Jumat, 22 Agustus 2014

Untitled

Suara dahsyat ledakan bom. Asap hitam mengepul di udara. Reruntuhan bangunan yang porak poranda. Dan tubuh berserakan di tanah tanpa ada harganya. Situasi ini sudah menjadi bagian yang lekat dalam ingatanku. Bagi sebagian orang itu jelas menyiksa batin, tapi tidak untukku.

Untitled

Pagi itu, aku meninggalkan Indonesia dengan membawa keyakinan bahwa misiku adalah membantu mereka yang sedang sekarat. Aku sudah berusaha memberikan penjelasan kepada kedua orang tuaku. Awalnya mereka menolak keras, namun panggilan hati tidak bisa dipatahkan begitu saja. Sebagai seorang dokter, aku ingin bermanfaat. Meski mereka melepasku dengan airmata yang mengucur, aku yakin kedua orang tuaku memberikan restu.

Setibanya di negara itu, aku sama sekali tidak mengecap manisnya kehidupan seperti di Jakarta. Keadaan berbeda seratus delapan puluh derajat. Di sini hanya ada kekalutan, duka, kepedihan dan kematian. Mirip seperti kota mati yang ditinggal pergi penduduk.

Puing-puing bangunan berserakan di sepanjang jalan, debu menganggu pernapasan, terik matahari terus menghantam wilayah ini. Meski suasana mencekam, aku bisa merasakan semangat perjuangan yang luar biasa. Masyarakat di sini yakin, jika mereka tidak bertahan siapa lagi yang akan menjaga peninggalan bersejarah Islam, Mesjid Al-Aqsa, Gaza, Palestine.

“Dokter Marsha.” Perawat pria memanggilku, aku menoleh sejenak lalu kembali sibuk menjahit tangan seorang remaja yang terluka. “seorang balita sekarat. Kepalanya bocor. Darah terus mengalir. Dia kejang-kejang.”

“Beri dia bantuan pernapasan, pasang kanula. Bersihkan darahnya, dalam dua menit akan kutangani.” jawabku tanpa menoleh dan mengerjakan pekerjaanku dengan cepat di ruang IGD – instalasi gawat darurat. Ruangan ini penuh sesak dengan korban bom, ada sebagian pasien diletakkan di koridor setelah ditangani. Memang kondisinya sangat gawat darurat. Tenaga dan peralatan medis masih kurang. Perlengkapan minim. Beberapa jenazah ditempatkan di lemari ice cream. Andai saja negara-negara tetangga bersedia membantu. Bahkan Mesir pun menutup pintu perbatasan.

Untitled

Sejak Israel menyerang, sudah ribuan nyawa melayang. Suasana mencekam membuatku merasa tidak aman tidur di mana pun, seperti ditikam rasa takut, dikurung kesedihan, dan ingin segera pulang ke rumahku yang nyaman lalu tidur dengan nyenyak sambil mendengarkan instrumen Kenny G. Tapi melihat senyum dan canda si imut Karim, aku ingin bersamanya lebih lama.

Usiaku hampir menginjak kepala tiga – berstatus single – memutuskan untuk mengadopsi Karim – bocah berusia 7 bulan – dan membawanya ke Indonesia. Selain imut dan tawa renyahnya membuat lapar – lapar ingin menciumi pipi tembam sembari memeluknya dengan erat – Karim adalah seorang anak yang diberikan mukjizat oleh Tuhan.


Debu reruntuhan bangunan mengepul, jarak pandang dekat. Ketika itu aku berdiri bersama para relawan kesehatan lainnya sembari memandangi pria-pria yang sedang berusaha mencari jasad di dalam reruntuhan rumah tidak jauh dari rumah sakit tempatku bertugas. Sehari pasca bom, mereka terus mencari jasad.


"Aku rasa di sini posisi kamar dari rumah yang runtuh ini!” seru seorang pria berjenggot dan berkumis tipis, tubuhnya tidak besar tapi jelas kuat karena otot menyembul di lengan bisepnya.

Menit demi menit berlalu, beberapa bongkahan batu bata putih besar berhasil diangkat dan dilempar ke luar daerah galian. Beberapa pria dewasa semangat menggali dengan tangan kosong, sebab ia khawatir sekopnya akan mengenai seseorang – meski mustahil – yang masih hidup.

Allahu Akbar!” teriak mereka bersemangat, takbir berkumandang dengan nyaring, memecahkan suasana mencekam menjadi haru. Para pria itu mengucapkan ucapan syukur dalam bahasa ibu. Jantungku rasanya nyeri, apa gerangan yang mereka temukan di dalam reruntuhan itu?

Aku dan kawanku saling bertatapan, lalu kami melangkah mendekat, menjulurkan kepala ke celah berbentuk persegi panjang di bawah sana. Aku tidak melihat apapun selain butiran halus reruntuhan bangunan. Namun, mereka terus menggali dan tak henti-hentinya bertakbir. Lalu sesuatu yang indah muncul membuat tubuhku merinding sekaligus terharu.

Aku terkesiap, sebelah lengan mungil timbul di antara reruntuhan debu halus. Itu pasti tangan seorang bayi. Hanya sebelah tangan yang berlengan panjang warna orange ceria tanpa tubuh. Hatiku teriris, pelupuk mata dipenuhi air. Kesadaran membuat tubuhku bergetar, ada seorang bayi kecil di bawah runtuhan batu yang berat dan serpihan material batu yang hancur. Pasti ia sulit bernapas! Pasti tubuhnya luka-luka! Pasti dia sudah mati! Oh, kasihan sekali bayi itu.

“Ya ampun! Aku tidak tega melihat ini.” Temanku histeris sambil membuang wajah menatap ke arah lain. “Tega sekali mereka. Apa salah bayi itu?” tanya kawanku, seorang wanita asal Mesir yang juga menjadi relawan sementara aku mengatupkan mulut rapat-rapat, tidak bisa berkata apapun.

Pria-pria itu terus mengucapkan kalimat puji-pujian tanpa lelah menggali reruntuhan dengan tangan. Kemudian, kepala mungil si bayi terlihat, rambutnya penuh dengan butiran halus reruntuhan. Tangan seorang pria memegangi tengkorak kepala si bayi dengan lembut, lalu ia menarik perlahan agar bayi itu terbebas dari reruntuhan halus.

              
           
Ya Tuhan bayi yang lucu! pekikku dalam hati, pedih.


Mereka terus menggali seakan menemukan harapan. Hatiku semakin ngilu melihat bayi gendut itu terduduk dengan kaki yang masih tertimbun reruntuhan. Rambutnya keriting, wajah bulat sehat, pipi tembamnya memerah. Ya Tuhan, dia benar-benar lucu. Namun, matanya terpejam rapat. Dia sudah mati.



Saat seorang pria menggerakkan tubuh si bayi ke lain sisi, tiba-tiba matanya terbuka, bibirnya membentuk bulan sabit terbalik, dan pandangan matanya berkeliaran persis seperti bayi yang baru saja terbangun dari tidur nyenyaknya, lalu tangan mungil yang gempal itu bergerak menuju matanya sendiri. Dia mengucak-ucak matanya dengan bibir yang masih memberengut. Menggemaskan sekali, airmataku menetes deras. Bayi laki-laki itu masih hidup, dia masih bisa bernapas di bawah reruntuhan bangunan. Ya Tuhan, ini keajaiban.


Seorang pria menciumi kepala dan wajah bayi itu ketika pria lain masih berusaha membebaskan pinggang – sampai ke bawah – dari reruntuhan, lalu ia mengusap-usap perut si bayi.
Kedua tangan gempal si bayi mengucak-ucak matanya, ia tidak menangis, tapi wajahnya hampir mewek, polos sekali. Ia terus begitu di tengah-tengah para pria berisik. Seakan tidak menyadari maut hampir membawanya pergi.

Aku ingin turun ke sana, menggendongnya lalu kupeluk ia dengan erat, kuciumi pipi merahnya yang tembam, kugenggam tangannya yang bulat, dan kuelus kepalanya penuh kasih sayang. Dia hebat, dia bisa bertahan. Semua orang menangis sedih, terharu sekaligus bahagia, termasuk aku yang terisak melihat sosok bayi gembul itu.



♥♥♥♥♥♥
“Dokter Marsha, apakah Anda akan pergi ke perbatasan Mesir sekarang?” tanya seorang pria yang kukenal bernama Hamid, ia berusia kira-kira 35 tahun. Petugas apotek di rumah sakit tempatku bertugas.

“Ohya, aku pasti ke sana, tunggu aku di depan, ya,” jawabku halus, lalu aku memandangi wajah anak angkatku Karim yang berada dalam dekapanku.

Sejak pertemuan antara aku dan Karim, aku tidak bisa melepaskannya dari pikiranku. Setiap sebelum dan bangun tidur aku selalu mengecup pipi tembamnya, mengelus rambut ikalnya dan memeluknya penuh kasih sayang. Aku berjanji akan membuatnya bahagia semampuku! Menjadikannya anak yang sukses kelak.

Setelah berjuang, akhirnya aku mendapatkan hak asuh yang sah – meski yah kau tahu sendiri, aku belum menemukan calon ayahnya. Karim adalah yatim piatu, keluarganya meninggal di hari ketika rumahnya runtuh rata dengan tanah. Lebih baik kubawa ia ke Indonesia, setelah keadaan Karim cukup kuat untuk terbang melintasi udara.

“Uu… Umi,” celoteh Karim, bibirnya bergerak imut. Tangannya menggapai-gapai wajahku dengan gesit. Matanya yang bulat berbingkai kelopak berbulu lentik. Ia bagai malaikat tampan yang Tuhan kirimkan untukku.

Habibi, sa azdhab syuwayya asytarii labanan lak, kun hadii an ya habibi,” kataku sambil tersenyum menatapnya. Karim membalas kalimatku dengan sepatah kata dan suara cemprengnya. Ia menatapku seakan ia mengerti apa yang kukatakan. Sorot matanya yang berkerlipan indah, mata tanpa dosa. “Uhibbak katsiiron.[1]

[1] Sayang, ibu mau beli susu dulu ya buat kamu. Kamu jangan nakal. Umi sayang sama Karim.

♥♥♥♥♥♥

Perdana Menteri Israel dan Hamas sepakat melakukan gencatan senjata selama 5 jam. Serius, hanya 5 jam. Ya, awalnya aku mengeluh. Yang benar saja hanya 5 jam, sewaktu di Jakarta 5 jam kuhabiskan dengan tidur-tiduran di kamar tanpa arti selepas kerja. Tapi sekarang, setiap detik berharga.

Hari ini pasienku tidak sebanyak biasanya. Kerjaku lebih santai. Biasanya aku tidak henti memeriksa detak jantung korban ledakan bom, melihat wajah baby yang penuh dengan luka bekas serpihan ledakan, bahkan aku pernah sekali menyaksikan seorang bayi dipeluk penuh kasih sayang oleh ibunya. Bayi itu meninggal dengan debu kelabu menutupi sekujur tubuhnya. Awalnya aku sering ke kamar mandi untuk menenangkan diri melihat banyak mayat berdarah di sekelilingku. Sekarang aku sudah terbiasa.

Pintu perbatasan Gaza dan Mesir dibuka selama gencatan senjata, waktu yang singkat itu kugunakan untuk membeli perlengkapan dan obat-obatan yang stoknya menipis, lalu keperluanku sendiri, juga keperluan Karim. Karimku tersayang butuh banyak pampers, pakaian hangat, dan susu tentu saja.

Mobil melaju di tengah Kota. Suasana nampak normal. Banyak orang berjalan di pinggir jalan raya seraya membawa kantong plastik berisi keperluan sehari-hari. Meski nampak normal, air wajah mereka jelas menderita dan ketakutan. Aku berdoa agar keadaan ini benar-benar berakhir.

Setelah semua keperluan sudah kami beli, kantong belanjaan dimasukkan ke bagasi mobil. Aku duduk dengan lelah bersandar pasrah pada kursi penumpang.

Di perjalanan menuju pengungsian aku mendengar suara ledakan yang menakutkan. Satu ledakan namun suaranya membelah ketenangan yang imitatif. Jantungku langsung berdentum tak beraturan. Karim!

“Kau dengar itu, Hamid?” tanyaku, panik. Posisi dudukku langsung tegak dan tegang. Tanganku memegang dasbor mobil, mataku membelalak lebar menatap Hamid yang tengah menyetir.

“Ya, dokter.” Wajahnya terlihat keras. “Apa yang mereka lakukan? Padahal sedang gencatan senjata.”

Kekhawatiran mencekram hati dan pikiranku, Karim berada jauh dari jangkauanku. “Cepat hubungi seseorang, tanyakan keadaan Karim.”

Aku memandangi Hamid yang tengah menelpon. Menunggunya menyampaikan informasi seperti menunggu keputusan hakim, apakah aku bebas hukuman ataukan dihukum pancung. Tapi ia hanya menggeleng yang justru menambah panjang kekalutanku.

“Tenang, Dokter. Karim pasti baik-baik saja.” Hamid berusaha menenangkanku, tapi tidak sepenuhnya berhasil. Aku semakin kalut dan takut. Khawatir.

“Cepat! Injak gas mobilmu dengan kencang! Aku tidak ingin Karim terluka sesenti pun.”

♥♥♥♥♥♥

Matahari terik yang mengantarku dari perbatasan Mesir menuju tempat tinggalku tertutup awan kelabu, cuaca berubah drastis. Mendung membungkus kota Gaza yang entah kenapa berhasil membuat hatiku perih dan sakit.

Mobil sedan yang kutumpangi melintas di atas jalan beraspal menuju pengungsian. Beberapa jam lalu, suasana di sini masih cukup kondusif. Tapi sekarang bising, ramai, dan amburadul.

Para orang tua menggendong anak-anak mereka dengan ekspresi wajah ketakutan yang kental. Ada yang menangis. Ada yang berteriak. Ada yang bicara dalam kepasrahan. Mereka berjalan setengah berlari menjauhi wilayah ini menuju satu titik yang kutahu sebagai tempat pengungsian lainnya.

Bahkan seorang remaja laki-laki kurus dengan susah payah dan terengah membopong adik perempuannya yang masih kecil. Ada luka di bagian pelipis dan kakinya mengalir darah merah. Gadis kecil itu menangis, teriak kesakitan. Kakaknya terus berlari tanpa alas kaki, sedangkan aspal penuh dengan kerikil tajam.

“Injak gas mobilnya lebih dalam, Hamid!” pekikku, rasa panik membuatku semakin kalut.

Sesampainya di pengungsian aku keluar dengan segera, berdiri di depan gedung pengungsian. Jantungku serasa berhenti. Bangunan yang berdiri kokoh itu kini telah hancur. Tembok-tembok yang tinggi, sekarang pecah berkeping-keping. Hatiku terus memanggil nama Karim dengan lirih.

“Sembunyi!” suara seorang pria tegas menggema di telingaku, namun kakiku terlalu lemas untuk bergerak. “Angkatan darat mereka sedang menuju ke sini.”

“Dokter, ayo pergi dari sini!” Hamid mencekram lengan sikuku.

Aku bergeming. Mataku pedih. Hatiku hancur.

“Dokter. Kau bisa ditangkap. Mereka sedang operasi dan akan menangkapmu.”

“Aku tidak takut. Itu lebih bagus, karena aku punya kesempatan untuk membunuh Netanyahu dengan tanganku sendiri!”

“Dokter.” Hamid berteriak.

“Tidak! Aku harus menemukan Karim!” jawabku seraya menyentakkan cengkraman tangan Hamid, lalu aku berlari menuju runtuhan pengungsian.















===================================================================
NB: Gambar-gambar yang kubagi di atas itu real. Terjadinya sih di Syria, boleh lihat di web ini http://www.youtube.com/watch?v=KRgO2GS5rGE

9 komentar:

  1. Mba, pembukaannya kurang cetar. Kebanyakan koma, nggak enak dilihatnya. Mungkin bisa lebih cetar kalo pake titik aja.

    Puing-puing bangunan berserakan di sepanjang jalan, debu menganggu pernapasan. <<< Cek kata 'menganggu', kurang huruf 'G'. Mengganggu.

    Detailnya udah oke, mba. Penggambaran suasana kebaca. Tapi sayang, feel si dokter kurang ngena. Gimana ya... Kurang ekspresi gitu kalo kata sutradara mah. Hehe. Segitu aja komennya.

    Semangat terus! Ini udah bagus, mba. ^^

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehhehe.. makasih opie imut mungil :* . Saranmu itu selalu bermanfaat.
      Aku gak bisa explorasi feel karena terbatas wordnya. :(

      FYBTS aja butuh 19 pages biar feel kena. Tapi ini PR buatku. Makasih banyak fhaaa ({})

      Hapus
  2. Suka banget Ka..... sepakat sama oppie... hehe.... blm bisa komen banyak.... masih baru belajar euy... hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Oke Bang Fiki... :D
      Makasih sudah menyempatkan membaca. Sama2 belajar kita >.<

      Hapus
  3. Kak, iy sependapat jg sma Opi. Awalny krbanyakan koma.. terus Kak, yg bner "cela" ato "celah"... seingatku celah kak. Hehehe.
    Ceritany bagus. Tapi iy feelny kurang greget. Sepak trjang si relawanny kurang dapet. *Halahabaikan.. hohoo

    Udh Kak, it aj. Suka ceritany. Lanjutin y kak. Nunggu ini.. hehehe.. maaf kak klo sotoy -,-"

    BalasHapus
    Balasan
    1. Si opi soal teknik emang kece deh. Aku banyak belajar dari dia.

      Oke. Celah. Hehe
      Makasih Einca :*

      Hapus
  4. halo kak ekaa, maafkan aku telat komennya ;;__________;;

    hng, mulai dari mana ini (...) aku nggak banyak komentar soal eyd soalnya yang lain udah *...* umm, bener kata kak opi, pembukaannya kurang ngena. nggak begitu micu aku buat lanjut baca. padahal di bawah-bawah masih ada cerita lagi /...

    soal karakter, menurutku wajar aja sih kalau si dokter kayak gitu, namanya juga perempuan pasti ada aja sisi keibuannya ;-------; cuma yaa, sisi relawannya mungkin yang belum tergambar banget. karim penggambarannya, kebayang banget dia itu bayi lucu yang kasihan dapet nasib begitu ;-----; dibantu gambar lagi, jadinya penggambaran suasananya dapet jadi-- ;________; cuma sayang karakter pendukungnya kurang tergambar gitu orz

    dan reaksi pas liat endingnya tuh begini (w QAQ)w dan bikin gak sabar sama lanjutannya :""|

    udah itu aja. huhuhu maaf ya kak aku bisanya cuma blabbering doang :""""| keep writing, semangat (9 ' ')9

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sejauh ini opening itu sesuatu yang sulit bagiku. Hiiiiiks.

      Blabbering itu apa ya, Cha?

      Hapus
  5. Halo, Ka. Maaf telat banget ngasih komentarnya.

    Iya, aku setuju sama semua komentar di atas. Pembukaannya kurang greget. Mungkin bisa diawali dengan deskripsi singkat, kalau perlu hanya beberapa kata, tapi bikin penasaran. Biar langsung tergambar kelanjutan ceritanya kayak apa. Dan menurutku, deskripsinya kurang ngebawa perasaan si dokter. Hem.. apa ya? Kurang kerasa emosinya. Tapi deskripsi tempatnya bagus, aku suka.

    Jadi pengin ketemu Karim! ^^

    BalasHapus