ABANG
Kau nikmat terindah yang tak
mampu kudustai
Namaku Annisa, usiaku menginjak
24 tahun, status? aku seorang guru kelas II SD, bukan PNS, hanya guru honorer.
Oh, bukan status itu maksudnya? Lalu apa? Hmmm… baiklah, aku mengerti! Aku
seorang jomblo, tapi bukan jones—jomblo ngenes—karena aku sadar, apalah artinya
manusia tanpa kehendak Dia sang pemilik jagat raya, it`s nothing! Jadi, aku menolak nasib mengenaskan, dan bertekad
menyerahkan segala hidup dan matiku padaNya, mempelajari ilmu ikhlas, ber-husnudzon[1] pada Allah, bahwa
Dia menyayangiku, Dia pasti memberikan yang terbaik untukku.
Tapi aku tidak berpangku tangan menunggu jodohku
tiba. Beberapa usaha kulakukan, salah satunya ikut acara perpisahan pensiunan
guru agama sekecamatan Mampang—ikut rombongan Mamah, beliau guru agama.
Di Lembang aku bertemu dua pria yang modus. Akhirnya aku tahu, pria berkepala botak hanya modus dan bercanda
saja. Menjadikan perasaan sebagai lelucon itu… kejam sekali!!
Meski cukup kesal dengan kelakuan absurb-nya, aku tidak sakit hati karena
sebenarnya aku lebih tertarik pada pria satunya. Pria pendiam, bertopi hitam
dengan sejumput rambut tipis di bawah bibirnya. Yang kutahu namanya Farhan, dia
lebih tenang, pembawaannya adem dan misterius.
Ada beberapa tanda yang mengindikasikan, mengapa aku
bisa berpikiran ‘aku tahu dia agak
sedikit tertarik padaku’. Allah memberikan kemampuan bagi otak kita untuk
dapat memahami gesture tubuh. Sayang, sampai akhir acara dia terlalu pemalu untuk meminta nomor kontakku—padahal
aku menantinya. Dan meyakini Dia yang membolak-balikkan hati pasti sangat mengetahui kapan waktu yang pas untuk meng-klik dua hati menjadi satu.
Dalam jangka waktu empat hari, kami langsung akrab, padahal hanya berhubungan lewat applikasi smartphone.
Aku memanggilnya Abang, sementara dia menyebutku Adek. Kenyamanan bukanlah hal
yang mudah didapat dalam sebuah hubungan, tapi aku nyaman sekali berbagi kata
dengannya, bagai dua jiwa yang hidup dalam satu rasa, satu hati.
Dalam sebuah pesan di aplikasi Blackberry Messanger kami mengobrol banyak, mulai dari yang
biasa-biasa, kode-kode perasaan, sampai sesuatu yang membuat hatiku ketar-ketir
dan mulai meyakini keajaiban Tuhan. Seperti ini dialognya;
BBM hari ke tiga.
Farhan:
Jangan lupa pelajari ilmu meluluhkan hati seseorang juga. Hehe. Adanya di SD
doang.
Nisa: Aku nggak pandai
meluluhkan hati seseorang, Bang. Kekuranganku banyak. Tapi aku berusaha dan
minta sama Allah, supaya perasaan aku bisa nyampe ke seseorang itu.
Farhan:
Ah masa sih? Emang dulu nggak pernah pacaran apa?
Nisa: Sekarang nggak mau
pacaran, makanya minta Allah pilihin, hehehe. Orangnya lagi dipilihin sama
Allah, aku kepenginnya sih kayak Abang. *uhuk.
Farhan:
Kok kayak Abang? Kenapa?
Nisa: Imanku masih naik
turun, butuh imam yang bisa nuntun aku dan anak-anak taat, pastinya jannah.
Aamiin, hehe. Dan menurutku abang oke.
Farhan:
Ah bisa aja. Adek orang baik nanti jodohnya juga baik kok… hehe.
Nisa: Aamiin, insyaa
Allah. J
Farhan:
Besok jalan yuk! Terserah Ade enaknya ke mana. Apa abang main ke rumah Ade?
Nah itu percakapan kami di hari rabu. Tiba hari
jumat Abang langsung datang ke rumahku membawa jeruk dengan kuantitas cukup
banyak—sepuluh buah. Aku menilai, Abang memiliki attitude dan nilai kesopanan yang baik. Meskipun pemalu yang butuh
dipanasi lebih dulu sebelum bisa bersikap santai. Bayangkan saja! Kusuguhkan
senyuman sejuta manisnya saat Abang baru saja tiba di rumah, dia hanya membalas
dengan ekspresinya yang kosong—tapi menggemaskan.
Walaupun agak kaku di awal, kami mengobrol cukup
panjang. Mulai dari berbicara tentang keluarganya, keluargaku, aktivitas kami, dan
banyak lagi. Waktu tidak terlalu bersahabat, jarum jam berputar terlalu cepat,
alhasil keakraban ini serasa singkat, padahal sudah dua jam kami habiskan.
Betapa nyamannya situasi seperti ini. Dia ingin pulang, hatiku menginginkan dia
tetap di sini. Tapi siapa aku? Belum… kami baru tahap pengenalan. Ah… keajaiban
lagi-lagi muncul melalui sebuah doa indah dari bibirnya.
Doa dia sebelum kami bertemu adalah “Berdoa ya, Dek,
semoga kita cocok. Berdoa, berusaha dan tawakal, ya Nisa.” Hatiku langsung
hanyut dibawa tsunami saking terharunya—ditambah Abang memanggilku Nisa, it was so special. Setelah pulang dari
rumahku, doanya berubah seperti ini.
BBM hari ke lima
Farhan: Dek, Adek serius sama abang? Kan kita belum kenal banget.
Nisa: Sejauh ini aku
serius. Aku yakin, ini cara Allah. Mamah kepengin punya mantu kayak Abang. Aku
banyak kurangnya tapi aku pasti berusaha supaya pantas buat abang.
Farhan:
Ah kamu bukannya banyak lebihnya?
Nisa: Awas ya ngeledek
:D. (Paham banget, maksudnya kelebihan berat badan. Haha. Untung aku sudah nggak se-baper dahulu kala. Hihi)
Farhan:
Doain terus ya, hubungan kita biar langgeng terus. Abang ikhlas untukmu, Dek.
Insyaa Allah.
Nisa: Aku juga, Bang
:’). Mudah-mudahan lancar, ya. Diperkuat istikharah. Abang bimbing aku, ya.
Farhan:
Bimbing kenapa? Kamu nggak bisa jalan, ya? hehe
Nisa: Bimbing kalau aku
bengkok, dilurusin. Hehe
Kemudian kami bergurau sambil bermain kode-kodean.
Dan beberapa menit kemudian pembicaraan kembali serius.
Farhan:
Dek, kalau kita jadi, apa cukup dengan gaji honor? Hehe.
Nisa: Pelan-pelan, Bang.
Kita rintis bareng-bareng, hehehe. Mudah-mudahan UMP lancar. Yakin, selalu ada
imbalan dari Allah kalau ngajarnya ikhlas dan bener.
Ya, memang gaji kami hanya tujuh ratus ribu. Dan ada desas-desus ke depannya guru honor akan dibayarkan sesuai ketentuan Upah Minimum Pendapatan, hanya saja prosedurnya belum jelas.
Lalu kami melanjutkan dengan percakapan santai. Dan
dia mulai berani mengungkapkan apa yang dia rasakan.
Farhan:
Abang senang dengan cara kamu berjilbab, Dek. Enak dipandang ditambah senyuman Ade
yang manis dan beberapa kumis tipis. Hehe
Nisa: Huhuhu… Syukron
Abang. Doain istiqomah, ya.
Farhan:
Tapi ada yang tak kalah penting, yaitu akhlak dan budi pekertimu sebagai
wanita. Sungguh menawan.
Nisa: Itu kuncinya,
dengan adanya Abang, aku berharap semakin baik akhlakku.
Farhan:
Pengen dah cepat-cepat kita bersatu dan bersama. Doakan Abang biar cepat dapat
rezeki yang banyak dan berkah untuk menghalalkanmu, Dek.
Nisa: Aamiin ya Allah.
Shalat istikharah dulu, Bang. Biar makin kokoh. Pacarannya setelah nikah.
Farhan:
Iya Adek. Bukan waktunya lagi kita bercanda, tapi harus serius menata masa
depan.Kalau bisa tahun ini udah kamu halal untuk Abang.
Nisa: Aamiin, ya Rabb.
Farhan:
Dek, abang pengen deh share sama Ade.
Nisa: Share aja, Bang.
Ade mau dengerin. Tentang apa?
Farhan:
Tentang ke depannya kita berdua. Besok aja ya, Dek, abis kondangan.
****
Minggu pagi, 8 Februari 2015, rinai hujan membasahi sebagian
besar kota Jakarta. Harum tanah menyeruak memenuhi indera penciuman, melodi
yang diciptakan titik-titik air itu terdegar syahdu, menambah gairah untuk
kembali bersembunyi di balik selimut. Namun itu tidak berpengaruh untukku.
Pasalnya gairah itu dapat dikalahkan dengan telak oleh rasa semangat untuk
bertemu calon pasangan hidup.
Aku sudah rapi dengan gamis berbahan satin, merumbai
elegan bak seorang putri dari Timur Tengah. Gamis yang kukenakan berwarna hijau
tosca yang kupadu dengan khimar berwarna ungu, menambah kesan muda dan fresh.
Ketika sedang memperbaiki lipatan khimar di sisi
kepala, aku mendengar suara deruan mesin motor berhenti tepat di depan
rumah—spekulasi. Tidak kencang tapi cukup memberikan pertanda bahwa pangeranku
sudah tiba.
Oke, jujur saja, perasaanku agak berdebar ketika
kulihat punggungnya dari belakang. Farhan—bismillah calon imamku—mengenakan
celana hitam panjang dengan atasan kokoh putih lengan pendek, namun peci putih
yang biasa dia kenakan tidak nampak. Dia tengah bicara sepatah dua kata pada
ayahku. Aku berdiri di samping list pintu ganda, menatapi punggungnya bersiap
mempersilahkannya masuk.
Setelah membuatkan secangkir kopi dan meletakkan
gelas di meja ruang tamu, aku duduk di sofa berbantal namun bahan dasarnya kayu
jati. Abang duduk di hadapanku, terpisah satu kursi dan meja.
“Abang nggak enak nih, pagi-pagi udah main ke rumah
orang,” katanya dengan wajah menyesal.
“Nggak apa-apa, Abang. Kan kita niatnya mau langsung
jalan ke pengajian. Tapi—” Kuhentikan kalimatku sambil menatap melas ke arah
langit yang cerah namun air hujan masih terus turun. Aku melanjutkan, “Hujan.
Kita nunggu aja ya, sampai hujannya reda baru jalan.”
Obrolan berlanjut santai dan tentram, ditemani suara
gemericik hujan yang syahdu. Rasanya semakin nyaman dan akrab. Meski aku harus
berjuang mati-matian melebarkan telingaku, karena suaranya subhanallah… lembut
sekali.
“Abang mau share
apa? Ayo ngomong di sini aja.”
“Tentang masa depan kita, Dek.” Abang berkata
setelah beberapa detik tersenyum sambil menatapiku tajam. “Adek tahu sendiri
kan, gaji guru honorer seberapa? Nggak sampai satu juta, Abang kepengin
cepet-cepet halalin Adek. Abang usaha apa aja, yang penting halal. Gadai-in
motor kek, ngojek kek, atau bisnis yang lain—”
Belum selesai Abang bicara, hatiku sudah terenyuh.
Aku sedih mendengar kesungguhan Abang, tatapan matanya pun tulus, aku bisa
merasakan sendiri bagaimana perasaan Abang. Ingin segera melaksanakan sunah
rasul tapi berkendala dengan materi.
“Adek mau
nungguin Abang?” tanyanya, aku mengangguk. “Tapi kita nggak terikat, kalau misalkan
adek mau jalan sama cowok lain, boleh… tapi jangan kasih tahu Abang, dan kalau
ada cowok lain yang lebih baik dari Abang ngelamar adek, adek boleh terima,
abang ikhlas. Abang juga begitu—”
Ya ampun, betapa dewasa pemikiran abang ini.
Seharusnya aku merasa senang karena tidak terkekang dalam suatu hubungan yang
belum sah, tapi kenapa aku justru ingin Abang mengikatku. Dan aku sama sekali
tidak bisa membayangkan, bagaimana lukanya perasaanku jika Abang bersama
perempuan lain. Aku menginginkan Abang, aku butuh Abang. Tapi Abang benar,
semua bukan hak manusia untuk menentukan kehendak. Jadi senjataku hanya bisa
berdoa. Ya Allah jaga hati Abang untukku.
“Tapi Abang nggak begitu kok, Abang cuma deket sama Adek,
Abang nggak mau nyakitin.”
“Iya, Bang. Aku nungguin Abang ya, kita berdoa dan
berusaha supaya Allah bantu kita, pintu rezeki Abang dibuka semua.”
“Iya, Dek. Jujur Abang belum ada. Paling lama abang
usahain dua tahun ngumpulin uang terus ngelamar kamu ya. Tapi Abang pengennya
tahun ini juga. Abang seneng kalau adek mau ingetin abang, ‘Bang, udah setahun
nih hubungan kita… ayo semangat lagi usahanya!’”
Obrolan ini membuatku merasa mulia, ada seorang pria
yang ingin aku menjadi halal untuknya. Tidak hanya sekali Abang mengungkapkan
rasa itu. Ini first date kami, tapi
rasa canggung musnah sudah karena adanya persamaan rasa.
Ada kejadian lucu yang bakal menjadi kenangan
terindah. Sebelum berangkat kondangan—pengajian batal karena hujan tak kunjung
berhenti—aku meminta Abang menganti baju di ruang tamu, dan aku berpindah ke
ruang tengah. Beberapa menit, aku kembali ke ruang tamu dan mendapati Abang
tengah duduk lemas bersandar kemudian menunjukkan bahwa kancing bajunya lepas
karena ayahku yang tiba-tiba lewat. Lalu Abang memintaku menjahitkan kancing
baju itu di batiknya. Benang itu berusaha kumasukkan ke dalam lobang jarum,
tapi terlalu kecil jadi Abang yang mengambil alih, dan taraaa… benangnya masuk.
Hehehe.
“Kalau nggak rapi, nggak apa-apa ya, Bang.”
“Nggak apa-apa, kan kamu bukan penjahit, Dek.” Abang
menjawab, sementara aku sibuk menjahit. “Cantiknya calon istri, Abang.” Abang
memujiku, aku meliriknya yang tengah menatapiku dengan senyum kekaguman yang
lebar. Aku pun tersipu.
Setelah gerimis berhenti menitik, aku dan Abang
melanjutkan perjalanan. Biasanya aku kondangan sendiri atau minta Hana
menemaniku, tapi sekarang—ehem…—sudah ada pria yang berdiri di sampingku,
seorang pria yang sangat memperhatikan penampilan—sebelas duabelas denganku.
Ada beberapa perkataannya yang membuatku bersyukur
terlahir sebagai seseorang yang pernah bengkok namun Allah memberikan
kesempatan kedua padaku untuk taat padanya dengan menghadirkan sosok pria
seperti Farhan, melihatnya, memikirkannya membuatku teringat pada Tuhan.
Kuceritakan pertemuan pertamaku pada seorang sahabat
baikku via BBM:
Nisa: Makasih ya, Ai.
Mohon doanya semoga rezeki Abang lancar. Dia kepengin halal-in gue. kemarin kan
kita ketemu duduk hadap-hadapan. Dia sering nggak mandang gue. Katanya takut
napsu kalau mandangin gue. Hehe. Eh… akhirnya dia memutuskan ketemu tiga minggu
lagi. Telpon pun nggak boleh. Padahal gue kangen. Awalnya gue bete, tapi itulah
cara dia memuliakan gue.
Aini: Anjrit dah… jarang
banget ada cowok yang begitu, Ke.
Nisa: Nih Abang bilang
gini, “Iya, Abang kangen banget tapi kalau Abang nggak kuat, yaudah tinggal
ngomong sama Ayah dan Mamah biar kita dihalalin dulu baru resepsi.” Dia nahan,
Ai. Nahan rasa :’(. Gue seneng, itu tandanya dia sayang sama gue. Kemarin aja
abis shalat dzuhur berjamaah dia jadi imam, terus setelah shalat dia bilang
“Pengen dah buru-buru halalin adek. Pegang tangan adek. Peluk Adek.”
Aini: Ya ampun, Sa. Gue
baca pengen nangis deh :’(. Asli gue iri banget sama lo.
Nisa: Gue doain lo ya,
Ai. Supaya dapet yang terbaik. Gue pun merasa nggak pantas buat dia. Dia tipe
orang yang nggak gampang marah, sedangkan gue lo tahu sendiri! Tapi gue punya
tekad nggak mau ngecewain dia. Gue bilang gini, “Abang, aku punya kekurangan.
Tapi aku berusaha untuk jadi istri yang taat. Kalau aku bengkok, Abang bantu
lurusin aku ya.” Dia nanya, “Emang apa kurangnya kamu, Dek?” Gue jawab,
“Misalnya aku marah-marah sama Abang.” Dan dia jawab “Kalau kamu marah-marah,
Abang bakal peluk kamu, Abang tanya baik-baik, kamu marah kenapa, Dek?” Ya
Allah Ai, gue pengin nangis.
Sepenggal kisah yang manis, penuh keajaiban Tuhan
yang dapat muncul karena keikhlasan, kesabaran dan keyakinan bahwa Tuhan tahu
yang terbaik untuk hambaNya. Kebahagiaan akan datang tepat waktu. Bersabarlah.
****
[1]
Husnudzon: Prasangka baik.