Sabtu, 06 September 2014

Untitled 2

Aku berdiri lemah di hadapan sebuah gedung. Gedung putih dengan cat mengelupas itu – adalah tempat yang kutinggali selama beberapa bulan – sudah hancur porak poranda. Besi-besi mencuat ke luar, ke atas, dan ke bawah,  rusak berantakan. Dinding yang bolong memperlihatkan isi ruangan yang sama bobroknya, seperti bangunan yang tidak pernah selesai dibangun.

Teriakan histeris menggema di sekelilingku membuat kakiku lemas. Tanganku gemetaran. Kepalaku berdenyut nyeri. Ingin rasanya aku menjedotkannya ke tembok, kemudian terbangun dalam keadaan yang aman dan gedung yang utuh.

Orang-orang sibuk membawa tandu kosong memasuki sebuah gedung, dan ke luar tergesa-gesa menandu tubuh luka berlumuran darah dan debu. Tempat ini tidak berbentuk. Tempat ini penuh debu serpihan bangunan yang terkena bom. Dan anakku ada di dalam sana.

“Karim,” hatiku lirih memanggil namanya. Meski rasanya berat seperti diikat rantai dan batu besi. Kakiku masih terus melangkah, menginjak batuan besar yang berserakan di tanah berdebu. Puing-puing berserakan menyulitkan langkahku.

“Dokter! Kau harus pergi! Mereka sedang menuju ke sini!”

Kudengar sayup Hamid memanggil-manggil namaku di kejauhan. Aku bergeming dan terus melangkah memasuki gedung seraya mengingat-ingat di mana letak  kamarku dalam keadaan gedung yang hancur seperti ini. Sebab terakhir aku meninggalkan Karim, ia tengah tertidur pulas dengan wajah imut berbingkai rambut keriting yang menggemaskan.

Kakiku berteriak pegal. Hatiku berdenyut ngilu. Rasa takut dan khawatir merebakkan airmata di pipiku. Adrenalin melemahkan gerakanku. Mempercepat detak jantungku. Keringat dingin membasahi baju hijau medis yang kukenakan. Tubuhku bergetar dan hampir limbung. Aku takut kehilangan Karim.

Pikiranku kosong. Aku berdiri di tengah gedung berdinding bolong. Harum kematian mencekamkan suasana. Pupil mataku melebar. Pandanganku menyapu sekeliling. Hanya ada hamparan batu yang pecah karena bom. Tapi ini tidak menyusutkan keinginanku tuntuk menemukan Karim dalam keadaan … hidup! Langkah kakiku masih kokoh meski getarannya semakin keras. Kukepal tanganku sekuatnya hingga buku jariku menusuk telapak tangan.

Dalam keadaan kalut, tiba-tiba pikiranku bermain deras tanpa toleransi menuju memori ketika Karim terkubur di bawah reruntuhan debu dan batu. Dan ketika terbangun dari memori itu, lima langkah di hadapanku, aku menemukan apa yang ingin kutemukan.

Karim.

Anakku tertindih batu besar, sekujur tubuh mungilnya tak bisa kulihat hanya kepalanya yang terjuntai lemah. Di bawah kepalanya ada bongkahan batu besar dan batu kecil di samping kepalanya, menyentuh pelipis kirinya.

Sedetik kemudian aku berlari menghampirinya dalam kesunyian. Tidak ada histeris. Aku masih berharap keajaiban kembali menaungi Karim, My son. Yeah, God you should give him miracle.

“Karim.” Kupanggil namanya sehalus mungkin agar ia tidak ketakutan ketika terbangun nanti. Pelan-pelan kusingkirkan bebatuan itu tanpa sekali pun melepaskan tatapan mataku pada wajah imutnya. Mata Karim terpejam. Bulu matanya yang lentik membuatku merasakan rindu dan ingin segera memeluknya. Namun aku tidak kuat, aku terlalu gemetaran untuk membebaskan Karim dari batu itu.

“Karim,” panggilku. Suaraku lebih terdengar parau dan lirih. “Bangun, Nak,” kataku lagi seraya mengelus rambut keritingnya. Ketika tanganku menyentuh tempurung kepalanya, rasanya ada cairan kental menyesap ke jemariku. Kuangkat tanganku, merah darah kental menutupi telapak tanganku. Bau anyir membuat napasku sesak.

“Tuhan, Kau benar-benar harus memberikan keajaiban kedua padanya!” ucapku frustrasi sambil menatap wajah Karim yang semakin memutih. “Kau harus, Tuhan!” teriakanku meledakkan kesunyian. Tangisanku pecah dengan sekejap. Rintihan dan isakan bagai suara guntur yang membelah langit.

“Bangun! Bangun, Nak! Jangan terlalu lama terlelap. Buka matamu! Umi ingin melihat bola matamu yang cokelat. Bangun dan tertawalah. Katakan Kau baik-baik saja, Karim.”

Kekalutan memberikan kekuatan bagiku. Sejenak batu yang menutupi tubuh Karim berhasil kulempar menjauh. Kini Karim berada di pangkuanku, masih dengan mata tertutup, wajah membiru, kepala yang bersimpah darah membasahi wajahnya ketika kupeluk tubuh lemahnya.

“KARIM!” aku berteriak sekuat tenaga, melepaskan rasa pedih kehilangan. Bayi mungilku telah pergi direnggut kebiadaban pimpinan Israel. Bom melenyapkan senyum dan tawa canda Karim. “You asshole Netanyahu! You are a murderer! You are a monster!” pekikku penuh amarah.

Lalu kupandangi kembali wajah Karim. Masih terdiam. Air wajahnya tenang, bibir penuh proporsional itu seperti mengulum senyum, hidung kecilnya kini tak dapat menghirup udara lagi. Anakku mati! Karim sudah mati. “You take my child from my arm!

“Don`t move! Put your hands up.” suara berat pria menyela tangisan pedihku.

Aku langsung menoleh ke arah suara itu. Berdiri seorang tentara gagah dengan menodongkan senapan panjang ke arahku. Kulihat badge di seragam tentaranya yang berwarna hijau buluk, loreng cokelat redup. Seragam angkatan darat Amerika. Dan memang ada bendera Amerika di lengan tangannya. Ia menggunakan topi dan kacamata hitam. Rompi anti peluru melindungi dadanya.

Meskipun senapan panjang itu mengarah kepadaku, aku tidak takut menatapnya penuh kebencian dan amarah. Jika saja aku punya senjata, langsung kutarik pelatuknya dan kutembakkan ke kepalanya berkali-kali sampai pecah seperti serpihan batu ini.

“Is he your boy?” dia bertanya dalam kewaspadaan. Memang ada sedikit simpati dari matanya saat menatap Karim. But, he didn`t really care!

“Dan kau membunuhnya! Katakan pada pemimpinmu untuk berani memimpin langsung pasukanmu, bukan bersembunyi di balik Iron Dom! Bedebah!”

“Hei. Jaga mulutmu, cantik.” Dia tersenyum nakal membuatku semakin tajam menatapnya. “Tidakkah kau tertarik ikut denganku untuk …” katanya sambil menurunkan senapannya, ia lebih releks setelah mendengarku bersuara. “Yeah, bersenang-senang di tempat tidur. Kau tahu, pria selalu butuh wanita meski sedang perang. Aku kurang tertarik dengan wanita Israel, dan sepertinya kau …” dia meringis kesakitan karena sepatu kats-ku berhasil mengenai tulang keringnya. “What the …” ujarnya sambil mendorong senapannya dengan keras mengenai pelipisku.

Pening. Bau anyir darah menyeruak. Langsung kuusap darah yang mengalir mengenai alis mataku dengan tangan. Karim masih aman dalam pelukanku. Tentara itu bersiap kembali melancarkan serangan dengan senapan, berniat memukulku lagi.

“Stop!” tapi sebuah suara menghentikannya. Tentara Amerika Berpikiran Kotor itu langsung berdiri tegak dan mengangkat tangannya. Ia melakukan gerakan hormat khas militer pada pemilik suara itu. “Get out! She`s mine.”

“Yes, Sir!” ujarnya tegas dan lantang. Lalu ia berlari meninggalkan kami.

Aku dan pria itu saling bertukar pandang. Ia berjalan menghampiriku penuh wibawa dan kharisma. Pakaiannya sama seperti si Tentara Amerika Berpikiran Kotor, namun tanpa kacamata dan topi. Titik-titik rambut tipis berwarna pirang kecokelatan menutupi dagu dan pipinya. Rambut cokelatnya sempurna dengan rahang persegi yang terlihat kokoh. Hidungnya jelas mancung tinggi. Ada lekukan di tengah dagu lancipnya. Ketika ia mendekat dan berjongkok di hadapanku, aku bisa melihat matanya birunya yang berkilauan. Pria tampan ini pembunuh.

“Stay away from me!” pekikku.

“Just calm down, ok? I don`t wanna hurt you.”

“Are you his leader? Are you a murderer? Go to hell!”

“Don`t talking loud to me.” Dia menatap lekat mataku, mata birunya memancarkan ketenangan. Ia tidak mengancam seperti anak buahnya hingga aku tidak setegang tadi. Aku melunak dan membuang wajah lalu menatap Karim. “I`m so sorry for your son. I didn`t mean to …”

“Shut up!” pekikku, kembali merasakan kepedihan. “Kau telah membunuhnya. Karim-ku bayi yang menggemaskan. Aku sangat menyayanginya seperti anakku sendiri.” Kuucapkan curahan hatiku padanya, pada pria tampan yang sejak lama menjadi musuh Gaza. Ketenangannyalah yang membuatku merasa ingin direngkuh dalam pelukan pria itu dan menangis sedu sampai tertidur. Aku lelah. Aku kehilangan.

“Aku tahu. Tidak ada yang bisa kulakukan selain memohon maaf padamu, dan … Karim, rest in peace sweet heart. God bless you.

Aku memperhatikan wajahnya saat mengucapkan kalimat bela sungkawa pada Karim. Wajahnya menunjukkan keseriusan, bukan ejekan. Matanya mengisyaratkan kepedihan, bukan kesenangan.

Tangan besar pria itu mengelus kepala Karim, sama sepertiku telapaknya merah dengan darah. Ia meringis. “Inilah yang membuatku tidak pernah ingin berada dalam pertempuran.”

Kalimatnya memperjelas sesuatu dan jika aku dalam keadaan normal, aku pasti menanyakan maksudnya. Tapi tubuhku terlalu lemah, aku hanya bisa kembali menatap wajah Karim dan menyebutkan namanya dengan lembut dan lirih. Lalu tidak menyadari apa-apa lagi. Damai. Tenang. Aku pingsan.


To be continue …