Jumat, 10 November 2017

Abang...

ABANG
Kau nikmat terindah yang tak mampu kudustai

Namaku Annisa, usiaku menginjak 24 tahun, status? aku seorang guru kelas II SD, bukan PNS, hanya guru honorer. Oh, bukan status itu maksudnya? Lalu apa? Hmmm… baiklah, aku mengerti! Aku seorang jomblo, tapi bukan jones—jomblo ngenes—karena aku sadar, apalah artinya manusia tanpa kehendak Dia sang pemilik jagat raya, it`s nothing! Jadi, aku menolak nasib mengenaskan, dan bertekad menyerahkan segala hidup dan matiku padaNya, mempelajari ilmu ikhlas, ber-husnudzon[1] pada Allah, bahwa Dia menyayangiku, Dia pasti memberikan yang terbaik untukku.

Tapi aku tidak berpangku tangan menunggu jodohku tiba. Beberapa usaha kulakukan, salah satunya ikut acara perpisahan pensiunan guru agama sekecamatan Mampang—ikut rombongan Mamah, beliau guru agama.

Di Lembang aku bertemu dua pria yang modus. Akhirnya aku tahu, pria berkepala botak hanya modus dan bercanda saja. Menjadikan perasaan sebagai lelucon itu… kejam sekali!!

Meski cukup kesal dengan kelakuan absurb-nya, aku tidak sakit hati karena sebenarnya aku lebih tertarik pada pria satunya. Pria pendiam, bertopi hitam dengan sejumput rambut tipis di bawah bibirnya. Yang kutahu namanya Farhan, dia lebih tenang, pembawaannya adem dan misterius.

Ada beberapa tanda yang mengindikasikan, mengapa aku bisa berpikiran ‘aku tahu dia agak sedikit tertarik padaku’. Allah memberikan kemampuan bagi otak kita untuk dapat memahami gesture tubuh. Sayang, sampai akhir acara dia terlalu pemalu untuk meminta nomor kontakku—padahal aku menantinya. Dan meyakini Dia yang membolak-balikkan hati pasti sangat mengetahui kapan waktu yang pas untuk meng-klik dua hati menjadi satu.  

Dalam jangka waktu empat hari, kami langsung akrab, padahal hanya berhubungan lewat applikasi smartphone. Aku memanggilnya Abang, sementara dia menyebutku Adek. Kenyamanan bukanlah hal yang mudah didapat dalam sebuah hubungan, tapi aku nyaman sekali berbagi kata dengannya, bagai dua jiwa yang hidup dalam satu rasa, satu hati.

Dalam sebuah pesan di aplikasi Blackberry Messanger kami mengobrol banyak, mulai dari yang biasa-biasa, kode-kode perasaan, sampai sesuatu yang membuat hatiku ketar-ketir dan mulai meyakini keajaiban Tuhan. Seperti ini dialognya;

BBM hari ke tiga.

Farhan: Jangan lupa pelajari ilmu meluluhkan hati seseorang juga. Hehe. Adanya di SD doang.
Nisa: Aku nggak pandai meluluhkan hati seseorang, Bang. Kekuranganku banyak. Tapi aku berusaha dan minta sama Allah, supaya perasaan aku bisa nyampe ke seseorang itu.
Farhan: Ah masa sih? Emang dulu nggak pernah pacaran apa?
Nisa: Sekarang nggak mau pacaran, makanya minta Allah pilihin, hehehe. Orangnya lagi dipilihin sama Allah, aku kepenginnya sih kayak Abang. *uhuk.
Farhan: Kok kayak Abang? Kenapa?
Nisa: Imanku masih naik turun, butuh imam yang bisa nuntun aku dan anak-anak taat, pastinya jannah. Aamiin, hehe. Dan menurutku abang oke.
Farhan: Ah bisa aja. Adek orang baik nanti jodohnya juga baik kok… hehe.
Nisa: Aamiin, insyaa Allah. J
Farhan: Besok jalan yuk! Terserah Ade enaknya ke mana. Apa abang main ke rumah Ade?

Nah itu percakapan kami di hari rabu. Tiba hari jumat Abang langsung datang ke rumahku membawa jeruk dengan kuantitas cukup banyak—sepuluh buah. Aku menilai, Abang memiliki attitude dan nilai kesopanan yang baik. Meskipun pemalu yang butuh dipanasi lebih dulu sebelum bisa bersikap santai. Bayangkan saja! Kusuguhkan senyuman sejuta manisnya saat Abang baru saja tiba di rumah, dia hanya membalas dengan ekspresinya yang kosong—tapi menggemaskan.

Walaupun agak kaku di awal, kami mengobrol cukup panjang. Mulai dari berbicara tentang keluarganya, keluargaku, aktivitas kami, dan banyak lagi. Waktu tidak terlalu bersahabat, jarum jam berputar terlalu cepat, alhasil keakraban ini serasa singkat, padahal sudah dua jam kami habiskan. Betapa nyamannya situasi seperti ini. Dia ingin pulang, hatiku menginginkan dia tetap di sini. Tapi siapa aku? Belum… kami baru tahap pengenalan. Ah… keajaiban lagi-lagi muncul melalui sebuah doa indah dari bibirnya.

Doa dia sebelum kami bertemu adalah “Berdoa ya, Dek, semoga kita cocok. Berdoa, berusaha dan tawakal, ya Nisa.” Hatiku langsung hanyut dibawa tsunami saking terharunya—ditambah Abang memanggilku Nisa, it was so special. Setelah pulang dari rumahku, doanya berubah seperti ini.

BBM hari ke lima

Farhan: Dek, Adek serius sama abang? Kan kita belum kenal banget.
Nisa: Sejauh ini aku serius. Aku yakin, ini cara Allah. Mamah kepengin punya mantu kayak Abang. Aku banyak kurangnya tapi aku pasti berusaha supaya pantas buat abang.
Farhan: Ah kamu bukannya banyak lebihnya?
Nisa: Awas ya ngeledek :D. (Paham banget, maksudnya kelebihan berat badan. Haha. Untung aku sudah nggak se-baper dahulu kala. Hihi)
Farhan: Doain terus ya, hubungan kita biar langgeng terus. Abang ikhlas untukmu, Dek. Insyaa Allah.
Nisa: Aku juga, Bang :’). Mudah-mudahan lancar, ya. Diperkuat istikharah. Abang bimbing aku, ya.
Farhan: Bimbing kenapa? Kamu nggak bisa jalan, ya? hehe
Nisa: Bimbing kalau aku bengkok, dilurusin. Hehe
Kemudian kami bergurau sambil bermain kode-kodean. Dan beberapa menit kemudian pembicaraan kembali serius.
Farhan: Dek, kalau kita jadi, apa cukup dengan gaji honor? Hehe. 
Nisa: Pelan-pelan, Bang. Kita rintis bareng-bareng, hehehe. Mudah-mudahan UMP lancar. Yakin, selalu ada imbalan dari Allah kalau ngajarnya ikhlas dan bener. 

Ya, memang gaji kami hanya tujuh ratus ribu. Dan ada desas-desus ke depannya guru honor akan dibayarkan sesuai ketentuan Upah Minimum Pendapatan, hanya saja prosedurnya belum jelas.

Lalu kami melanjutkan dengan percakapan santai. Dan dia mulai berani mengungkapkan apa yang dia rasakan.
Farhan: Abang senang dengan cara kamu berjilbab, Dek. Enak dipandang ditambah senyuman Ade yang manis dan beberapa kumis tipis. Hehe
Nisa: Huhuhu… Syukron Abang. Doain istiqomah, ya.
Farhan: Tapi ada yang tak kalah penting, yaitu akhlak dan budi pekertimu sebagai wanita. Sungguh menawan.
Nisa: Itu kuncinya, dengan adanya Abang, aku berharap semakin baik akhlakku.
Farhan: Pengen dah cepat-cepat kita bersatu dan bersama. Doakan Abang biar cepat dapat rezeki yang banyak dan berkah untuk menghalalkanmu, Dek.
Nisa: Aamiin ya Allah. Shalat istikharah dulu, Bang. Biar makin kokoh. Pacarannya setelah nikah.
Farhan: Iya Adek. Bukan waktunya lagi kita bercanda, tapi harus serius menata masa depan.Kalau bisa tahun ini udah kamu halal untuk Abang.
Nisa: Aamiin, ya Rabb.
Farhan: Dek, abang pengen deh share sama Ade.
Nisa: Share aja, Bang. Ade mau dengerin. Tentang apa?
Farhan: Tentang ke depannya kita berdua. Besok aja ya, Dek, abis kondangan.

****
Minggu pagi, 8 Februari 2015, rinai hujan membasahi sebagian besar kota Jakarta. Harum tanah menyeruak memenuhi indera penciuman, melodi yang diciptakan titik-titik air itu terdegar syahdu, menambah gairah untuk kembali bersembunyi di balik selimut. Namun itu tidak berpengaruh untukku. Pasalnya gairah itu dapat dikalahkan dengan telak oleh rasa semangat untuk bertemu calon pasangan hidup.

Aku sudah rapi dengan gamis berbahan satin, merumbai elegan bak seorang putri dari Timur Tengah. Gamis yang kukenakan berwarna hijau tosca yang kupadu dengan khimar berwarna ungu, menambah kesan muda dan fresh.

Ketika sedang memperbaiki lipatan khimar di sisi kepala, aku mendengar suara deruan mesin motor berhenti tepat di depan rumah—spekulasi. Tidak kencang tapi cukup memberikan pertanda bahwa pangeranku sudah tiba.

Oke, jujur saja, perasaanku agak berdebar ketika kulihat punggungnya dari belakang. Farhan—bismillah calon imamku—mengenakan celana hitam panjang dengan atasan kokoh putih lengan pendek, namun peci putih yang biasa dia kenakan tidak nampak. Dia tengah bicara sepatah dua kata pada ayahku. Aku berdiri di samping list pintu ganda, menatapi punggungnya bersiap mempersilahkannya masuk.

Setelah membuatkan secangkir kopi dan meletakkan gelas di meja ruang tamu, aku duduk di sofa berbantal namun bahan dasarnya kayu jati. Abang duduk di hadapanku, terpisah satu kursi dan meja.
“Abang nggak enak nih, pagi-pagi udah main ke rumah orang,” katanya dengan wajah menyesal.

“Nggak apa-apa, Abang. Kan kita niatnya mau langsung jalan ke pengajian. Tapi—” Kuhentikan kalimatku sambil menatap melas ke arah langit yang cerah namun air hujan masih terus turun. Aku melanjutkan, “Hujan. Kita nunggu aja ya, sampai hujannya reda baru jalan.”

Obrolan berlanjut santai dan tentram, ditemani suara gemericik hujan yang syahdu. Rasanya semakin nyaman dan akrab. Meski aku harus berjuang mati-matian melebarkan telingaku, karena suaranya subhanallah… lembut sekali.

“Abang mau share apa? Ayo ngomong di sini aja.”

“Tentang masa depan kita, Dek.” Abang berkata setelah beberapa detik tersenyum sambil menatapiku tajam. “Adek tahu sendiri kan, gaji guru honorer seberapa? Nggak sampai satu juta, Abang kepengin cepet-cepet halalin Adek. Abang usaha apa aja, yang penting halal. Gadai-in motor kek, ngojek kek, atau bisnis yang lain—”

Belum selesai Abang bicara, hatiku sudah terenyuh. Aku sedih mendengar kesungguhan Abang, tatapan matanya pun tulus, aku bisa merasakan sendiri bagaimana perasaan Abang. Ingin segera melaksanakan sunah rasul tapi berkendala dengan materi.

“Adek mau nungguin Abang?” tanyanya, aku mengangguk. “Tapi kita nggak terikat, kalau misalkan adek mau jalan sama cowok lain, boleh… tapi jangan kasih tahu Abang, dan kalau ada cowok lain yang lebih baik dari Abang ngelamar adek, adek boleh terima, abang ikhlas. Abang juga begitu—”

Ya ampun, betapa dewasa pemikiran abang ini. Seharusnya aku merasa senang karena tidak terkekang dalam suatu hubungan yang belum sah, tapi kenapa aku justru ingin Abang mengikatku. Dan aku sama sekali tidak bisa membayangkan, bagaimana lukanya perasaanku jika Abang bersama perempuan lain. Aku menginginkan Abang, aku butuh Abang. Tapi Abang benar, semua bukan hak manusia untuk menentukan kehendak. Jadi senjataku hanya bisa berdoa. Ya Allah jaga hati Abang untukku.

“Tapi Abang nggak begitu kok, Abang cuma deket sama Adek, Abang nggak mau nyakitin.”

“Iya, Bang. Aku nungguin Abang ya, kita berdoa dan berusaha supaya Allah bantu kita, pintu rezeki Abang dibuka semua.”

“Iya, Dek. Jujur Abang belum ada. Paling lama abang usahain dua tahun ngumpulin uang terus ngelamar kamu ya. Tapi Abang pengennya tahun ini juga. Abang seneng kalau adek mau ingetin abang, ‘Bang, udah setahun nih hubungan kita… ayo semangat lagi usahanya!’”

Obrolan ini membuatku merasa mulia, ada seorang pria yang ingin aku menjadi halal untuknya. Tidak hanya sekali Abang mengungkapkan rasa itu. Ini first date kami, tapi rasa canggung musnah sudah karena adanya persamaan rasa.

Ada kejadian lucu yang bakal menjadi kenangan terindah. Sebelum berangkat kondangan—pengajian batal karena hujan tak kunjung berhenti—aku meminta Abang menganti baju di ruang tamu, dan aku berpindah ke ruang tengah. Beberapa menit, aku kembali ke ruang tamu dan mendapati Abang tengah duduk lemas bersandar kemudian menunjukkan bahwa kancing bajunya lepas karena ayahku yang tiba-tiba lewat. Lalu Abang memintaku menjahitkan kancing baju itu di batiknya. Benang itu berusaha kumasukkan ke dalam lobang jarum, tapi terlalu kecil jadi Abang yang mengambil alih, dan taraaa… benangnya masuk. Hehehe.

“Kalau nggak rapi, nggak apa-apa ya, Bang.”

“Nggak apa-apa, kan kamu bukan penjahit, Dek.” Abang menjawab, sementara aku sibuk menjahit. “Cantiknya calon istri, Abang.” Abang memujiku, aku meliriknya yang tengah menatapiku dengan senyum kekaguman yang lebar. Aku pun tersipu.

Setelah gerimis berhenti menitik, aku dan Abang melanjutkan perjalanan. Biasanya aku kondangan sendiri atau minta Hana menemaniku, tapi sekarang—ehem…—sudah ada pria yang berdiri di sampingku, seorang pria yang sangat memperhatikan penampilan—sebelas duabelas denganku.

Ada beberapa perkataannya yang membuatku bersyukur terlahir sebagai seseorang yang pernah bengkok namun Allah memberikan kesempatan kedua padaku untuk taat padanya dengan menghadirkan sosok pria seperti Farhan, melihatnya, memikirkannya membuatku teringat pada Tuhan.

Kuceritakan pertemuan pertamaku pada seorang sahabat baikku via BBM:

Nisa: Makasih ya, Ai. Mohon doanya semoga rezeki Abang lancar. Dia kepengin halal-in gue. kemarin kan kita ketemu duduk hadap-hadapan. Dia sering nggak mandang gue. Katanya takut napsu kalau mandangin gue. Hehe. Eh… akhirnya dia memutuskan ketemu tiga minggu lagi. Telpon pun nggak boleh. Padahal gue kangen. Awalnya gue bete, tapi itulah cara dia memuliakan gue.

Aini: Anjrit dah… jarang banget ada cowok yang begitu, Ke.

Nisa: Nih Abang bilang gini, “Iya, Abang kangen banget tapi kalau Abang nggak kuat, yaudah tinggal ngomong sama Ayah dan Mamah biar kita dihalalin dulu baru resepsi.” Dia nahan, Ai. Nahan rasa :’(. Gue seneng, itu tandanya dia sayang sama gue. Kemarin aja abis shalat dzuhur berjamaah dia jadi imam, terus setelah shalat dia bilang “Pengen dah buru-buru halalin adek. Pegang tangan adek. Peluk Adek.”

Aini: Ya ampun, Sa. Gue baca pengen nangis deh :’(. Asli gue iri banget sama lo.

Nisa: Gue doain lo ya, Ai. Supaya dapet yang terbaik. Gue pun merasa nggak pantas buat dia. Dia tipe orang yang nggak gampang marah, sedangkan gue lo tahu sendiri! Tapi gue punya tekad nggak mau ngecewain dia. Gue bilang gini, “Abang, aku punya kekurangan. Tapi aku berusaha untuk jadi istri yang taat. Kalau aku bengkok, Abang bantu lurusin aku ya.” Dia nanya, “Emang apa kurangnya kamu, Dek?” Gue jawab, “Misalnya aku marah-marah sama Abang.” Dan dia jawab “Kalau kamu marah-marah, Abang bakal peluk kamu, Abang tanya baik-baik, kamu marah kenapa, Dek?” Ya Allah Ai, gue pengin nangis.

Sepenggal kisah yang manis, penuh keajaiban Tuhan yang dapat muncul karena keikhlasan, kesabaran dan keyakinan bahwa Tuhan tahu yang terbaik untuk hambaNya. Kebahagiaan akan datang tepat waktu. Bersabarlah.

                                                                 ****


[1] Husnudzon: Prasangka baik.

Rabu, 07 Desember 2016

Kali Pertama Belanja Perlengkapan Bayi

NOTE: Kalau mau lihat harganya, buka lewat web ya. Mobile nggak kelihatan :D

Kali pertama belanja keperluan bayi yang memang sudah sejak lama gemas dengan kelucuan dan ukuran mungilnya. Hehehe.

Saya memutuskan untuk membeli perlengkapan calon bayi pertama saya yang insya Allah berjenis kelamin laki-laki di usia kandungan 29 minggu. Alasannya saya ingin terjun langsung dalam kegiatan ini… mumpung badan masih cukup kuat untuk dibawa ke mana-mana. Berdasarkan rekomendasi sahabat terbaik saya, saya belanja keperluan di Kedoya – Jakarta Barat, nama tokonya Papi Jhon.

Domisili saya di Kalibata, perjalanan cukup jauh ya… sebenarnya saya masih mampu diboncengin suami yang sangat saya sayangi… hehehe. Tapi kayaknya nggak mungkin bawa banyak barang menggunakan motor, akhirnya saya memutuskan naik grab car. Lumayan lagi promo disc 50% kalau pakai grab credits itu loh, niat banget sampai top up ke alfamidi. Hihi. Ya, saya kan excited bangeeeeeet!  Dan berangkatnya pas ada aksi damai bela islam 212 pula, soalnya saya pikir pasti jalanan lancar… dan benar aja, Jakarta yang biasanya super duper padat pake banget, hari itu agak sepi dan gerimis pula. Saya pergi bertiga bersama suami—yang setia tentunya, mwaaah mwaaaah—dan adik saya yang juga semangat mau ikut.







Kita sampai di sana kira-kira pukul 17.00, daftar belanjaan yang mau dibeli sudah saya list tapi sampai di sana, tetap saja kepala langsung keliyengan saking banyaknya barang dan orang. Hehe. Akhirnya minta bala bantuan, saya telpon sahabat saya untuk datan. Dia memang belum nikah, tapi pengalamannya luar biasa. Atas sarannya pun, saya membeli setelan bayi ukuran 3 – 6 bulan, katanya sayang kalau beli new born, kepakainya cuma sebentar apalagi kalau bayinya besar. Aaah… saya nurut aja deh.

Ohya sebelumnya, Papi Jhon ngasih diskon 10% kalau kita beli minimal 6 pcs. Di sini nggak ada merk Libbi atau velvet. Tapi baju yang tersedia pun kualitas SNI dan bahannya alus banget.

Belanjaan saya sebagai berikut ya.

Banyaknya
Nama Barang
Jumlah
6
Celana panjang BIBOP  (@ 14.000) disc 10%
75.600
6
Baju panjang BIBOP (@ 13.500) disc 10%
72.900
6
Celana balon CHUBIE (@ 9.500) disc 10%
51.300
6
Baju pendek CHUBIE (@ 13.000) disc 10%
70.200
6
Bedong 120 x 90 (@ 19.000) disc 10%
102.600
6
Popok ikat (@ 5.000) disc 10%
27.000
6
Singlet size 16 (@ 7.700) disc 10%
41.600
3
Sarung tangan + kaki Tutu
15.000
1
Perlak motif
73.000
1
Selimut Carters
55.000
1
Gurita
15.000
1
Topi + sarung tangan + kaki
23.000
1
Kaos kaki carters (3 set)
25.000
1
Bak mandi
39.000
1
Zwitsal gift box
97.600
1
Jumper Carters
85.000
1
Tempat bedak
20.000
1
Botol pigeon 60 ml
19.700
1
Tas Snobby
147.000
1
Gendongan Snobby
97.000
1
Kapas bulat
8.000
JUMLAH
1160.500

Tempat tidur yang sekalian kelambu lagi kosong, terus handuk dan jaketnya nggak sesuai dengan keinginan jadi skip dulu deh. Cuma rezekinya di Dede ini nggak berhenti sampai di situ aja. Berhubung si tante Deasy dan tante Aini lagi ikut, akhirnya mereka sekalian beliin Dede hadiah. Hihihi. Tante Deasy—adik saya—beliin Stroller merk pliko yang selama ini saya idamkan. Hehe. Sementara sahabat saya, Tante Aini beli Baby Walker merk family. Keduanya warna biru langit. Harganyaaa…. Sekilas sih saya lihat Stroller Pliko Grande 4 in 1 sekitar Rp. 625.000 deh, kalau Baby Walkernya Rp. 350.000. Kurang lebih sih segitu. Hehe. Makasiiiiiiiiih tante-tante yang cantik.
Nah, sisa barang yang belum dibeli kemungkinan mau beli online aja, khususnya tempat tidur. Dan masih agak galau sih mau nambah baju new born atau nggak. Kan saya nggak tahu berat anak saya nanti.

Semoga bermanfaat ya sharingnya. Papi Jhon ini letaknya nggak jauh dari Pasar Pesing dan saya membandingkan harga Zwitsal di Papi Jhon Rp. 97.600 sementara di salah satu toko di PGC Rp. 110.000.

Ohya saya penasaran sama bentuk strollernya, kayak gini… kalau baby walkernya belum difoto jadi ambil dari google aja yaaaa. Hehe.




Cukup sekian cerita saya tentang pengalaman berbelanja pakaian bayi untuk kali pertama. Penginnya hamil 3x lagi. Insya Allah. Aamiin. Hehe. See you next time.


Minggu, 06 November 2016

RSIA Duren Tiga, Klinik Siti Chodijah, Puskesmas Kecamatan Pancoran dan Klinik Fakhira...

Jakarta, 7 November 2016.

Hari ini usia kandungan saya sudah memasuki 25 minggu 4 hari, sebenarnya gatel banget kepengin buru-buru beli perlengkapan bayi. Tapi harus ditahan, sebab belum waktunya. Mungkin nanti memasuki 28 weeks—yang artinya 2 minggu lagi, lebih sedikit sih. Exciteeeed!

Nah sekarang saya ingin berbagi cerita selama enam bulan ini ke mana saja sih saya? Hehe. Ganti-ganti. Ingin menetap tapi alasan untuk berpaling lebih rasional. #Apasih

Ya, saat itu bulan ramadhan yang penuh dengan berkah. Dan saya sangat menanti kabar gembira dan titipan amanah dari Allah SWT. Saya menikah 6 Maret 2016, setelah itu saya nggak kepengin datang bulan. Hehe. Tapi bulan itu datang juga, jadi saya mencoba berbagai cara termasuk mengetahui kapan sih masa subur saya. Salah satunya download aplikasi Hawa di playstore dan isi yang diminta misal siklusnya berapa hari dalam sebulan (saya lupa-lupa inget), kapan terakhir haid di hari pertama, nah... nanti di sana ada ovulasi, atur waktu deh buat tempur. Hehe.

Alhamdulillah usaha tersebut membuahkan hasil. Siklus datang bulan saya selalu lancar, paling maju satu atau dua hari tapi nggak pernah telat. Nah di bulan Juni tanggal 15 saya cemas—kali ini cemas bahagia—karena sudah dua hari telat haid. Saya coba test pack menggunakan sensitif dan hasilnyaaaa… aaahhh dua garis yang memiliki arti 'positif hamil'. Tapi garis kedua agak samar. Untuk memastikan keesokan harinya saya cek lagi menggunakan merk berbeda dan lebih murah yaitu akurat. Hasilnya masih dua garis, makin seneng deh. Tapi suami bilang suruh periksa ke dokter lagi biar lebih yakin. Oke Boss :*

Pemeriksaan Pertama
Tanggal 16 Juni hari kamis, saya penasaran lalu mencoba mengunjungi dokter kandungan terdekat di RSIA Duren Tiga dengan Dr. Fahrudin, S.POg. Hari itu saya langsung di USG 2D, pengalaman pertama yang membuat deg-degan! Dokter Fahrudin bilang, kantung kehamilannya belum terlihat jadi belum dipastikan hamil. Saya pun jadi sedih dan kehilangan semangat. Hiks. Kemudian saya diberikan satu obat penyubur kandungan. Kira-kira biaya keseluruhannya Rp. 250.000. Mahal ya? Hehe.

Mual dan pusing juga cepat lelah menghiasi hari-hari saya, keesokan harinya untuk memuaskan rasa penasaran, saya datang ke Siti Chodijah, karena mendapat rekomendasi dari guru juga orang tua murid yang domisilinya memang di sekitar sekolah tempat saya mengajar.

Di sana saya diperiksa bidan, jadwal dokternya sedang libur. Sang bidan memeriksa perut saya, beliau bilang memang ada benjolan di perut saya, insya Allah hamil. Huft... kata-katanya memantik bahagia di hati. Hehe. Lalu saya konsultasi mengenai makanan apa saja yang nggak boleh saya konsumsi, di antaranya mie instan dan air es. Hehehe… maaf Ibu Bidan, pantangan itu nggak sanggup saya laksanakan. Saya mengonsumsi sesekali, lagi pula saya membaca sebuat artikel yang ditulis seorang dokter kandungan isinya mengatakan yang mengakibatkan ukuran bayi besar di kandungan bukanlah air es melainkan gula. Jadi, saya mengurangi asupan manis-manis, minum es ya jarang-jarang dah. Hehe. Setelah konsultasi, saya disuruh cek urin dan protein—disuntik, usia 25 tahun saat itu agak nyer-nyeran juga kalau mau disuntik. Di sini saya menghabiskan Rp. 240.000, masih mahal juga. Hihi. Dari bidan saya membawa pulang penguat dan folavit. Tapi sayang, sejak mengonsumsi penguat justru saya flek lima kali berturut-turut, mungkin saya kurang cocok.

Dua minggu kemudian, saya kembali ke RSIA Duren Tiga, takut karena fleknya nggak hilang-hilang, kunjungan kedua diberikan obat penguat yang harganya Rp. 19.000/butir. Total yang saya habiskan (+USG, konsul, obat dan vitamin) Rp. 800.000 lebih. Alhamdulillah, keadaan saya membaik, flek berhenti. Sejak itu, hingga usia kandungan 5 bulan saya merasa cocok dengan Dr. Fachrudin. Setiap kunjungan selalu USG 2D tanpa print sudah termasuk konsultasi, memang membutuhkan kocek Rp. 220.000 (minimal) namun hasilnya memuaskan. 

Nah… setiap bulan saya berkunjung di hari kamis, USGnya 2D dan tanpa print. Suatu ketika, hari kamis suami saya berhalangan menemani—beliau selalu setia mendampingi saya saat pemeriksaan kandungan. Akhirnya kami memutuskan untuk datang pada hari sabtu.

Pemeriksaan UK 20 Weeks
Kondisi rumah sakit agak lengang, dan ruangan Dr. Fachruddin nggak seperti biasa. Papan namanya berpindah ke dinding di ruangan sebelah kanan di samping ruang mengukur berat badan dan tensi. Muncullah pertanyaan di benak saya, apa ya bedanya? Kemudian saya melihat seorang Bapak memegang hasil print USG. Saya agak panik. Takut biaya pemeriksaannya mahal. Hihi. 

Ya, kekhawatiran saya terbukti. Saat masuk ke dalam, alat USG yang digunakan memang berbeda dan kelihatan lebih canggih. Saat perut saya diperiksa, hasil USG yang terpampang di layar televise memang memperlihatkan gambar yang lebih jelas. Dan saya bahagia bukan main melihat bentuk yang lebih jelas dari janin saya diusia 20 minggu. Pancaran gembira pun tersirat di wajah suami saya, kami saling bertatapan dan tersenyum.

Penasaran dengan jenis kelamin, Dokter Fach pun mengatakan masih belum juga terlihat. Saya dan suami disuruh sabar. Ya, tidak masalah bagi kami anak perempuan atau laki-laki yang penting sehat dan kuat. Biaya USG 2D, vitamin dan kalsium kena Rp. 450.000-an. Huhuhu... bener kan beda alatnya jadi lebih mahal. 

Bulan keenam, saya mulai memikirkan biaya persalinan. Saya dan suami nggak ingin merepotkan banyak orang, gaji kami digunakan untuk banyak sekali keperluan ini dan itu. Berharapnya sih persalinan normal, tapi ada kekhawatiran saya akan melahirkan ceasar sebab minus mata saya tinggi. Dari artikel seorang dokter kandungan sih mengatakan minus mata nggak berpengaruh asal keadaan retinanya masih bagus dan kuat diajak ngeden. Makanya nanti harus periksa mata juga. Tapi kami nyari jalan aman. Akhirnya untuk mencari solusinya, kami dan atas saran kedua pasang orang tua kami memutuskan untuk pindah saja ke bidan di mana BPJS masih berlaku.

Atas ridho orang tua—hehehe—saya pun pindah ke Puskesmas Kecamatan Pancoran, 24 jam dan dekat dari rumah. Usia kandungan saya memasuki 25 weeks. Di sana saya mengantre cukup panjang dan mendapat bidan yang agak jutek. Huhuhu. Bidannya masih muda—tampaknya belum menikah—dan saya diomelin karena nggak bawa buku pink. Katanya, buku pink ini wajib dibawa setiap pemeriksaan kehamilan dan berlaku hingga anak saya dilahirkan dan masuk masa kanak-kanak. Wah… berarti saya selama ini salah dong? sering periksa di RSIA Duren Tiga tapi nggak bawa buku. Hiks. Ya saya memang sudah mendapatkan buku tersebut dari bidan Siti Chodijah tapi di RSIA Duren Tiga nggak ditanyakan, jadi saya santai-santai aja. Ya sudahlah, pasrah. Yang penting next harus dibawa.

Pemeriksaan UK 25 Weeks
Di Puskesmas Kecamatan Pancoran saya kembali dicek urin dan protein—huhu… suntik lagi, ngilu lagi. Sebelumnya asisten bidan mengecek detak jantung bayi saya. Itu kali pertama saya mendengar detak jantungnya! Ya Allah terharu banget rasanya. Meskipun tubuh saya menghitam karena pigmen, saya tidak peduli asal anak saya sehat :’). Nah, biaya yang dikeluarkan hanya Rp. 30.000 karena vitamin saya masih ada. Tapi sayang, saya nggak di USG. Saya kan rindu dan ingin tahu jenis kelaminnya. Hehe.

Pemeriksaan di Puskesmas ini hari Rabu tanggal 2 November pagi. Sebelum datang ke Puskesmas, saya sudah booking nomor antrean (soalnya saat itu masih galau) di Klinik Fakhira yang saya dengar USG 4Dnya murah, Rp. 175.000 sudah termasuk konsultasi dengan dokter. Saya menelpon sudah seminggu yang lalu, inginnya hari kamis karena jam prakteknya sore, tapi sudah full dan kebagian rabu 19.00-21.00. Itu pun saya dapat nomor antrean 27 jadi saya hadir agak telat dan nyasar pula. Saya pikir saya menghubungi nomor Klinik Fakhira yang di Tebet, nggak tahunya di Minangkabau. Untung dekat. Hehe. Langsung deh cuusss ke sana. Alhamdulillah punya laki sabar. Hehe. Love you Abang. :p

Dan tiba di sana sang dokter belum hadir, hiiiks. Padahal saya tiba di lokasi pukul 19.30. Selesai jam berapa ini? Pikir saya. Dan sayangnya panggilan antrean nggak pakai speaker dan kursi ruang tunggunya full. Kesadaran yang mengantar seperti suami atau keluarga kurang banget. Mereka nggak mempersilakan ibu hamil duduk. Jadi banyak juga yang berdiri.

Eh tapi saya puas sekali dengan dokter, fasilitas, suster dan adminnya. Ramah semua.
Saya memasuki ruangan, Dr. Gunawan langsung menyalami saya dan suami. Ini adalah inistiatif beliau. Dengan ramah dokter meminta saya berbaring lalu di USG. Saya malu deh, perut saya banyak garis hitam, beliau bilang nggak apa-apa… Ini pigmen bukan daki nanti juga hilang. Hihi. Amaaaan.

Saya di USG 2D, langsung protes maunya 4D. Eh susternya bilang, “iya, Bu. 2D dulu.” Proses 2Dnya juga nggak cepet-cepet kayak di RSIA Duren Tiga, hehehe. Detil banget semua bagian perut diperiksa. Dari mulai kepala si Dede, wajah, perut sampai akhirnya jenis kelamin… Yeeeeeeey! Dokter bilang kemungkinan laki-laki. Hehehe

Kemudian beralih ke 4D, Masya Allah jemari mungilnya kelihatan, wajahnya lumayan jelas tembem seperti ayahnya. Hehehe. Tapi yang diprint, kata dokternya belum jelas ketebelan perut. Wkwkwkwk. Di kasir saya ditanya vitamin, tapi vitaminnya harus 30 hari nggak boleh dibeli sebagian. Saya setuju deh tuh. Ehhh… Totalnya Rp. 412.000. Maknyooooos, sambil ngenes saya keluarin duit tapi mulut saya berkata lain, "emang apa aja, Mbak biayanya?" tanya saya. Adminnya jawab, "USG 2D 95 ribu, pendaftaran 12 ribu dan 298 ribu vitaminnya."
Oh... Vitaminnya yang mahal, jadi tadi sudah periksa 4D tapi yang dibayar cuma 2D? Baik banget ya. Hehe. Cuma masih aja kemahalan vitaminnya. Huhu... “boleh dicancel nggak, Mbak vitaminnya?” ALHAMDULILLAH boleh, jadi hari itu cuma Rp. 120.000, termasuk biaya pendaftaran dan tindakan (konsultasi + 2D). Mantap kan? Padahal saya sempat lihat 4Dnya. Hehehe. Insya Allah balik lagi nanti USG 4D.

Oke deh, panjang juga yaaaaa ceritanya. Hehe. Intinya setiap tempat pemeriksaan punya kekurangan dan kelebihan masing-masing tergantung dengan kecocokan dan kenyamanan pasien. Kenyamanan di sini nggak cuma kepuasan tapi keuangan. Hehe. Fix saya akan stay di puskesmas kecamatan pancoran. Semoga lancar, dipermudah dan sukses ya. Mohon doanyaaaaa. J

Nanti dilanjut sesi beli perlengkapan dede yaaa… Hehe. See yaaa!