Finding You Among The
Stars
(potongan draft)
(potongan draft)
By: Eka Annisa
“Dari sekian banyak jalan yang terbentang di
hadapanku, semua mengarah kembali padamu. Meski kau berada di sisi lain saat
langit terbelah, dan jarak kita terpisah sangat jauh. Aku pasti akan melihatmu
di antara bintang-bintang.”
Prolog
“Hai, Re. Aku
kangen banget sama kamu.” Kupandangi cakrawala hitam gelap, sambil merasakan
lembabnya rerumputan halus di sela-sela jemariku. Sentuhan lembut rumput itu
seolah mengelus punggungku, menenangkan otot-ototku yang tegang. Aku merasa
ketenangan jiwa dan raga, serasa Reoku tengah berbaring di sampingku, menatapku
menggunakan matanya yang selalu sendu, dan selalu memperlihatkan senyumnya yang
semanis madu.
Kata pacarku Reo, agak susah melihat bintang di
kota, karena cahaya lampu terlalu terang mengalahkan sinar kecil
bintang-bintang itu. Tapi sekarang malam cerah, lumayan banyak kerlip bintang
dapat kulihat di atas langit pekat yang nampak tak berujung luasnya.
Seperti inilah kegiatanku kala kerinduan menyesakkan
dada dan sama sekali tak ada obatnya. Kucari bintang paling bersinar, berusaha
menemukan permata berpilar yang kuyakini sebagai bintang regulus. Ya, regulusku
yang sudah 1500 hari meledak, menghilang, melebur menjadi satu dengan semesta.
Tak kasatmata.
Reo pecinta regulus. Einstain-nya Nadhira. Kekasih
yang takkan pernah selangkah pun beranjak dari hatiku.
Sebelum meninggal, sepertinya dia sudah tahu,
sebentar lagi kematian akan datang menjemput. Malam itu terasa menyiksa bagiku,
kekhawatiran menekan jantung. Aku takut kehilangannya setengah mati.
Ulang tahunku yang ke tujuh belas adalah ulang tahun
yang tak terlupakan. Dia menjamuku dengan
candle light dinner di balkon apartemennya. Hari ulang tahun yang pertama
sekaligus terakhir yang kulalui bersama Reo.
*****
“Jadi,
kamu mau minta apa? Make a wish
coba,” pinta Reo lembut sambil menggenggam jemariku.
“Rahasia
dong,” sahutku seraya tersenyum. Reo hanya mengangguk protes, sementara aku
tertawa kecil. “Hehe… ya, Wishes
biasa, Re. Panjang umur, sehat, sukses. Ditambah satu wish khusus. Di tahun ini kan ada kamu, aku pengen tahun-tahun
berikutnya juga ada kamu.”
“Kalau
nggak ada gimana?”
“Ada
dong,” jawabku agak getir. “Omongan kan doa, Re. Jadi aku harus yakin, ada kamu
di masa depan aku.”
“Nad,
kita nggak pernah tahu apa yang akan terjadi. Gimana pun keadaannya, kita harus
siap menghadapi.” Reo berujar penuh kesungguhan, matanya menyala, seakan
menegaskan dia ingin aku serius menanggapi perkataannya. “Kalau aku nggak ada,
kamu harus tetep lanjutin hidup kamu ya. Di kehidupan selanjutnya mungkin kita
bisa—”
Stop.
Aku nggak mau mendengar kata-kata selanjutnya. Aku takut. Nggak berani membayangkan
hal menyedihkan seperti itu. Ketiadaan seseorang yang disayang.
“Ada!
Kamu pasti ada, Re. Jangan ngomong yang nggak-nggak deh! Capek tahu dengernya!”
“Nadhira,
kamu dengerin aku dulu sampai selesai ya, Sayang.” Reo memohon sambil menggenggam erat tanganku. “Aku pengen
kamu hidup bahagia, itu aja kok.”
Kubalas
genggaman tangannya sekuat tenaga. Kengerian ini membuat hatiku ngilu. Aku
takut kehilangan. Takut Reo pergi. Takut nggak bisa lagi melihatnya.
“Tapi
aku pengen bahagia bareng kamu,” pintaku, nggak sanggup menahan ketakutanku,
meskipun nggak ada yang tahu soal kematian, tetap saja aku nggak mau
membayangkan hari-hariku tanpa Reo.
Reo
hanya tersenyum tipis, menatapku dengan matanya yang sendu.
“Waktu
masih kecil, Papah pernah bilang ke aku, kalau orang yang meninggal akan
berubah menjadi bintang. Always and
forever… as long as the stars twinkle in the night.” Reo berkata dengan
tenang, sementara aku menatapnya penuh kekhawatiran. “Aku ngerasa Papah selalu
ada selama bintang bersinar. Makanya aku suka bintang, Nad.”
“Maksud
kamu apa ngomong kayak gitu? Emang kamu kepengen jadi bintang? Nggak boleh!”
Reo
tersenyum tulus sambil mengelus ubun-ubunku, lalu berbisik “You got to be strong, got to move on.”
Rasa
khawatirku semakin besar menekan dadaku. Seperti mendapat Firasat.
Kusingkirkan
tangannya—yang masih mengelus kepalaku—dengan kasar. Aku kesal mendengarnya
berkata seakan dia punya penyakit parah dan dokter sudah memvonisnya akan mati
sebentar lagi. Hah! Menyebalkan! Nggak ada satu pun di dunia ini yang berhak
menentukan umur seseorang!
“Apaan
sih kamu, Re?” Aku marah, kekhawatiranku berubah menjadi bulir-bulir kristal
air mata, menuruni pipi. Tubuhku gemetaran, angin malam yang awalnya sejuk
berubah dingin menggigit. “Aku ke sini buat ngerayain ultah bareng kamu, bukan
persiapan kalau tiba-tiba kamu pergi!” ujarku lirih. “Sekali lagi kamu bahas
ini! Aku nggak bakal mau ketemu kamu lagi, Re. Ngebayanginnya aja aku udah
takut.”
“Maaf,”
hanya kata itu yang dia ucapkan. Kutatap
dia sedalam mungkin, berusaha menunjukkan kalau aku benar-benar takut
kehilangan dia. “Maafin aku, Nad.”
“Janji
jangan pernah bahas lagi! Kematian bukan urusan kita, Re,” ucapku seraya meraih
tangannya, kugenggam tangannya erat.
“Aku
sayang kamu, jangan ngomongin ini lagi ya Re, please,” lanjutku dengan mata yang berkata-kaca. Lalu aku merunduk,
pipiku menempel pada punggung tangannya yang masih kugenggam di atas meja. Air
mataku menetes membasahi tangan Reo.
Reo
berdiri lalu membungkuk dan mengecup kepalaku seraya berkata, “love me now forever.” Aku mengangguk
lembut merasakan sengatan kasih sayang yang berusaha dia alirkan melalui
ubun-ubunku.
Reo
duduk kembali. Kemudian menatap langit malam yang lumayan cerah. Beberapa
bintang berkerlip di atas sana. Sedangkan aku, masih lekat menatapi wajahnya
yang teduh. Berusaha merekam tiap lekuk indah wajahnya. Malam ini, dia terlihat
lebih bercahaya, auranya semakin sedap dipandang menambah ketampanannya. Tuhan,
izinkan aku bersama dengannya lebih lama lagi.
“Nad,
inget nggak, regulus bintang paling terang di rasi apa?” tanya Reo di
tengah-tengah keasikan mataku menelusuri kerupawanannya. Kujawab pertanyaannya
dengan anggukan yang lemah. “Apa?” Reo bertanya lagi.
“Rasi
bintang leo, kan?”
“Iya,”
jawabnya sambil tersenyum. “Kamu mau tahu nggak, mitologi rasi bintang leo?”
Aku
mengangguk sambil mengulum senyum berusaha mengusir kegelisahan. Kutopang
kepalaku dengan tangan, telapak tangan menempel pada pipi sebelah kiri, agar
nyaman menyimak kekasihku yang akan menjelaskan tentang antariksa kesukaannya.
Ini
menjadi pemandangan terfavoritku, sebab dia kelihatan istimewa ketika berbicara
tentang bintang. Gerakan tangannya yang berirama dengan suaranya yang lembut.
Wajahnya yang ceria, dan matanya yang selalu berpendar indah seolah-olah ada
milyaran gemintang cantik. Dia benar-benar malaikatku.
Kami
saling bertatapan, kemudian Reo tersenyum tipis, dan mulai bercerita.
“Suatu
hari singa Nemea datang ke Yunani dan membunuh orang-orang. Raja Euritus
memerintahkan Hercules untuk membunuh singa Nemea. Hercules menyerang singa itu
menggunakan semua senjata, tapi si singa terlalu kuat dan kebal.
Akhirnya
Hercules melawan singa Nemea dengan tangan kosong. Dia bergulat dan berhasil
memenangkan pertarungan itu. Hercules selalu memenangkan semua pertarungan.
Agar peristiwa itu bisa diingat oleh semua orang, Dewa Zeus mengirim jiwa singa
Nemea ke atas langit.”
“Hercules
anaknya Zeus, kan?” tanyaku seakan masuk dalam kisah yang Reo ceritakan. Aku
lupa-lupa ingat soal mitologi Yunani. Reo mengangguk. “Yang ibunya manusia?”
tanyaku lagi, Reo kembali mengangguk masih dengan mengulum senyum tipis. “Jadi
menurut mitologi Yunani, rasi bintang itu berasal dari nyawa makhluk hidup yang
dikirim ke langit, termasuk nyawa manusia yang udah mati?”
“Iya,
seperti yang Papah aku bilang, diabadikan menjadi bintang di langit.”
“Kok
kamu percaya, sih?”
“Ya
habis mau gimana, namanya juga anak kecil,” Reo nyengir, “Tapi emang bener kan
nyawa manusia pindah ke alam lain? Anggap aja ke langit. Jadi kalau kamu kangen
sama mereka yang udah meninggal, kamu bisa lihat bintang-bintang di langit,
Nad.”
3
Di tengah lamunan dan kerinduanku kepada Reo,
tiba-tiba tangan seseorang mengulurkan gelas plastik berisi cairan panas dengan
uap mengepul. Mataku menangkap se-cup
kehangatan yang ke luar dari gelas, menimbulkan hasrat untuk segera menyesapnya
di tengah hawa dingin.
Penasaran, aku segera menoleh dan melihat Cowok Arab
itu sedang memerhatikanku. Wajahnya kini berubah, kepongahan itu hilang
digantikan dengan keteduhan yang menghanyutkan.
Cowok itu memberikan isyarat—agar aku bersedia
menerima gelas itu—dengan gerakan tangannya. Aku langsung membuang muka dan
mengabaikannya.
“Terima atau kamu nggak bakal dapet apa yang kamu
butuhkan!” ujar si cowok setengah mengancam.
Ini orang niat
ngasih nggak sih?! ujarku dalam
hati, kembali meliriknya jutek. Sedetik berikutnya dengan setengah hati, kuraih
cup yang ada di tangannya tanpa
menatap cowok itu. Aku ingin tahu, apa sih maunya?!
Seketika telapak tanganku yang dingin terasa hangat
akibat hantaran panas dari gelas plastik. Kemarahanku menguap bersama uap panas
yang ke luar dari gelas. Dalam hati, aku mengucapkan terima kasih kepada cowok
itu. Kulirik wajahnya yang sedang serius menatapku, senyumnya terulas tipis
namun syarat kepuasaan karena aku bersedia menerima pemberiannya. Sepertinya
dia nggak terlalu jahat juga.
Kemuan kuesap perlahan isi gelas tersebut—yang
ternyata adalah hot chocolate
kesukaanku. Tahu saja cowok ini, dia memberiku cokelat agar suasana hatiku
berubah menjadi tenang. Dan memang betul, aku lebih rileks sekarang.
Hmmm, lezat. Mulutku penuh rasa cokelat yang hangat.
Aku meliriknya dari bibir gelas lalu berkata, “makasih, ya.”
Dia hanya mengangkat bahu masih dengan gaya sok cool, lalu berkata “nih buat kamu.”
Disodorkannya kantong plastik putih bergambar logo toko buku, sementara aku
hanya terdiam menatapnya. “Nggak mau nih?”
Gantian aku yang melemparkan wajah tanpa ekspresi.
“Mau apa maksudnya?”
“Benda yang ada di dalam kantong ini.”
“Iya. Itu benda apa ?” tanyaku mendadak berubah
menjadi bodoh, tatapan cowok itu berubah jengkel. “Buku, ya?” Aku bertanya
lagi.
“Menurut kamu apa? Lontong?” Dia bertanya. Sementara
bibirku tertarik beberapa centi seraya meliriknya. Dia melucu ya?! “Kok malah
senyum? Ini mau nggak? Saya hitung sampai tiga, kalau nggak mau—”
“Iya-iya mau,” potongku sambil meraih kantong itu,
lalu aku melemparkan senyuman penuh terima kasih. Cowok itu malah mengalihkan
pandangannya ke deretan mobil yang tengah diserang air hujan.
“Ini serius buat saya?” tanyaku.
Cowok Arab itu tersenyum seraya mengangguk. Seulas
senyuman tipis menghiasi bibirnya dan membuatnya terlihat jauh lebih tampan
lagi. Baru kali ini aku melihat senyuman merekah di bibirnya, dan itu
benar-benar menawan. Seakan musim dingin telah berlalu, dan musim semi menyapa.
Senyum penuh keceriaan.
“Makasih, ya,” ujarku.
“Dari pada nunggu di sini, basah dan dingin, mending
kita mampir ke toko itu,” usulnya sembari menunjuk salah satu toko donat di
samping gedung. “Kamu langganan busway,
kan? Kecuali kamu mau basah-basahan di dalam busway nanti.”
Dia benar, aku pengguna bus Trans Jakarta yang
lumayan setia—kalau sedang nggak mood
menyetir motor. Aku hanya tersenyum tipis dan menerima tawaran cowok itu.
Suasana di dalam toko sunyi dan tenang. Nggak terlalu
banyak pengunjung, bisa dihitung menggunakan jari. Lagipula, nampaknya mereka
pun menikmati kesyahduan nuansa mendung kelabu. Dingin, tenang, dan
menentramkan. Bahkan, titik-titik air yang tertinggal di kaca jendela seakan
meniupkan melodi genangan air hujan yang terlintas ban mobil berkecepatan
tinggi. Suasana hujan, menggambarkan keteduhan surga. Menebalkan kerinduanku
pada Reo.
Di tengah kebisuan dan kesibukan dengan pikiran
masing-masing, waitress wanita bercelemek dan bertopi mengantarkan pesanan kami.
Dua buah donat bertoping krim dengan taburan kacang almond dan dua cangkir cappuccino
hangat mejeng di atas meja kayu bulat.
“Nama saya Haykel,” katanya selembut beledu,
memecahkan kesunyian.
Cowok Arab itu duduk di hadapan sambil menatapiku.
Seluruh perhatiannya seakan hanya tertuju padaku. Namun kuenyahkan kebesaran
rasaku, agar nggak terlalu canggung. Kubalas tatapannya, penuh tanda tanya. Dan
sebenarnya penasaran, kenapa dia tetiba berubah menjadi baik padaku.
Aku memandangi rahang perseginya yang kelihatan
jantan. Ada titik-titik rambut tumbuh di bawah dagu dan sedikit di atas bibir
merahnya yang melengkung sempurna. Dari sorot matanya, dia terlihat
menjanjikan. Sisi cool-nya hilang,
ada sedikit wibawa terpancar dari mimik wajahnya.
“Kamu Nadhira, kan?” tanya Haykel agak kaku, aku
hanya mengangguk. “Nadhira Amirah Rahman.”
Aku tercenung, keningku mengerut, dan kedua alisku
terpaut. Dari mana dia tahu nama panjangku?
“Kok kamu tahu nama panjang saya?” tanyaku.
“Kan kamu yang tulis sendiri di kertas kemarin.”
“Masa sih? Kayaknya nggak deh,” sergahku sambil
mengingat-ingat.
“Iya, kamu tulis nama panjang kamu, Nadhira,”
jawabnya, saat menyebut namaku suaranya kedengaran halus banget membuatku
merinding, jadi aku hanya mengangguk untuk meresponnya.
“Hmm… kok kamu bisa ada di sini?” tanyaku.
“Ini Jakarta, Nadhira Amirah,” ucapnya.
Mendengar ada seorang cowok menyebut nama panjangku,
hatiku berdebar aneh, rasanya senang mendengar orang lain menyebut nama
panjang.
“Banyak orang di kota ini. Padat dan tempatnya nggak
terlalu luas. Jadi, kemungkinan ketemu besar, kan?” tanyanya.
Aku melongo. Kenyataannya aku jarang kok bertemu
kawan SMP meski Jakarta nggak luas.
Dia tertawa kalem lalu melanjutkan, “kata mamahku,
di sini koleksinya lumayan lengkap. Jadi, saya ke sini. Di perpus nggak bisa
pinjem lama, saya pikir cukup baca satu kali ternyata lebih puas memiliki.”
“Oh, kalau gitu sama! Saya ke sini juga rekomendasi
Mamah,” kataku sembari memerhatikan mata sendunya. Serius, segala yang ada di
wajahnya terlihat indah dan cocok. Lukisan bernyawa yang sempurna. “Kamu serius
mau kasih buku ini buat saya?” tanyaku, masih merasa nggak yakin.
“Ya.” Dia menjawab sambil menatapku dalam-dalam.
“Saya ngerasa bersalah karena udah nggak sopan dan nggak peduli sama kamu. Harusnya
saya pinjemin buat fotokopi kemaren. Padahal kamu butuh banget, sampe baju kamu
lepek kena air kotor, kan?” ucapnya, lalu tertawa kecil, sedangkan aku mengulum
senyum. “Saya nggak terlalu butuh buku itu. Serius kok, buat kamu.”
“Makasih banget, ya. Saya bener-bener butuh buku
ini. Kalau nanti kamu mau baca, boleh kok pinjem.”
“Oh, jadi sekarang posisinya ditukar, ya? Saya yang
pinjem buku itu ke kamu?” Haykel melirikku dari balik bulu matanya. Aku
mengangguk sambil menyembunyikan senyum. Lalu dia terkekeh. “Maafin sikap
nyebelin saya, ya. Tombol toleransinya lagi rusak.”
Aku mengangguk seraya tersenyum, kemudian berkata
“itu tombol urgent, nggak boleh
rusak, benerin dulu sana,”
Dia tertawa, “udah diperbaiki kok, gara-gara kena
hujan tadi,” katanya. Kini kami berdua tertawa kecil. Haykel sebenarnya baik.
Terkadang, apa yang nampak di luar belum tentu mencerminkan dalamnya.
“Kamu suka banget ya sama sosiologi?”
“Eh?” Aku terkejut diajukan pertanyaan berbobot pada
obrolan pertama. “Ooh… saya suka sosiologi karena pacar saya. Dia suka
sosiologi. Reo punya cita-cita besar,” kataku akhirnya. Ada rasa pahit dan pilu
mengingat kejadian itu.
6
Sebulan sekali, aku mengunjungi makam Reo. Kali ini
nggak sendiri, ada kedua sahabatku, Adele dan Coca. Juga ketiga sahabat Reo,
ada Amru, Edgar dan Prasto.
Kami berdoa, lalu mengenang beberapa momen yang
pernah dilalui bersama. Airmataku nggak pernah kering kalau sudah membahas
tentang bintang regulusku ini. Bayangannya berseragam putih abu-abu, rapi
dengan dasi dan gesper, juga nggak ketinggalan alis hitam dan senyum manisnya
terus menguasai benakku. Aku kangen padanya.
Kerinduan yang terus bertambah kutumpahkan di
samping pusaran makam. Bunga menutupi gundukan tanah. Pedih rasanya melihat
batu nisan bertuliskan nama orang yang sangat kusayang. Reonald Thaqif Amsyar.
Pulang dari makam, kami masih ada acara kumpul
bersama. Selalu mampir ke Apartemen Reo, hanya sekadar ngobrol atau lebih dari
itu. Misalnya karaoke bareng, nonton bareng, atau makan di luar. Untuk saat
ini, kami hanya duduk-duduk santai di depan tv plasma berukuran besar dan
tipis.
Ruangan ini terang benderang karena langsung
bersebelahan dengan kaca-kaca jendela yang memenuhi tembok ruangan, menyajikan
pemandangan wilayah Dr. Satrio penuh dengan mobil mikrolet berwarna biru asin dan
jajaran pekerja kantoran yang sedang mencari santapan siang hari.
Jendela-jendela besar berjajar sepanjang ruang keluarga dan ruang makan—yang
hanya dipisahkan dengan gundukan tangga tanpa tembok pemisah. Tirai cantik
berwarna krem disangkutkan di sisi ujung jendela.
Sofa-sofa empuk berwarna putih tulang ini tersusun
rapi mengelilingi meja kayu—dua sofa ganda, dua sofa single, dan satu sofa tanpa lengan—dengan karpet tebal lembut yang
warnanya senada dengan sofa, hanya sedikit lebih tua. Televisi plasma berukuran
sedang lengkap dengan home theatre
berdiri mantap di hadapan kami.
Dapur dan pantry
bersebelahan. Dapurnya berada di dalam ruangan terpisah bilik tanpa pintu, dan pantry di ruang terbuka berdampingan
dengan ruang keluarga—memudahkan kami mengambil makanan setiap kali disediakan.
Mamah suka lukisan jadi lumayan banyak lukisan
berbingkai yang menempel di tembok. Apartemen ini benar-benar minimalis, furniture matching, dan tertata rapi.
Kami semua betah ada di sini.
“Hahaha. Goblok.” Tawa Edgar memecahkan kesunyian di
ruang keluarga apartemen Reo.
Dia memang selalu seperti itu, kelebihan energi.
Edgar melempar beberapa butir kacang tanah masuk ke mulutnya. Padahal dia
sedang duduk setengah tiduran di atas sofa dengan kaki berselonjor nggak sopan
di atas meja—perlu diketahui! Ada enam gelas beling berisi cairan orange manis
menyegarkan, satu teko cantik dengan setengah penuh orange juice, dan dua mangkuk kudapan, kacang kulit dan popcorn—ngeri banget kakinya menyenggol
salah satu benda pecah beling itu. Lalu Edgar tertawa lagi melihat adegan lucu
Mr. Bean yang sudah diputar berkali-kali di tivi. Aduh aku ngeri dia tersedak
kacang.
Rambut Edgar yang ikal panjang membingkai wajah
super imutnya—memberi kesan kekanak-kanakan—ada tahi lalat tipis di bawah
bibir. Pokoknya menggemaskan. Saat ini Edgar bekerja di salah satu TV swasta,
katanya sih bagian desain grafis.
Gayanya benar-benar santai. Kaos oblong, celana
jeans, sesekali kaos berkerah, selalu menggunakan sepatu banyak mode, didominasi sneaker—kecuali sepatu
formal—sering juga pakai kemeja bassball
lengan pendek + manset, dan ukurannya nggak pernah pas di badan. Maksudku,
pakaiannya selalu lebih besar satu size
dari semestinya, no slimfit. Yah aku
sih mengerti, dia kan petakilan
banget. Bisa-bisa baju slimfitnya sobek.
“Lucu emang, Gar?” tanya Prasto seraya menggeleng
lalu dia melempar kulit kacang ke rambut Egdar yang mirip mie.
Sementara Prasto bekerja menjadi seorang akuntan—di
sebuah perusahaan swasta ternama—selalu sibuk. Pergi pagi, pulang sore. Tapi
setahuku, dia menyukai pekerjaannya. Karena begitulah Prasto, tipe cowok
serius, berkacamata bulat—tapi tetap trendy—rambutnya disisir rapi ala tahun
40an, cocok banget dengan wajah gantengnya yang langka. Hari-hari santainya
juga dominan mengenakan kemeja meski bawahannya jeans. Cowok ini mengingatkanku
pada Reo. Dia pendiam, tenang, dan pembawaannya dewasa.
“Lucu, To.” Amru ikut tertawa. “Dia manusia paling
kocak sedunia! Lo bayangin ya, masa kepala segede gitu bisa masuk ke pantat
ayam? Pea!” Amru masih tergelak.
“Itu kalkun bego.” Edgar nyamber.
“Ya gitu deh, tetep aje absurb,” jawab Amru. tawa
mereka membahana di ruangan ini.
Yang satu ini Amru, dia nggak sesantai Edgar dan
kadar seriusnya nggak setebal Prasto. Amru perpaduan. Dia selalu netral menilai
apa pun, nggak pernah memihak. Bijaksana.
Rambutnya hampir mendekati botak. Wajahnya tegas.
Hidungnya mancung. Bibirnya penuh. Dia paling betah memelihara rambut tipis
membentuk garis yang mengelilingi bibir atas sampai dagu. Kalau tertawa, serasa
menyicipi gula. Manis.
Belakangan ini, Amru sering bertemu dengan Ayah dan
mamasku. Perusahaan kontruksi ayahku bekerja sama dengan perusahaan advertising ayah Amru. Pekerjaan yang
cocok untuk Amru, karena dia kreatif dan inovatif, selalu bisa menemukan
ide-ide brilian yang unik.
Ramai, kan? Iya memang ramai, aku dikelilingi lima
orang sahabat, ditambah satu adik Reo yang sangat kusayangi—Reynaldi Syafiq
Amsyar—berusia 17 tahun, wajahnya sebelas-dua
belas dengan Reo, meski personality-nya
bersebrangan. Rey lebih santai. Kalau Reo suka fisika, Rey excited dengan komputer. Pernah sekali aku lihat dia sedang
mengotak-atik perangkat keras komputer, karena memang dia anak STM.
Semua orang-orang ini selalu mengelilingiku, suasana
jarang sepi. Tapi tetap saja, rasanya ada yang kurang. Rasanya hampa, karena
sebagian hatiku meledak dan hancur bersama kematian Reo.
Re, kangen! Bisikku lirih. Aku selalu rindu pada
Reo. Sudah lama banget nggak melihat senyumnya.
“Nad,” panggil Coca. Aku meliriknya, dia duduk di
sampingku seraya mengikir kuku tangannya yang lentik menggunakan alat
kecantikan khusus kuku.
Kenapa dipanggil Coca, padahal nama aslinya Firas?
Karena dia seperti cewek. Gerakannya gemulai, suaranya manja, pakaiannya super girly—celana jeans ketat, kemeja cowok
tapi warnanya selalu cerah ngejreng dan bulu matanya lentik—gaya rambutnya juga
paling punya ciri khas, berwarna merah menyala dan dia seorang desainer pemula
yang cukup terkenal. Well, kemampuannya
memang diperhitungkan selepas lulus dari universitas keren di Perancis.
“Gue denger, lo lagi deket sama cowok, ya?”
tanyanya.
“Denger dari siapa? Nggak kok!”
“Adele bilang cowok itu bikin lo menyala-nyala. Girl on fire, gitu.”
“Ah ngaco! Nggak, Ca, gue baru kenal juga sama dia.
Lagian dia juga nggak hubungin gue,” jawabku. Memang, sejak terakhir bertemu,
dia belum menghubungiku—seminggu yang lalu.
“Siapa, Nad?” tanya Edgar yang tiba-tiba sudah duduk
di sampingku, mata bulatnya menatapku lurus-lurus. “Kenalin ke gue! Kalau nggak
tuh cowok nanti gue santet pake boneka perca.”
Tawa Coca pecah. Aku pun ikut tersenyum lebar.
“Lo mau nyantet, apa main boneka?” tanya Coca, masih
tertawa. “Kerenan dikit dong, pake jenglot kek!”
“Gue mau main sama lo aja, Ca, lo mau juga kan?”
Edgar menjawab asal, sengaja menggoda Coca.
Coca mendengus jijik. Meski agak kecewek-cewekan,
dia normal. Masih suka cewek. Sementara aku dan Edgar terkekeh melihat ekspresi
Coca. Kemudian Coca berpindah duduk ke samping Prasto.
“Cowok siapa, Nad? Cerita dong!” Edgar merayuku, dia
sudah duduk bersandar pada sandaran sofa, kepalanya sengaja didekatkan dengan
lenganku.
“Nggak ada cowok-cowokan,” kataku sambil mendorong
kepala Edgar menjauhi lenganku. Dengan mudah kepalanya tegak, tapi lama-lama
turun lagi menempel pada lenganku. Kudorong lagi, eh menempel lagi. Berulang
seperti itu, sampai tiga kali. Aku tertawa sambil berkata, “Ih, kepala lo nggak
bisa ditegakin, ya?”
“Nggak! Sampe lo cerita!” jawabnya.
Aku menyerah dan membiarkannya bersandar padaku.
“Nggak ada cowok selain Reo, Gar.”
“Jangan bohong, gue bisa baca pikiran lo, Nad!” seru
Edgar, kurespon dengan menjauhi kepalanya lagi, tapi dia masih aja berhasil
menyandarkan kepala sebelum aku sempat bangun. Aku tertawa lagi, sahabat Reo yang
satu ini memang seperti anak-anak. Usil.
“Ih, Edgar! Berat tahu!” aku memekik gemas.
“Lo nggak sadar apa, ada kemiripan lain antara gue
sama Edward Cullen, selain wajah gue yang tampan?” canda Edgar. Aku
memberengut, pasti narsisnya keluar deh! “Gue bisa baca pikiran lo!”
sambungnya.
“Ngomong sana sama beo. Gue nggak mau denger!”
kataku berpura-pura menutup telinga.
“Ye, dibilangin!”
“Bodo!”
“Nih ya, gue coba tebak,” ujar Edgar lalu dia duduk
tegap, menyingkirkan kedua tanganku dari telinga lalu tanganku sudah berada
dalam genggamnya. Edgar mendadak serius menatap wajahku.
Karena kami bersahabat sudah cukup lama, aku
membalas tatapannya. Di tengah keseriusanku menatap Edgar, ada sesuatu yang
berbeda di matanya. Nggak pernah aku melihat kilat matanya yang serius. Kami
saling tatap lama. Hening.
“Lo suka kan sama gue?” tanyanya, lalu tertawa
terbahak-bahak. Aku langsung manyun. Edgar narsis lagi.
Kemudian Edgar pergi begitu saja menuju dapur, masih
dengan tawanya yang membahana.
“Berisik banget ya, Edgar.” Adele muncul dengan
membawa sebuah buku romantis klasik, karya Jane Austin, Emma. Dia duduk di
sampingku. “Gimana cowok yang nyeritain mitologi rasi bintang cancer? Udah
hubungin lo?”
Aku menggeleng, “Belum, mungkin dia nggak tertarik
bertemen sama gue.”
“Cie sedih… cie…” ledek Adele, “jangan-jangan lo
beneran ngarep dia ngubungin lo, ya?” tanya Adele, sementara aku menggeleng.
“Ayo ngaku!”
Aku tersipu malu, “Sedikit.” Aku berbohong. Jujur
aja, aku kepengin kenal sosok cowok yang tahu tentang mitologi rasi
bintang—selain Reo.
“Asik dong! Lo bakal normal lagi.” Coca yang duduk
di samping Prasto di sofa di hadapanku ikut nimbrung. “Kenalin ke kita, ya.”
Aku melihat Amru dan Prasto saling bertukar pandang,
lalu mereka berdua tersenyum padaku. “Iya, wajib dikenalin.”
Di tengah-tengah
perbincangan yang akrab, ponselku berdering nyaring. Aku malas angkat, nomornya
nggak kukenal. Jadi aku mengabaikannya sampai ringtone itu berhenti sendiri.
Tapi si pemilik unknown number itu nggak menyerah dan
membuat ponselku berdering sampai tiga kali. Akhirnya aku menepi, menghadap
kaca bening yang menampilkan gedung-gedung tinggi Jakarta di siang hari hanya
untuk mengangkat telpon yang nggak kuketahui. Aku menyapa dengan nada malas dan
judes.
“Halo! Siapa
nih?”
“Nadhira? Kenapa
baru angkat telponnya?” tanya suara itu, nampaknya suara itu sangat familiar di
telingaku.
“Maaf, ini
siapa?” Aku balik bertanya sambil mengernyit.
“Kamu cuma mau
angkat telpon yang kamu kenal? Oke, aku tutup telpon ya…”
“Eh, jangan!”
cegahku. “Maaf, tadi aku lagi ada tamu. Ini siapa?”
“Haykel,”
jawabnya selembut beledu.
Jantungku
berdekup sedikit lebih cepat, aku senang mendengar suaranya.
“Hallo?” Haykel
melanjutkan, karena aku hanya berdiam diri seraya merasakan setitik kebahagiaan
yang aku sendiri lupa bagaimana rasanya.
“Iya, Haykel,
ini Nadhira.”
“Hai, Nad,” sapa
Haykel, sepertinya dia terdengar gembira. Suaranya menentramkan.
“Apa kabar?”
“Baik. Kamu juga
pasti baik, kan?” tanyanya lembut penuh perhatian. Aku hanya berdeham merespon
pertanyaannya. Aku merasakan ada yang aneh dengan hatiku. Nggak tahu apa yang
terjadi, aku cuma… cuma bahagia bisa bicara lagi dengannya.
“Besok kamu
sibuk nggak?” tanyanya, kedengarannya sedikit gugup.
“Nggak terlalu
sibuk kok,” jawabku.
“Kalau gitu
besok mau temenin aku nyari buku?”
“Di mana?”
“Belum tahu,
yang penting kamu besok bisa,” kata Haykel, aku agak ragu untuk menerima
ajakannya. “Gimana Nad, bisa?”
“Ng… Oke.”
“Aku jemput,
ya.” Haykel menawarkan.
“Eh? Jemput?
Nggak usah deh, ketemu langsung di TKP aja, ya.”
Sebenarnya bukan
itu alasanku. Kami baru kenal, kalau dia jemput aku, terus aku dibawa kabur
gimana? Ketemuan langsung di lokasi tujuan kayaknya pilihan bijak. Well, di sana cukup banyak orang jadi
dia nggak akan bisa membawaku kabur. Waspada itu penting.
“Oh, oke. Grand
Indonesia, ya.”
“Ok.
See you tomorrow,” ucapku malu-malu
dan senang bukan main.
“Dah…” katanya.
“Dadah…”
balasku.
Sepertinya kami
sama-sama enggan memutuskan sambungan telpon. Setelah beberapa detik, akhirnya
aku yang mematikan telponnya. Aku menggigit bibir menahan senyuman.
“Ehem… ada apa
nih senyum-senyum? Bahagia banget kayaknya, Kak!” kata Rey yang sudah berdiri
di belakangku.
“Rey, kamu Knowing Every Particular Object!! Alias
KEPO!” ledekku, lalu langsung berjalan setengah menuju ruang tamu menghampiri
sahabatku.
Di ruang tamu
kelima sahabatku melemparkan pandangan yang aneh. Maksudku, mereka seperti
melihat benda mati yang bergerak sendiri di rumah sakit berhantu.
“Kenapa?”
tanyaku merasa ditusuk tatapan yang kelihatannya dalam.
“Nggak apa-apa.”
Adele yang menjawab, lalu kedua sahabatku saling bertukar pandang dan tersenyum
lega.
Ada apa sih
dengan mereka?! Well, biarkan saja
yang penting aku senang dan nggak sabar menunggu besok.
Bagus, Mbak. Berarti genre young-adult ya?
BalasHapusMakasih Fajri sudah mampir.
BalasHapusIya benar. Young Adult. :D