Perkenalannya indah, tapi nggak kusangka bisa
berakhir tragis seperti ini. Terkadang aku berpikir, lebih baik nggak pernah
berkenalan dengannya kalau hanya mewariskan luka dan duka.
Latihan Dasar Kepemimpinan Kelas X SMA, Bogor, 2014.
Di tengah lapangan bertanah merah, kami membentuk
kelompok outbond. Aku selalu
bersemangat dengan kegiatan alam yang satu ini. Memang lelah, tapi ini
memuaskan. Banyak ekspresi yang kulihat dari setiap aktifitas outbond. Ekspresi bete, senang,
semangat, bahkan ekspresi berkilauan yang mampu membuat mataku terkunci hanya
pada sosoknya.
Seakan seluruh perhatianku tertuju padanya. Dia
tersenyum lebar, dan sangat menikmati waktu. Padahal, tubuhnya diinjak oleh
seorang cowok yang sedang berusaha memasukkan rotan berbentuk lingkaran pada
sebuah gala kayu panjang. Dalam posisi berdiri kuda-kuda dan keringat yang
bercucuran jantan, aku bisa melihat senyum yang sangat manis. Senyuman yang
membuat bibirku ikut mengulum. Saat itu aku sadar, aku telah jatuh cinta
padanya.
Sebenarnya ini bukan kali pertama aku melihatnya.
Pagi tadi, saat kami berlari menuruni tepi jalan raya Kota Bogor yang sepi,
gelap, dan dingin, dalam kondisi mata yang berat dibuka
alias masih ngantuk. Semalam kami peserta LDKS dibangunkan pukul 02.00 secara
paksa, lalu disuruh berdiri dengan kaki telanjang di tengah halaman villa yang
dingin mengigil. Dan sekarang masih harus olahraga. Ya Ampun! Aku mau tempat tidur!
Homesick! Sudah dua hari jauh dari kamar.
“Siapa yang mau jadi ketua OSIS?” tanya seorang
senior dengan suara tegas dan lantang, sementara aku menatap ke arah suara itu, tapi nggak bisa melihat
wajahnya karena matahari belum muncul. “Kalau kalian mau jadi ketua OSIS, ayo
loncat ke bawah.”
Di hadapan kami, samar-samar aku bisa melihat sungai
berbatu besar dengan air yang cukup deras. Suaranya terdengar sangat damai dan
memberikan ketentraman. Tanganku memegang batang besi berwarna kuning yang
dingin seraya melongok ke bawah. Gelap.
“Yang bener aja, mendingan gue nggak jadi ketua OSIS
daripada harus loncat ke sana.” Kudengar suara seorang cowok yang berdiri nggak
jauh dariku.
Aku meliriknya, dia berdiri tegak dengan postur yang atletis. Tinggiku sejajar dengan dagunya. Masih dalam kondisi gelap, aku nggak bisa melihat wajahnya.
Aku meliriknya, dia berdiri tegak dengan postur yang atletis. Tinggiku sejajar dengan dagunya. Masih dalam kondisi gelap, aku nggak bisa melihat wajahnya.
“Iya, Kak. Bener.” Aku merespon sekenanya.
Nah! Itulah suara yang kudengar sama persis seperti
suara cowok yang sedang bersemangat outbond.
Dia kelas XI IPS. Aku nggak tahu namanya, tapi wajahnya terekam jelas di
benakku. Hidungnya terutama. Tulangnya tinggi dan lurus seperti perosotan anak-anak
TK.
Saat penutupan, ketua OSIS mengumumkan peserta LDKS terbaik dari kelas X dan XI. Aku menjadi terbaik pertama, dan dia –
yang kusukai senyumannya saat outbond – juga terbaik pertama. Ternyata, namanya
Kak Revan.
Dengan polosnya, kukirimi dia secarik kertas
bertuliskan ‘selamat ya, Kak. Semoga menjadi ketua OSIS.’ Well, dia membalasnya. Dan sejak itu, dia mengenalku. Setidaknya
dia tahu, kalau aku ini ada.
Pemburu Cinta
Aku malu, ternyata dia bukan perwakilan ekskul yang
menjadi cikal bakal pengurus OSIS. Tapi, dia perwakilan kelas dan terpilih
menjadi Ketua Majelis Perwakilan Kelas. Jabatan ini bisa membuat seseorang famous di kalangan siswa dan guru.
Bagiku, dia sosok yang berkharisma. Punya senyum
menawan, kemampuan berinteraksi yang baik dan agak senang becanda. Dari mana
aku tahu? Ehem, sebenarnya aku mengamatinya. Diam-diam meliriknya – dari
kelasku di lantai 2 – yang sedang berdiri di balik balkon lantai 3, tepat di
depan kelasnya.
“Lo mau gue bantuin supaya deket sama dia?” suatu
ketika temanku – Ifha – menawarkan hal yang nggak pernah kusangka. Aku menatapinya
bingung. “Tapi, lo harus bantuin gue deket sama Kak Daniel.”
Itu pertanyaan yang absurb menurutku. Aku nggak berani mendekati cowok, masa dia
meminta bantuanku. But, ok, aku
mengiyakan meskipun nggak tahu harus mulai dari mana. Asal bisa dekat dengannya!
Ifha lebih cekatan, dia memulainya lebih dulu.
Setiap istirahat dia berdiri di balik balkon lantai 3 berdampingan dengan Kak
Revan. Aku memandangi kedekatan mereka, sangat dekat, bahkan mereka bersenda
gurau, akrab sekali, dan selang beberapa hari aku mendengar mereka jadian. Sialan!!!
Ambil deh tuh,
buat lo biar puas. Gue nggak peduli!
gumamku sambil masuk ke dalam kelas, dan ikhlas melupakan perasaanku pada Kak
Revan.
Pemburu Cinta
Latihan Penyerahan Jabatan, Kelas XI, 2015.
Aku terpilih menjadi Sekretaris Umum OSIS angkatan
XXIII. Hari ini, kami latihan penyerahan jabatan di tengah lapangan. Ada Kak
Revan dan Ifha. Kudengar mereka sudah selesai alias putus, tapi aku benar-benar
nggak peduli karena aku tengah menjalin hubungan dengan Farel, kawan sekelasku
di kelas X.
Setelah latihan kami makan bersama, nasi bungkus
yang lezat sekali. Karena pedasnya membuat keringat mengucur deras.
Kuperhatikan Kak Revan, keringatnya banjir dan mulutnya bergerak kepedasan. Kasihan
aku melihatnya, jadi kuhampiri dia lalu kuberikan sebungkus permen fox.
“Nih, buat Kakak. Supaya nggak kepedasan,” ujarku
seraya menyerahkan permen itu.
Dia menatapku, takjub dan lekat. Lalu ia tersenyum
sambil menerima pemberikanku. “Makasih ya, Dini.”
Pemburu Cinta
Januari, 2016, kelas XI.
Aku putus dari Farel, tanggal 25. Karena dia
selingkuh. Huh! Menyedihkan. Memang sih salahku karena aku mengabaikannya. Aku
lebih sering ekskul, kegiatan OSIS, dan belajar ketimbang harus bersamanya. Tapi
aku kesal, kenapa harus selingkuh? Nggak ada cara lain?
Aku ingin membuatnya kesal dengan meminta bantuan
Kak Revan yang kebetulan sedang menjomblo. Kukirimi dia sms – setelah beberapa kali berhubungan cukup intens lewat sms.
Kak,
mau bantuin aku nggak? Bantuin aku, Kakak pura-pura jadi pacar aku. Aku
kepengin manas-manasin Farel. Supaya dia kesel.
Kak Revan membalas,
Kenapa pura-pura? Beneran aja!
Awalnya aku bingung. Tapi berhubung aku pernah suka
padanya akhirnya kami jadian, dan berlangsung hampir 6 tahun. Aku sangat
mencintainya, hingga menjadikannya harapan dan impian hidupku. Rasanya hubungan
kami indah, sampai kami menemui masalah ini.
Pemburu Cinta
November, 2021, kuliah semester 7.
Segala sesuatu yang berlebihan, itu nggak baik.
Benar sekali! Itu yang kualami. Terlalu mencintai Revan. Jadi, ketika dia
melakukan pengkhianatan, luka dan duka yang kudapat berlipat-lipat pedihnya.
Revan seorang cowok yang mudah dekat dengan orang
lain – termasuk cewek. Selama kami pacaran, dia banyak sekali bertemu dengan
teman cewek baru. Aku cukup sabar menghadapinya, hingga pada suatu ketika aku
menemukan bukti yang membuat hubungan kami harus berakhir di tengah
harapan-harapan indahku.
Pesan gambar yang kutahu dari salah satu cewek yang
sudah satu tahun ini kucurigai mempunyai kedekatan dengan kekasihku. Kubuka
pesan gambar, menampilkan benda yang nggak jelas bentuknya. Ada dua kalimat di
bawahnya, ‘Mas, aku sudah telat. Ini hasil testpack-ku.’
Tidak ada komentar:
Posting Komentar