Aku berdiri lemah di hadapan sebuah gedung. Gedung putih dengan cat mengelupas itu – adalah tempat
yang kutinggali selama beberapa bulan – sudah hancur porak poranda. Besi-besi
mencuat ke luar, ke atas, dan ke bawah, rusak berantakan. Dinding yang bolong
memperlihatkan isi ruangan yang sama bobroknya, seperti bangunan yang tidak
pernah selesai dibangun.
Teriakan histeris menggema di sekelilingku membuat
kakiku lemas. Tanganku gemetaran. Kepalaku berdenyut nyeri. Ingin rasanya aku
menjedotkannya ke tembok, kemudian terbangun dalam keadaan yang aman dan gedung
yang utuh.
Orang-orang sibuk membawa tandu kosong memasuki
sebuah gedung, dan ke luar tergesa-gesa menandu tubuh luka berlumuran darah dan
debu. Tempat ini tidak berbentuk. Tempat ini penuh debu serpihan bangunan yang
terkena bom. Dan anakku ada di dalam sana.
“Karim,” hatiku lirih memanggil namanya. Meski rasanya
berat seperti diikat rantai dan batu besi. Kakiku masih terus melangkah,
menginjak batuan besar yang berserakan di tanah berdebu. Puing-puing berserakan
menyulitkan langkahku.
“Dokter! Kau harus pergi! Mereka sedang menuju ke
sini!”
Kudengar sayup Hamid memanggil-manggil namaku di
kejauhan. Aku bergeming dan terus melangkah memasuki gedung seraya mengingat-ingat
di mana letak kamarku dalam keadaan
gedung yang hancur seperti ini. Sebab terakhir aku meninggalkan Karim, ia
tengah tertidur pulas dengan wajah imut berbingkai rambut keriting yang
menggemaskan.
Kakiku berteriak pegal. Hatiku berdenyut ngilu. Rasa
takut dan khawatir merebakkan airmata di pipiku. Adrenalin melemahkan gerakanku.
Mempercepat detak jantungku. Keringat dingin membasahi baju hijau medis yang kukenakan.
Tubuhku bergetar dan hampir limbung. Aku takut kehilangan Karim.
Pikiranku kosong. Aku berdiri di tengah gedung
berdinding bolong. Harum kematian mencekamkan suasana. Pupil mataku melebar. Pandanganku
menyapu sekeliling. Hanya ada hamparan batu yang pecah karena bom. Tapi ini
tidak menyusutkan keinginanku tuntuk menemukan Karim dalam keadaan … hidup! Langkah
kakiku masih kokoh meski getarannya semakin keras. Kukepal tanganku sekuatnya
hingga buku jariku menusuk telapak tangan.
Dalam keadaan kalut, tiba-tiba pikiranku bermain
deras tanpa toleransi menuju memori ketika Karim terkubur di bawah reruntuhan
debu dan batu. Dan ketika terbangun dari memori itu, lima langkah di hadapanku,
aku menemukan apa yang ingin kutemukan.
Karim.
Anakku tertindih batu besar, sekujur tubuh mungilnya
tak bisa kulihat hanya kepalanya yang terjuntai lemah. Di bawah kepalanya ada
bongkahan batu besar dan batu kecil di samping kepalanya, menyentuh pelipis
kirinya.
Sedetik kemudian aku berlari menghampirinya dalam
kesunyian. Tidak ada histeris. Aku masih berharap keajaiban kembali menaungi
Karim, My son. Yeah, God you should give him miracle.
“Karim.” Kupanggil namanya sehalus mungkin agar ia
tidak ketakutan ketika terbangun nanti. Pelan-pelan kusingkirkan bebatuan itu
tanpa sekali pun melepaskan tatapan mataku pada wajah imutnya. Mata Karim
terpejam. Bulu matanya yang lentik membuatku merasakan rindu dan ingin segera
memeluknya. Namun aku tidak kuat, aku terlalu gemetaran untuk membebaskan Karim
dari batu itu.
“Karim,” panggilku. Suaraku lebih terdengar parau
dan lirih. “Bangun, Nak,” kataku lagi seraya mengelus rambut keritingnya. Ketika
tanganku menyentuh tempurung kepalanya, rasanya ada cairan kental menyesap ke
jemariku. Kuangkat tanganku, merah darah kental menutupi telapak tanganku. Bau
anyir membuat napasku sesak.
“Tuhan, Kau benar-benar harus memberikan keajaiban
kedua padanya!” ucapku frustrasi sambil menatap wajah Karim yang semakin
memutih. “Kau harus, Tuhan!” teriakanku meledakkan kesunyian. Tangisanku pecah
dengan sekejap. Rintihan dan isakan bagai suara guntur yang membelah langit.
“Bangun! Bangun, Nak! Jangan terlalu lama terlelap.
Buka matamu! Umi ingin melihat bola matamu yang cokelat. Bangun dan tertawalah.
Katakan Kau baik-baik saja, Karim.”
Kekalutan memberikan kekuatan bagiku. Sejenak batu
yang menutupi tubuh Karim berhasil kulempar menjauh. Kini Karim berada di
pangkuanku, masih dengan mata tertutup, wajah membiru, kepala yang bersimpah
darah membasahi wajahnya ketika kupeluk tubuh lemahnya.
“KARIM!” aku berteriak sekuat tenaga, melepaskan
rasa pedih kehilangan. Bayi mungilku telah pergi direnggut kebiadaban pimpinan
Israel. Bom melenyapkan senyum dan tawa canda Karim. “You asshole Netanyahu! You are a murderer! You are a monster!”
pekikku penuh amarah.
Lalu kupandangi kembali wajah Karim. Masih terdiam. Air
wajahnya tenang, bibir penuh proporsional itu seperti mengulum senyum, hidung
kecilnya kini tak dapat menghirup udara lagi. Anakku mati! Karim sudah mati. “You take my child from my arm!”
“Don`t move! Put
your hands up.” suara berat
pria menyela tangisan pedihku.
Aku langsung menoleh ke arah suara itu. Berdiri seorang
tentara gagah dengan menodongkan senapan panjang ke arahku. Kulihat badge di seragam tentaranya yang
berwarna hijau buluk, loreng cokelat redup. Seragam angkatan darat Amerika. Dan
memang ada bendera Amerika di lengan tangannya. Ia menggunakan topi dan kacamata
hitam. Rompi anti peluru melindungi dadanya.
Meskipun senapan panjang itu mengarah kepadaku, aku
tidak takut menatapnya penuh kebencian dan amarah. Jika saja aku punya senjata,
langsung kutarik pelatuknya dan kutembakkan ke kepalanya berkali-kali sampai
pecah seperti serpihan batu ini.
“Is he your boy?” dia bertanya dalam kewaspadaan. Memang ada sedikit
simpati dari matanya saat menatap Karim. But,
he didn`t really care!
“Dan kau membunuhnya! Katakan pada pemimpinmu untuk
berani memimpin langsung pasukanmu, bukan bersembunyi di balik Iron Dom!
Bedebah!”
“Hei. Jaga mulutmu, cantik.” Dia tersenyum nakal
membuatku semakin tajam menatapnya. “Tidakkah kau tertarik ikut denganku untuk …”
katanya sambil menurunkan senapannya, ia lebih releks setelah mendengarku
bersuara. “Yeah, bersenang-senang di tempat tidur. Kau tahu, pria selalu butuh
wanita meski sedang perang. Aku kurang tertarik dengan wanita Israel, dan
sepertinya kau …” dia meringis kesakitan karena sepatu kats-ku berhasil
mengenai tulang keringnya. “What the …”
ujarnya sambil mendorong senapannya dengan keras mengenai pelipisku.
Pening. Bau anyir darah menyeruak. Langsung kuusap darah
yang mengalir mengenai alis mataku dengan tangan. Karim masih aman dalam
pelukanku. Tentara itu bersiap kembali melancarkan serangan dengan senapan, berniat
memukulku lagi.
“Stop!” tapi sebuah suara menghentikannya. Tentara Amerika Berpikiran
Kotor itu langsung berdiri tegak dan mengangkat tangannya. Ia melakukan gerakan
hormat khas militer pada pemilik suara itu. “Get
out! She`s mine.”
“Yes, Sir!” ujarnya tegas dan lantang. Lalu ia berlari
meninggalkan kami.
Aku dan pria itu saling bertukar pandang. Ia
berjalan menghampiriku penuh wibawa dan kharisma. Pakaiannya sama seperti si
Tentara Amerika Berpikiran Kotor, namun tanpa kacamata dan topi. Titik-titik
rambut tipis berwarna pirang kecokelatan menutupi dagu dan pipinya. Rambut cokelatnya sempurna dengan rahang persegi yang terlihat kokoh. Hidungnya jelas mancung tinggi. Ada lekukan di tengah dagu lancipnya. Ketika ia
mendekat dan berjongkok di hadapanku, aku bisa melihat matanya birunya yang
berkilauan. Pria tampan ini pembunuh.
“Stay away from
me!” pekikku.
“Just calm down,
ok? I don`t wanna hurt you.”
“Are you his
leader? Are you a murderer? Go to hell!”
“Don`t talking
loud to me.” Dia menatap lekat
mataku, mata birunya memancarkan ketenangan. Ia tidak mengancam seperti anak
buahnya hingga aku tidak setegang tadi. Aku melunak dan membuang wajah lalu
menatap Karim. “I`m so sorry for your
son. I didn`t mean to …”
“Shut up!” pekikku, kembali merasakan kepedihan. “Kau telah
membunuhnya. Karim-ku bayi yang menggemaskan. Aku sangat menyayanginya seperti
anakku sendiri.” Kuucapkan curahan hatiku padanya, pada pria tampan yang sejak
lama menjadi musuh Gaza. Ketenangannyalah yang membuatku merasa ingin direngkuh
dalam pelukan pria itu dan menangis sedu sampai tertidur. Aku lelah. Aku kehilangan.
“Aku tahu. Tidak ada yang bisa kulakukan selain
memohon maaf padamu, dan … Karim, rest in peace sweet heart. God bless you.”
Aku memperhatikan wajahnya saat mengucapkan kalimat
bela sungkawa pada Karim. Wajahnya menunjukkan keseriusan, bukan ejekan. Matanya
mengisyaratkan kepedihan, bukan kesenangan.
Tangan besar pria itu mengelus kepala Karim, sama
sepertiku telapaknya merah dengan darah. Ia meringis. “Inilah yang membuatku
tidak pernah ingin berada dalam pertempuran.”
Kalimatnya memperjelas sesuatu dan jika aku dalam
keadaan normal, aku pasti menanyakan maksudnya. Tapi tubuhku terlalu lemah, aku
hanya bisa kembali menatap wajah Karim dan menyebutkan namanya dengan lembut
dan lirih. Lalu tidak menyadari apa-apa lagi. Damai. Tenang. Aku pingsan.
To be continue …
suka Ka.... berasa bgt feel tegangnya..... tp kayaknya nanti dokternya jadian sama tentaranya yaak.. hehe
BalasHapusHehe. Ya bisa jadi. Bisa juga nggak. Silahkan berspekulasi. >.<
HapusMakasih sudah baca, Mas.
Hadir untuk berkomentar. Ng ... feelnya dapet. ^^
BalasHapusMakasih Anggi, sudah mampir ^_^
HapusAku suka banget alurnya kak, dialognya juga enak di baca. Kebangin lagi yah lanjutannya. :)
BalasHapusIya. Makasih, Zu. :')
Hapus“Karim,” hatiku lirih memanggil namanya.
BalasHapusKalo gak salah, kalimat seperti itu harusnya pake titik di belakang Karim. #CMIIW
Kakiku berteriak pegal.
Menurutku itu diksinya kurang tepat.
Terlalu banyak kataku, panggilku dll.
Ada pemborosan kata 'ku' dalam narasi. Seperti kakiku, kepalaku, tanganku dll.
Ceritaku aku suka. Feelnya kuat.
Sekian komentarku. :)
Oh iyaaaaaa bener!!! Hatiku pake titik -_- .
HapusSiap2 Kak Amad. Thank you so much yaaa.. I'll repair it. Hehe
Hadiiiiiirrr!!! Maaf telat mampir d lapaknya ya Kak....
BalasHapusSukaa.. yg ini feelnya lebih dapet.. dan aku ko jd suka sm tntara amerikanya ya? Hoho... bsok lanjutannya bykin si om tentara ya Kak ya... akakakakk
Cemungudh kak Eka...