berdentum tak beraturan. Karim!

“Kau dengar itu, Hamid?” tanyaku, panik. Posisi dudukku langsung tegak dan tegang. Tanganku memegang dasbor mobil, mataku membelalak lebar menatap Hamid yang tengah menyetir.

“Ya, dokter.” Wajahnya terlihat keras. “Apa yang mereka lakukan? Padahal sedang gencatan senjata.”

Kekhawatiran mencekram hati dan pikiranku, Karim berada jauh dari jangkauanku. “Cepat hubungi seseorang, tanyakan keadaan Karim.”

Aku memandangi Hamid yang tengah menelpon. Menunggunya menyampaikan informasi seperti menunggu keputusan hakim, apakah aku bebas hukuman ataukan dihukum pancung. Tapi ia hanya menggeleng yang justru menambah panjang kekalutanku.

“Tenang, Dokter. Karim pasti baik-baik saja.” Hamid berusaha menenangkanku, tapi tidak sepenuhnya berhasil. Aku semakin kalut dan takut. Khawatir.

“Cepat! Injak gas mobilmu dengan kencang! Aku tidak ingin Karim terluka sesenti pun.”

♥♥♥♥♥♥

Matahari terik yang mengantarku dari perbatasan Mesir menuju tempat tinggalku tertutup awan kelabu, cuaca berubah drastis. Mendung membungkus kota Gaza yang entah kenapa berhasil membuat hatiku perih dan sakit.

Mobil sedan yang kutumpangi melintas di atas jalan beraspal menuju pengungsian. Beberapa jam lalu, suasana di sini masih cukup kondusif. Tapi sekarang bising, ramai, dan amburadul.

Para orang tua menggendong anak-anak mereka dengan ekspresi wajah ketakutan yang kental. Ada yang menangis. Ada yang berteriak. Ada yang bicara dalam kepasrahan. Mereka berjalan setengah berlari menjauhi wilayah ini menuju satu titik yang kutahu sebagai tempat pengungsian lainnya.

Bahkan seorang remaja laki-laki kurus dengan susah payah dan terengah membopong adik perempuannya yang masih kecil. Ada luka di bagian pelipis dan kakinya mengalir darah merah. Gadis kecil itu menangis, teriak kesakitan. Kakaknya terus berlari tanpa alas kaki, sedangkan aspal penuh dengan kerikil tajam.

“Injak gas mobilnya lebih dalam, Hamid!” pekikku, rasa panik membuatku semakin kalut.

Sesampainya di pengungsian aku keluar dengan segera, berdiri di depan gedung pengungsian. Jantungku serasa berhenti. Bangunan yang berdiri kokoh itu kini telah hancur. Tembok-tembok yang tinggi, sekarang pecah berkeping-keping. Hatiku terus memanggil nama Karim dengan lirih.

“Sembunyi!” suara seorang pria tegas menggema di telingaku, namun kakiku terlalu lemas untuk bergerak. “Angkatan darat mereka sedang menuju ke sini.”

“Dokter, ayo pergi dari sini!” Hamid mencekram lengan sikuku.

Aku bergeming. Mataku pedih. Hatiku hancur.

“Dokter. Kau bisa ditangkap. Mereka sedang operasi dan akan menangkapmu.”

“Aku tidak takut. Itu lebih bagus, karena aku punya kesempatan untuk membunuh Netanyahu dengan tanganku sendiri!”

“Dokter.” Hamid berteriak.

“Tidak! Aku harus menemukan Karim!” jawabku seraya menyentakkan cengkraman tangan Hamid, lalu aku berlari menuju runtuhan pengungsian.















===================================================================
NB: Gambar-gambar yang kubagi di atas itu real. Terjadinya sih di Syria, boleh lihat di web ini http://www.youtube.com/watch?v=KRgO2GS5rGE

Sabtu, 09 Agustus 2014

Pemburu Cinta

Perkenalannya indah, tapi nggak kusangka bisa berakhir tragis seperti ini. Terkadang aku berpikir, lebih baik nggak pernah berkenalan dengannya kalau hanya mewariskan luka dan duka.

Latihan Dasar Kepemimpinan Kelas X SMA, Bogor, 2014.
Di tengah lapangan bertanah merah, kami membentuk kelompok outbond. Aku selalu bersemangat dengan kegiatan alam yang satu ini. Memang lelah, tapi ini memuaskan. Banyak ekspresi yang kulihat dari setiap aktifitas outbond. Ekspresi bete, senang, semangat, bahkan ekspresi berkilauan yang mampu membuat mataku terkunci hanya pada sosoknya.

Seakan seluruh perhatianku tertuju padanya. Dia tersenyum lebar, dan sangat menikmati waktu. Padahal, tubuhnya diinjak oleh seorang cowok yang sedang berusaha memasukkan rotan berbentuk lingkaran pada sebuah gala kayu panjang. Dalam posisi berdiri kuda-kuda dan keringat yang bercucuran jantan, aku bisa melihat senyum yang sangat manis. Senyuman yang membuat bibirku ikut mengulum. Saat itu aku sadar, aku telah jatuh cinta padanya.

Sebenarnya ini bukan kali pertama aku melihatnya. Pagi tadi, saat kami berlari menuruni tepi jalan raya Kota Bogor yang sepi, gelap, dan dingin, dalam kondisi mata yang berat dibuka alias masih ngantuk. Semalam kami peserta LDKS dibangunkan pukul 02.00 secara paksa, lalu disuruh berdiri dengan kaki telanjang di tengah halaman villa yang dingin mengigil. Dan sekarang masih harus olahraga. Ya Ampun! Aku mau tempat tidur! Homesick! Sudah dua hari jauh dari kamar.

“Siapa yang mau jadi ketua OSIS?” tanya seorang senior dengan suara tegas dan lantang, sementara aku menatap ke arah suara itu, tapi nggak bisa melihat wajahnya karena matahari belum muncul. “Kalau kalian mau jadi ketua OSIS, ayo loncat ke bawah.”

Di hadapan kami, samar-samar aku bisa melihat sungai berbatu besar dengan air yang cukup deras. Suaranya terdengar sangat damai dan memberikan ketentraman. Tanganku memegang batang besi berwarna kuning yang dingin seraya melongok ke bawah. Gelap.

“Yang bener aja, mendingan gue nggak jadi ketua OSIS daripada harus loncat ke sana.” Kudengar suara seorang cowok yang berdiri nggak jauh dariku. 

Aku meliriknya, dia berdiri tegak dengan postur yang atletis. Tinggiku sejajar dengan dagunya. Masih dalam kondisi gelap, aku nggak bisa melihat wajahnya.

“Iya, Kak. Bener.” Aku merespon sekenanya.

Nah! Itulah suara yang kudengar sama persis seperti suara cowok yang sedang bersemangat outbond. Dia kelas XI IPS. Aku nggak tahu namanya, tapi wajahnya terekam jelas di benakku. Hidungnya terutama. Tulangnya tinggi dan lurus seperti perosotan anak-anak TK.

Saat penutupan, ketua OSIS mengumumkan peserta LDKS terbaik dari kelas X dan XI. Aku menjadi terbaik pertama, dan dia – yang kusukai senyumannya saat outbond – juga terbaik pertama. Ternyata, namanya Kak Revan.

Dengan polosnya, kukirimi dia secarik kertas bertuliskan ‘selamat ya, Kak. Semoga menjadi ketua OSIS.’ Well, dia membalasnya. Dan sejak itu, dia mengenalku. Setidaknya dia tahu, kalau aku ini ada.

Pemburu Cinta

Aku malu, ternyata dia bukan perwakilan ekskul yang menjadi cikal bakal pengurus OSIS. Tapi, dia perwakilan kelas dan terpilih menjadi Ketua Majelis Perwakilan Kelas. Jabatan ini bisa membuat seseorang famous di kalangan siswa dan guru.

Bagiku, dia sosok yang berkharisma. Punya senyum menawan, kemampuan berinteraksi yang baik dan agak senang becanda. Dari mana aku tahu? Ehem, sebenarnya aku mengamatinya. Diam-diam meliriknya – dari kelasku di lantai 2 – yang sedang berdiri di balik balkon lantai 3, tepat di depan kelasnya.

“Lo mau gue bantuin supaya deket sama dia?” suatu ketika temanku – Ifha – menawarkan hal yang nggak pernah kusangka. Aku menatapinya bingung. “Tapi, lo harus bantuin gue deket sama Kak Daniel.”

Itu pertanyaan yang absurb menurutku. Aku nggak berani mendekati cowok, masa dia meminta bantuanku. But, ok, aku mengiyakan meskipun nggak tahu harus mulai dari mana. Asal bisa dekat dengannya!

Ifha lebih cekatan, dia memulainya lebih dulu. Setiap istirahat dia berdiri di balik balkon lantai 3 berdampingan dengan Kak Revan. Aku memandangi kedekatan mereka, sangat dekat, bahkan mereka bersenda gurau, akrab sekali, dan selang beberapa hari aku mendengar mereka jadian. Sialan!!!

Ambil deh tuh, buat lo biar puas. Gue nggak peduli! gumamku sambil masuk ke dalam kelas, dan ikhlas melupakan perasaanku pada Kak Revan.

Pemburu Cinta

Latihan Penyerahan Jabatan, Kelas XI, 2015.
Aku terpilih menjadi Sekretaris Umum OSIS angkatan XXIII. Hari ini, kami latihan penyerahan jabatan di tengah lapangan. Ada Kak Revan dan Ifha. Kudengar mereka sudah selesai alias putus, tapi aku benar-benar nggak peduli karena aku tengah menjalin hubungan dengan Farel, kawan sekelasku di kelas X.

Setelah latihan kami makan bersama, nasi bungkus yang lezat sekali. Karena pedasnya membuat keringat mengucur deras. Kuperhatikan Kak Revan, keringatnya banjir dan mulutnya bergerak kepedasan. Kasihan aku melihatnya, jadi kuhampiri dia lalu kuberikan sebungkus permen fox.

“Nih, buat Kakak. Supaya nggak kepedasan,” ujarku seraya menyerahkan permen itu.

Dia menatapku, takjub dan lekat. Lalu ia tersenyum sambil menerima pemberikanku. “Makasih ya, Dini.”

Pemburu Cinta

Januari, 2016, kelas XI.
Aku putus dari Farel, tanggal 25. Karena dia selingkuh. Huh! Menyedihkan. Memang sih salahku karena aku mengabaikannya. Aku lebih sering ekskul, kegiatan OSIS, dan belajar ketimbang harus bersamanya. Tapi aku kesal, kenapa harus selingkuh? Nggak ada cara lain?

Aku ingin membuatnya kesal dengan meminta bantuan Kak Revan yang kebetulan sedang menjomblo. Kukirimi dia sms – setelah beberapa kali berhubungan cukup intens lewat sms.

Kak, mau bantuin aku nggak? Bantuin aku, Kakak pura-pura jadi pacar aku. Aku kepengin manas-manasin Farel. Supaya dia kesel.

Kak Revan membalas,
Kenapa pura-pura? Beneran aja!

Awalnya aku bingung. Tapi berhubung aku pernah suka padanya akhirnya kami jadian, dan berlangsung hampir 6 tahun. Aku sangat mencintainya, hingga menjadikannya harapan dan impian hidupku. Rasanya hubungan kami indah, sampai kami menemui masalah ini.

Pemburu Cinta

November, 2021, kuliah semester 7.
Segala sesuatu yang berlebihan, itu nggak baik. Benar sekali! Itu yang kualami. Terlalu mencintai Revan. Jadi, ketika dia melakukan pengkhianatan, luka dan duka yang kudapat berlipat-lipat pedihnya.

Revan seorang cowok yang mudah dekat dengan orang lain – termasuk cewek. Selama kami pacaran, dia banyak sekali bertemu dengan teman cewek baru. Aku cukup sabar menghadapinya, hingga pada suatu ketika aku menemukan bukti yang membuat hubungan kami harus berakhir di tengah harapan-harapan indahku.


Pesan gambar yang kutahu dari salah satu cewek yang sudah satu tahun ini kucurigai mempunyai kedekatan dengan kekasihku. Kubuka pesan gambar, menampilkan benda yang nggak jelas bentuknya. Ada dua kalimat di bawahnya, ‘Mas, aku sudah telat. Ini hasil testpack-ku.’

Minggu, 03 Agustus 2014

Junior Highschool


JUNIOR HIGHSCHOOL

Omong-omong soal Jatuh Cinta Diam-Diam, aku pernah mengalaminya. Sampai detik ini aku masih sering melihatnya muncul, meski hanya di recent update facebook. Menyedihkan sekali ya. Tapi itu juga sudah bersyukur banget kok, karena setidaknya masih bisa melihat dan mengetahui keadaannya.

Oke, ini kisah nyata. Akan kubagi padamu dari sudut pandangku saat ini ya – 23 tahun. Karena aku yakin, anak usia 11 tahun belum bisa mengungkapkan dalam kata. Tapi aku berharap kamu nggak bodoh sepertiku karena jatuh cinta diam-diam di Junior Highschool. Enjoy!

Junior Highschool

2007. Tahun itu aku sudah duduk di kelas 12 IPA. Seluruh kelas 12 saat itu protes karena kami nggak terima, kenapa ujian nasional semakin menyusahkan. Bayangkan saja, zaman itu kali pertama ujian nasional mengujikan enam mata pelajaran termasuk Fisika, Biologi dan Kimia – jurusan IPA. Ya ampun, bagaimana kami bisa konsen belajar mata pelajaran sebanyak itu? Dan lagi, hasil ujian mutlak menentukan kelulusan. Ketar-ketir kami dibuat pemerintah saat itu.

Oke, kesimpulannya protes yang kami lakukan di lapangan sekolah di tengah hari bolong itu nggak merubah keputusan, akhirnya kami hanya bisa menerima dengan pasrah dan mulai belajar semampu kami.

Itulah yang kulakukan saat ini, mengunjungi rumah kawanku untuk belajar. Namanya Nurti, ia mengikuti bimbingan belajar di Nurul Fikri, daerah Mampang, nggak jauh dari rumahnya. Dan aku berniat ikut dengannya – nebeng – berkonsultasi tentang soal fisika yang rumit dengan salah satu kakak tutor di sana.

Ketika memasuki gedung dan duduk di dalam bilik kayu – terdiri dari tiga kursi, satu meja dan satu papan tulis – bersama kawanku, aku nggak merasakan apa-apa. Semuanya normal terkendali, sampai datang seorang cowok – sepertinya anak kuliahan – memasuki bilik tempat konsultasi. Melihat wajahnya membuat jantungku berdebar liar, udara tiba-tiba panas, aku kepanasan, tubuhku kaku mendadak dan napasku rasanya nggak teratur. Aku kaget banget, nggak memercayai penglihatanku. Cowok itu adalah kakak kelasku di SMP, ia sosok yang kukagumi dari dulu – 2002 silam.

“Itu siapa namanya, Ti?” tanyaku pada Nurti yang duduk di sampingku, ia nampak cuek dan serius menanyakan soal fisika. Lain denganku yang terganggu konsentrasinya karena kehadiran seseorang yang pernah mampir di hidupku beberapa tahun silam.

“Dia Kak Reza, lulusan SMAN 28, dan sekarang kuliah di UI.” jawab Nurti masih acuh tak acuh.

Wah, aku semakin gembira sekaligus berdebar. Itu benar dia orangnya! Bagaimana bisa aku bertemu dengannya setelah – sebentar kuhitung dulu, terakhir kali aku bertemu dengannya tahun 2003, sekarang 2008, berarti ... – 5 tahun nggak ketemu? Ini kebetulan saja, atau ada maksud di belakangnya? Ya kuharap sih Tuhan punya rencana terselubung, misalnya aku jadi dekat dengannya, hehe…

Tapi aku sedih, karena dia nggak mengenaliku. Kenapa ya dia nggak kenal aku, atau lupa? Salah apa aku sampai ia nggak berani menatapku seperti itu.

“Lo kenal dia, Ka?” tanya Nurti melirikku dengan tatapan bingung karena aku memandanginya tanpa berkedip.

Aku mengangguk, “Iya. Dia kakak kelas gue di SMP. Kakak senior gue di pencak silat.”

Pandanganku nggak lepas dari matanya, ia duduk di kursi di depan kami, tangannya memegang spidol dan mulai menjelaskan soal fisika – yang diberikan guruku di sekolah – tanpa memerdulikan aku yang terus-terusan menatapnya. Ia masih tetap sama, masih sejenius dulu, dan yang pasti masih secuek dulu. Bahkan temanku pernah berkata, “Oh, dia emang kalem banget ya. Mungkin lagi puasa ngomong.” aku nyengir mendengar pendapat kawanku, karena memang ia lebih suka diam. Well, justru itu challenge-nya.

Aku ini seperti sedang melihat sebuah pemandangan yang indah, takjub dengan pertemuan yang nggak disangka. Ini nyata atau nggak sih? Sampai-sampai aku mematung seperti ini? Bukannya menyimak penjelasannya, aku malah memerhatikannya lekat-lekat. Wajahnya nggak berubah, ia semakin dewasa dan jelas semakin sulit dicapai. Tanganku menulis angka-angka tapi pikiranku kembali ke masa lalu ketika aku bertemu dengannya.

Junior Highschool

Lulus SD, pastinya langsung menjadi siswa SMP dong. Ya itulah aku, sudah mulai beranjak dewasa. Meski hari pertama masuk sekolah masih harus mengenakan seragam putih-merah. Masa Orientasi Siswa, tahu kan? Wah serius, ini pengalaman pertama dan aku sungguh menikmatinya, excited. Walaupun rasanya kepengin banget langsung mengenakan putih-biru. Kepengin buru-buru menjadi anak remaja.

Saat itu tahun 2002. Aku masuk ke kelas VII yang diberi nama kelompok teratai. Itulah kali pertama aku bertemu dengannya. Dia senior yang bertanggungjawab membimbing kelompok teratai. Atau namanya apa ya? Kurasa mentor mungkin cocok. Dia mentor kelompok teratai, kelas VII E.

Kesan pertama yang kulihat, cowok ini luar biasa ... misterius. Dia lebih senang diam dan mengamati dari pada bicara. Padahal ia berdua dengan kawannya – cowok juga, namanya Kak Akbar Firdaus, pendiam, berkacamata, dan manis – sebagai mentor kelompok teratai. Aku sudah curi-curi pandang sejak awal pertemuan. Sorot matanya berorientasi ke masa depan, serius dan sepertinya sulit diraih – bahkan sampai sekarang diusiaku yang ke 23.

Cowok itu berdiri tegak di depan kelas. Ia kelihatan istimewa, manis, berwibawa – meskipun saat itu ia masih kelas 9 – dan pastinya ia cerdas. Ia ketua OSIS, namanya Reza. Ini nama asli, aku nggak ragu menyebutkan namanya. Karena memang itulah dia. Si Jenius yang menawan.

Ya ampun aku ingin mengutuk diriku sendiri, bayangkan saja aku ini baru lulus SEKOLAH DASAR tapi sudah berani jatuh cinta pada pandangan pertama dengannya – ampuni aku Tuhan. Tapi aku nggak menyesal karena ia pantas dicintai meskipun hanya seorang cewek jelek sepertiku yang menjatuhkan hati padanya kala itu.

“Ayo, kita bikin yell. Kalian perhatikan ya.” ujarnya di depan kelas seorang diri, tanpa dipinta aku dengan senang hati akan memerhatikannya sambil tersenyum. Aku terang-terangan tersenyum karena aku duduk di kursi pojok baris ketiga, nggak terlalu jelas dari depan kurasa.

“Karena lagu yang lagi terkenal Pupus dari Dewa, jadi itu saja,” lanjutnya, ia berdiri dengan gagah mengenakan seragam putih-biru, celana pendek, bergesper. Ah, masih jelas dibenakku sosok itu sampai sekarang – 2014. Aku nggak bosan memerhatikannya.

“Aku cinta teratai lebih dari yang kau tahu …” katanya meniru melodi lagu Pupus dari Dewa 19 sambil mengangkat tangan kanannya, lalu diputar setengah lingkaran, jari jemarinya bergerak membentuk seperti kelopak bunga teratai. Ia kelihatan kikuk dan kurang percaya diri.

“Ada yang punya ide nggak? Coba kalau ada yang bisa buat yell.” tanyanya kaku, yang lain hanya membisu. Yang benar saja ia bertanya pada anak yang baru lulus SD. Aku  tersenyum melihat ekspresi wajah dan tingkahnya yang kikuk. Ha! Ternyata, cowok seserius dia bisa juga kikuk seperti itu – menggemaskan.

Finally, kita jadi kelompok paling garing saat hari terakhir penampilan perkelompok. Berbanding terbalik dengan kelompok mawar yang membawakan yell heboh dan ramai dengan theme song coca-cola, mereka juga aktif dengan gerakan yang atraktif.

Wajar sih, karena memang mentor mereka itu ‘ramai’ dan kreatif, berbeda dengan mentor kami yang agak kaku tapi memukau. Tetap saja, aku memujinya karena dia adalah my first love – asik. Hei, cuma satu kok first loveku, Kak Reza, kalau Kak Akbar nggak. Masa iya, namanya cinta pertama tapi ada dua, yang benar saja. Aku gadis baik-baik kok. *kedipin mata*

Acara MOS ditutup dengan atraksi dari setiap ekstrakulikuler. Saat itu aku sangat amat terpukau dengan aksi dari kelompok Paskibra, mereka luar biasa keren dan sangat kompak, seragam mereka mirip dengan para pengibar bendera di istana saat upacara kemerdekaan. Ok fix, aku akan ikut kegiatan itu.

Nggak cuma itu, ada basket, futsal, PMR, modern dance, karate dan – jeng jeng jeng, ini benar-benar paling menakjubkan – pencak silat. Ingin tahu nggak kenapa kukatakan menakjubkan? Ehem, jelas dong karena ada sosok misterius yang jenius tampil di tengah lapangan dalam balutan seragam hitam – khas pencak silat.

Kak Reza ikut tampil, meragakan beberapa jurus dalam pencak silat, bahkan melakukan sambung – fighting – dan terakhir berputar-putar indah menggunakan toya – bambu panjang – sebagai senjata. Aaahhh, ini indah sekali. Semakin jatuh ke dalam aku dibuatnya.

Mataku hanya terpaku pada satu sosok, meskipun ada banyak kakak-kakak OSIS cowok yang ganteng – ikut meragakan jurus pencak silat – di sana. Tapi spotlight hanya tertuju pada Ketua OSIS itu. Dan jelas, aku dengan semangat mengajukan diri sebagai anggota pencak silat juga. Apalagi tujuannya kalau bukan untuk melihat dia.

Acara terakhir, para senior memberikan kami tugas untuk mengumpulkan tanda tangan mereka. Really? Buat apa sih mengumpulkan tanda tangan mereka? Kalau sekarang nih, aku disuruh minta tanda tangan artis saja malas. Tapi karena saat itu aku masih SD dan menganggap mereka senior yang hebat, akhirnya aku mengejar mereka hanya untuk mendapatkan tanda tangan – please.

Semua senior hampir bisa kudapat tanda tangannya, kecuali … Ya kalian pasti bisa menebak, kecuali cowok itu. Cowok misterius, yang jenius, yang puasa bicara dan selalu terlihat serius. Aku nggak berhasil mendapatkan tanda tangannya, tapi aku berhasil mendapatkan nomor telpon rumahnya. Mwahaha~, kurang cerdas apa aku? keren kan?!

Junior Highschool

Menyebalkan, sekolahku yang baru SMPN 182 Jakarta ini akan dibangun total, karena gedung sekolah ini sudah sangat lama dan harus diperbaiki. Jadi kami nggak bisa menempati gedung ini.

Kelas VII, VIII dan IX menempati sekolah dasar yang letaknya berjauhan, itu tandanya aku nggak bisa melihatnya. Hiks, sedih sekali. Aku hanya bisa bertemu dengannya saat latihan pencak silat saja. Untung banget kan aku mendaftar ekstrakulikuler itu? Fika, you`re brilliant! Yeah, exactly.

Tapi sayang seribu sayang, dia yang kunanti keberadaannya nggak pernah muncul. Kenapa begini Tuhan? Aku kan sudah berusaha. Ya sudahlah, tak apa karena aku menikmati kegiatan pencak silat.

Pencak silat itu diadakan setiap dua kali seminggu, selepas senja, habis maghrib. Aku belum punya baju pencak silat, jadi aku hanya mengenakan celana training dan kaos hitam. Kukayuh sepeda gunungku yang tinggi menuju sekolah, mungkin waktu yang kutempuh hanya 5 – 10 menit sampai di sekolah SD – tempat kami menumpang.

Sekolah ini penerangannya sangat minim, pohonnya lumayan banyak – meski lapangan kecil – bahkan kesan spooky pun menggerayangi tubuh hingga muncul merinding. Walau pun begitu, peserta baru sangat banyak sekali jumlahnya.

Lapangan sekolah pun ramai, lebih banyak perempuan dibanding laki-laki – padahal beladiri biasanya lebih diminati laki-laki. Aku sih langsung tahu apa alasan mereka, pasti karena sebagian kakak-kakak ganteng yang terkenal saat MOS itu adalah anggota pencak silat. Wah, sainganku banyak juga.

“Oke, sekarang kalian pemanasan dulu ya. Lari sebanyak sepuluh kali putaran.” kata seorang pelatih wanita berbaju hitam-hitam dan bersabuk putih – itu artinya, ia sudah memiliki sabuk yang paling tinggi derajatnya.

Kami mengikuti perintahnya, berlari mengelilingi lapangan tanpa alas kaki. Aku berlari di belakang seorang pria kurus, tinggi dan tampangnya lucu karena ia berambut mirip batok kelapa, ia siswa baru sama denganku. Masih semangat aku berlari, dengan celana training panjang. Tapi itu sangat menganggu, celana panjangku terinjak kakiku sendiri, aku nyaris jatuh berciuman dengan aspal keras. Refleks aku memegangi celana panjang kawanku itu, supaya nggak jatuh.

Kawanku masih terus saja berlari sambil berteriak “Woy, celana gue kedodoran.” teriaknya sambil memegangi celananya. Aku meliriknya lalu tertawa sendiri melihat posisiku yang masih terus berlari dengan posisi hampir jatuh memegangi celana kawanku yang kedodoran bahkan celana sempaknya terlihat.

“Hahaha… lo berhenti makanya, baru gue lepas.” jawabku sambil tertawa, habis kalau ia terus berlari aku pasti langsung jatuh, lalu ia berhenti berlari. Aku melepas genggamanku sambil menatapinya yang sedang memberengut membenarkan posisi celananya. “Eh, sorry sorry. Gue nggak sengaja.”

Aku menyadari, ternyata Kak Reza datang. Ah, bahagia bukan main. Secara sudah lama kan aku nggak melihatnya. Jadilah aku nggak terlalu konsen latihan. Sebagian perhatianku mengarah padanya. Padahal materi hari ini asik banget, mempelajari jurus tendangan sabit dan tendangan A. Setelah beberapa kali mencoba, kami diberi waktu istirahat sejenak.

Aku berdiri di dekat tiang bendera di bawah sinar rembulan. Wah, sinar rembulan yang jauh seperti itu bisa juga menerangi lapangan ini, dan cukup membantu mata manusia untuk melihat. Di tengah keramaian kawan-kawan yang sedang beristirahat tanganku iseng memegang dan membuka sampul ikatan tali tambang bendera. Tiba-tiba bendera itu meluncur jatuh ke tanah, aku bengong.

“Heh!” tegur seseorang galak, aku samar-samar melihat sosok itu. Wajahnya nggak terlalu jelas karena di sini penerangannya minim banget. “Kamu tuh harus hormatin bendera ini!” sambungnya sambil merunduk dan memegang bendera merah putih yang tergeletak di tanah. “Jangan sampai jatuh. Tanpa bendera ini, kita nggak akan merdeka.” ia membersihkan bendera itu dari debu tipis yang menempel, lalu melirikku sebentar dan pergi.

Aku dimarahi, ya ampun aku dimarahi Kak Reza. Tegas sekali ia berkata, sampai aku hanya bisa mematung melihat ekspresinya yang serius. Tapi aku nggak kesal, justru sebaliknya aku senang banget. Ini pertama kalinya ia mengajakku bicara, dan serius deh dia cinta Indonesia. Sampai sekarang aku menghargai itu, dan setuju padanya bendera nggak boleh jatuh.

Selesai istirahat, kami kembali latihan. Sekarang saatnya mempraktekkan lagi jurus tendangan sabit dan tendangan A yang tadi diberikan. Bedanya, tendangan sabit menyamping, seperti bulan sabit. Sedangkan tendangan A lurus ke atas, melewati kepala.

Kami dibagi menjadi dua kubu, satu kubu mempraktekkan tendangan sabit, satunya lagi tendangan A. Yes, aku dan Kak Reza berlainan kubu, jadi besar kemungkinan kami berhadap-hadapan. Dan benar saja, oke fix aku senang sekaligus berdebar.

Aku memulai lebih dulu tendangan sabit, ia memerhatikanku dengan sorot matanya yang tajam, bibirnya yang mengatup seperti paruh elang yang menawan, dan tubuhnya yang berdiri tegak membuatku gugup.

“Nggak begitu caranya,” tegurnya masih berdiri gagah seperti seorang kepala genk, aku yang sedang bergerak langsung mematung dan memandanginya “Miringin dulu badan kamu, baru tendang.”

Lalu tendangan A-ku salah juga, “Tendangan A juga kurang tinggi, konsentrasi dong.”

Aku manyun setelahnya, semoga saja ia nggak benar-benar jelas melihat wajahku dan tahu siapa namaku, tengsin. Masa salah terus di hadapan orang yang menjadi alasan aku ikut kegiatan ini. Tapi nggak masalah, bisa berhadapan dengannya saja rasanya sudah seperti keajaiban.

Junior Highschool

“Kok dia udah jarang dateng latihan ya?” tanyaku di sela-sela rehat latihan pencak silat beberapa hari setelah aku berhadapan langsung dengannya.

“Dia kan udah kelas 3, bentar lagi mau ujian. Kayak nggak tahu aja, dia anak pinter. Pasti lagi belajar,” jawab Sulastri, kawan dekatku di Pencak Silat. Di sekolah kami beda kelas, tapi cukup akrab di sini. Karena dialah kata kunciku. Aku mengangguk membenarkan.

Benar juga, sekarang sudah memasuki semester genap. Beberapa bulan lagi ujian nasional.

“Gimana kalau lo kasih dia hadiah buat kenang-kenangan?” Ita memberikan saran, kami bertiga duduk di pinggir lapangan. Malam ini cukup cerah, dan udaranya agak pengap dan panas. “Bentar lagi kan dia ulang tahun, pura-puranya lo kasih hadiah deh ke dia.”

“Emang kapan dia ulang tahun?” tanyaku.

“Tanggal 5 Oktober 1988.” Sulastri membenarkan, aku nyengir. Sama-sama Oktober dong, asik. Aku juga Oktober, tanggal 11, tahun 1990.

“Serius Ta? Jangan sampai salah.” ujarku pada Ita, ia sekarang duduk di kelas VIII SMP tetapi nggak satu sekolah denganku. Ia bertetangga dengan kawanku Sulastri dan mereka berdua satu tahun lebih awal mengikuti kegiatan ini meskipun belum SMP saat itu.

Dan aku baru ingat, aku dapat nomor telpon rumah Kak Reza dari Sulastri. Beruntung sekali, karena Sulastri memiliki seorang kakak yang sama-sama ikut pencak silat dan sekelas dengan Kak Reza. Ahaaayde… memuluskan jalanku untuk tahu dia lebih dalam.

Dari Sulastri aku tahu, Kak Reza anak sulung, ayahnya seorang Tentara, dan memang disiplin, jadi wajar saja Kak Reza juga sangat berorientasi pada masa depan.

Junior Highschool

Aku penasaran, malam ini selepas maghrib aku berjalan seorang diri menuju wartel – 5 menit berjalan kaki. Kalian tahu nggak apa itu wartel? Wartel itu singkatan dari Warung Telepon. Jaman sekarang, wartel sudah menjadi tempat langka. Akhir tahun 2002 mamahku belum memasang sambungan telpon rumah, ponsel pun masih jarang dan menjadi barang ekonomi sekunder. Memangnya sekarang seperti kacang bertebaran di mana-mana.

Di wartel aku bawa 2 lembar pecahan seribu. Biaya telponnya, semenit 300 perak. Aku menjadi langganan wartel ini beberapa hari belakangan hanya untuk menghubungi kakak OSIS yang satu itu – meski seringnya gagal maning. Di hari pertama, aku hanya memakai beberapa detik saja.

Begini ceritanya, beberapa waktu lalu kali pertama aku telpon butuh usaha yang gigih untuk menekan angka pada pesawat telpon. Tanganku bahkan gemetaran, jantung berdetak cepat tapi pada akhirnya aku tetap berhasil menekan tombol angka. Nada sambung terdengar, rasanya waktu berdetak lambat sekali. Lalu telpon pun diangkat, terdengar suara seorang ibu. Aku yakin banget, beliau ibunya Kak Reza.

“Hallo, bisa bicara dengan Kak Reza?” tanyaku sambil berkeringat. Aku menunggu saat sang ibu memanggil namanya. Cukup lama aku menunggu sambil menatapi kotak besi berbentuk persegi panjang yang tertera angka berwarna merah, angka waktu. Aku melamun, 2 menit, 10 detik.

“Hallo…” tiba-tiba suara yang sudah kukenal akrab, suara cowok yang beberapa bulan ini bertahta di hatiku, suara yang agak berat tapi tegas. Jantungku langsung berdetak lebih cepat lagi, kaget, bahagia, senang, dan puas mendengar suara itu

“Hallo…” katanya lagi, suaranya masih terdengar indah. Aku seperti berada di alam mimpi. Aku pun membisu sambil menatap lurus ke depan. Aku bengong.

“Hallo…” ia berusaha menyapa lagi, tapi yang kulakukan adalah meletakkan gagang telpon itu di tempatnya, alias menutup telpon dengan kecepatan cahaya. Aku nggak tahan, jantungku semakin cepat berdetak dan nggak bisa diajak kompromi. Dan lagi mulutku mengatup rapat.

Sekarang nih, aku berusaha ingin menyampaikan rasaku padanya. Aku sudah berhasil mengumpulkan uang selama beberapa minggu dan akhirnya berhasil kumpul lalu kubelikan sebuah topi berwarna krem, sudah kubungkus rapi dengan bungkus kado yang imut tinggal kuberikan saja padanya.

Tapi sebelumnya aku kepengin mengucapkan selamat ulang tahun dulu padanya. Ya ampun, aku ini genit banget ya. Ah biarkan saja, yang penting rasaku sampai ke dia. Memang setelah kejadian menutup telpon dengan kecepatan cahaya, aku sering menelponnya dan sedikit mengobrol tanpa memberi tahu namaku.

Malam ini akan kutelpon dia lagi, “Hallo, Kak. Maaf ganggu, ini Fika, anak pencak silat.” kataku di balik telpon di dalam bilik wartel. Kupegangi kabel telpon yang melilit-lilit, aku masih saja gugup.

“Ya ada apa?” tanyanya, masih dingin. Atau memang begitu ciri khasnya.

“Selamat ulang tahun, Kak.” ucapku dengan riang gembira.

“Siapa yang ulang tahun?” tanyanya, pelan-pelan hatiku patah.

“Hari ini Kakak ulang tahun kan?” tanyaku memberanikan diri.

“Ulang tahun? Kata siapa?”

“Eh?” aku bingung, “Kakak ulang tahun tanggal 5 Oktober kan?” tanyaku lagi.

“Haha… nggak. Saya nggak ulang tahun.”

Aku malu, aku malu, aku malu dan bingung. “Oh, nggak ya?”

“Iya nggak. Emang siapa yang bilang?” tanyanya, nada suaranya ringan dan diiringi tawa tipis. Seperti orang yang baru saja menonton acara lawak lalu bicara. Hatiku rasanya sakit dan kecewa.

“Yaudah Kak, makasih ya.” aku menutup telepon.

Junior Highschool

Sejak hari itu aku nggak pernah lagi menelponnya, aku sudah menyerah dan menyimpan perasaanku dalam-dalam. Topi? Oh maksud kamu topi yang kubeli dengan mengumpulkan uang susah payah dan sudah kubungkus rapi kemana? Ya topi itu akhirnya dipakai ayahku.

Kak Reza. Kudengar gossip tentangnya, ia nggak mau pacaran. Ia ingin belajar yang rajin dan sukses. Tapi kawanku pernah cerita, ia melihat Kak Reza jalan berdua sepulang sekolah dengan seorang gadis, kelas XI juga. Mendengar kabar itu hatiku hancur berkeping-keping, aku kecewa dan lumayan sedih. Dan sejak itu pula, pelan-pelan aku melupakannya.

Tetap saja, di hari kelulusan kelas IX. Aku sudah menyiapkan selembar kartu ucapan yang kocak. Ucapan kelulusan, sudah kutulisi dengan ucapan selamat dan kuukir namanya dengan indah.  Tapi selembar kartu ucapan yang kocak itu hanya berhasil kutaruh di dalam laci meja belajarku tanpa sekalipun niat untuk memberikan padanya, aku takut salah lagi seperti ucapan selamat ulang tahun. Perasaanku kembali kusimpan rapi.

Ohya, saat ulangan semester akhir semester ganjil lalu aku seruangan dengannya loooh. Ya ampun, nggak konsen banget aku mengerjakan soal ulangan. Setiap saat melirik dia, menatapi dia yang serius sekali membungkuk mengerjakan soal. Ingin deh, aku menegurnya, mengobrol dengannya, tapi rasanya ia terlalu tinggi untuk kugapai. Bagiku, melihatnya saja sudah cukup.

Ah, dia sosok pelajar yang baik. Pakaiannya selalu rapi, potongan rambutnya juga nggak pernah melanggar aturan, caranya menatap orang seakan memberikan kesan kalau ia nggak bisa diremehkan. Bukan sombong, tapi ia lebih memiliki kharisma, itu yang membuatku takut mengajaknya bicara. Meskipun aku ingin.

Setelahnya, aku nggak pernah lagi bertemu dengannya. Ia menjadi lulusan terbaik sekolah, masuk ke SMA Negeri Favorite. Tapi aku terus saja bisa mendengar kabarnya, setahun setelah ia menjadi murid SMA, kudengar ia menjadi ketua MPK (Majelis Perwakilan Kelas) yang memiliki wewenang di atas ketua OSIS. Lalu, ia lulus dan di terima di Universitas Indonesia.

Ya, aku hanya bisa mendengar kabarnya dari sayup-sayup perkataan temanku yang satu sekolah dengannya sampai akhirnya aku mencari namanya di facebook. Cukup sulit karena mungkin aku salah mengeja namanya. Tapi dari akun kakak kelas yang adiknya berteman denganku, akhirnya aku menemukan akunnya. Senyumku merekah saat melihat namanya meski tanpa photo profile.

Saat menemukan facebooknya – 2011, ia sudah lulus kuliah dan bekerja di sebuah perusahaan. Akupun memberanikan diri menegurnya, bahkan meminta nomor ponselnya. Tapi sayang, ia nggak pernah membalas pesanku. Buat apa ia memberikan nomor ponsel tanpa sekalipun merespon. Katanya sih sedang diblokir tapi aku sama sekali nggak paham kenapa bisa begitu. Hasilnya, aku nggak pernah lagi mengiriminya sms. Ada perasaan sedih karena dicuekin, dan juga tengsin. Masa sudah dicuekin gini, masih saja mengiriminya sms. Stop!

Hah! Tapi aku nggak berhenti sampai di situ, aku menegurnya lagi facebook, sempat ada beberapa kali obrolan panjang. Pertanyaan sederhana, kegiatannya apa? kerjanya apa? dan kerja dimana? Walau obrolan sederhana, tapi aku senang bukan main.

Setiap kali membaca kalimat – di inbox facebook – yang keluar dari pemikirannya, hatiku langsung sejuk. Ia pria yang punya pola pikir luar biasa cerdas. Andai aku bisa memiliki pasangan seperti dia, Tuhan.

Dan aku kembali menegurnya beberapa bulan kemudian, menanyakan soal jodoh. Modus atau nggak, yang jelas aku ingin tahu cara berpikirnya. Karena secara fisik, ia masih tetap sama, rapi, cuek, berkharisma dan jenius. Darimana aku tahu? Dari sorot matanya, meski hanya dalam bentuk foto bergambar.

Ia bilang, aku harus memperbaiki diri sendiri dulu, nanti jodohku akan datang sesuai dengan diriku. Kalau aku baik, jodohku baik, begitu juga sebaliknya. Dan aku kayak orang bodoh saat itu, asli aku nggak mengerti. Aku malah bilang “Kok bisa sih, Kak? Gimana bisa dapat jodoh kalau relasinya kurang?” Aku berkata seperti itu seakan nggak percaya kekuasaan Tuhan, menyedihkan.

Dan ya satu lagi, aku baru ingat tanggal 5 Oktober bertepatan dengan hari TNI. Ya ampun, kasihan sekali aku ya. Pantas saja ia tertawa saat aku mengucapkan selamat ulang tahun padanya. Ternyata itu ulang tahun bapaknya – karena ayahnya seorang TNI. Malu  banget aku, ya Tuhan.

                                                                           Junior Highschool

Today, 2014 ...
Tapi belakangan, aku sempat menghubunginya lagi masih lewat facebook, karena ia masing sering update di jejaring sosial itu dan sering kuberi like. Tapi sepertinya ia terlampu sibuk, jadi nggak punya waktu untuk merespon. Lambat laun, aku pun berhenti menghubunginya. Tapi sesekali melihatnya muncul di recent updates.

Kembali menceritakan ini, membuat hatiku campur aduk. Antara senang karena kembali ke masa-masa yang lucu itu, lalu malu karena usahaku diabaikannya. Dan yang terakhir sedih, mendadak jari jemariku kaku menuliskan kisah ini.

Dan kini aku tahu, ia adalah seorang ikhwan yang mungkin menjaga jarak dengan perempuan. Ia seorang cowok yang menjaga pandangannya, ia seorang cowok yang memilih memperbaiki diri demi mendapatkan jodoh yang baik. Ia seorang cowok yakin akan kekuasaan Tuhan. Dari sana aku belajar, aku juga harus bisa memperbaiki diri. Nggak cuma kepengin dapat jodoh yang baik tapi lalai dengan kewajibanku.

Sekarang aku bisa apa soal ini? Nggak bisa apa-apa. Aku sudah berusaha, tapi nggak pernah berhasil menyampaikan perasaanku. Sama seperti theme song di kelompok teratai, SMPN 182 Jakarta, tahun 2002. Pupus – Dewa. Baru kusadari, cintaku bertepuk sebelah tangan.

Nggak apa-apa. meski jatuh cinta diam-diam, tapi Tuhan tahu yang kurasakan. Dan pasti nanti akan datang sosok yang juga akan jatuh cinta padaku, aku percaya kekuasaan Tuhan.

Yang bisa kulakukan saat ini adalah berdoa, untukku dan untuknya. Agar kami bisa sama-sama menemukan kehidupan terbaik dan terindah dengan campur tangan Tuhan. Sayonara My Love Story in Junior Highschool! It would be pretty memories.